Kejagung Usut Dugaan Keterlibatan Riza Chalid di Kasus Tata Kelola Minyak

2 weeks ago 17

Jakarta -

Kejaksaan Agung (Kejagung) menyebut akan mengusut tentang ada tidaknya keterlibatan pengusaha minyak, Riza Chalid ,di kasus dugaan korupsi tata kelola minyak dan produk kilang. Pendalaman itu usai penyidik menggeledah rumah Riza di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

"Itu yang akan didalami oleh penyidik (peran Riza Chalid)," kata Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar kepada wartawan di Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Rabu (26/2/2025).

Dari penggeledahan itu penyidik menemukan sejumlah barang bukti yang diduga berkaitan dengan perkara tersebut. Karena itu, tengah mempelajari dan mendalami perihal itu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Dalam konteks sekarang bahwa penyidik menduga kuat bahwa aktivitas terkait dengan sangkaan dugaan tindak pidana korupsi itu, dokumen dan ternyata ada di sana. Nah itu yang mau dipelajari, dikembangkan," tutur Harli.

"Kenapa ada di rumah yang bersangkutan? Apakah bagaimana perannya dan seterusnya tentu ya itu yang akan dicari benang merahnya oleh penyidik," jelasnya.

Harli menyebut, pada Selasa (25/2) kemarin, pihaknya menggeledah kediaman Riza Chalid. Sejumlah barang bukti yang disita Kejagung dari rumah Riza adalah uang tunai sejumlah Rp 857.528.000, dokumen, hingga barang bukti elektronik.

Adapun Riza ikut terseret dalam pusaran kasus korupsi tata kelola minyak ini setelah anaknya, Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR), ditetapkan sebagai tersangka. Diketahui total ada tujuh tersangka yang dijerat sebagai tersangka, termasuk Kerry.

Empat di antaranya petinggi di subholding PT Pertamina, sementara tiga lainnya dari pihak swasta. Perkara ini disebut terjadi pada rentang waktu 2018-2023.

Mereka yakni:
1.⁠ RS selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga;
2.⁠ ⁠SDS selaku Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional;
3.⁠ ⁠YF selaku Direktur Utama PT Pertamina Internasional Shipping;
4.⁠ ⁠AP, selaku selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina International;
5.⁠ ⁠MKAR selaku Beneficialy Owner PT Navigator Khatulistiwa;
6.⁠ ⁠DW, selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT. Jenggala Maritim;
7.⁠ ⁠GRJ, selaku Komisaris PT Jengga Maritim dan Direktur PT Orbit Terminal Merak;

Duduk Perkara

Direktur Penyidikan Jampidsus (Dirdik) Kejagung, Abdul Qohar menuturkan, kala itu pemerintah mencanangkan agar pemenuhan minyak mentah wajib berasal dari dalam negeri. PT. Pertamina kemudian diwajibkan untuk mencari pasokan minyak bumi dari kontraktor dalam negeri sebelum merencanakan impor.

Hal itu sebagaimana telah diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri ESDM Nomor 42 Tahun 2018.

Namun ternyata, tersangka RS, SDS, dan AP, diduga melakukan pengkondisian dalam rapat organisasi hilir (ROH). Hasil rapat dijadikan dasar untuk menurunkan produksi kilang sehingga hasil produksi minyak bumi dalam negeri tidak sepenuhnya terserap.

"Pada akhirnya pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang dilakukan dengan cara impor," ungkapQohar di Kejagung, Senin (24/2/2025) malam.

Pada saat yang sama, produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS juga dengan sengaja ditolak. Alasannya, produksi minyak mentah oleh KKKS tidak memenuhi nilai ekonomis, padahal harganya masih sesuai harga perkiraan sendiri (HPS).

Produksi minyak mentah dari KKKS juga dinilai tidak sesuai spesifikasi. Padahal faktanya, minyak yang diproduksi masih dapat diolah sesuai dengan spesifikasi.
"Pada saat produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS ditolak dengan dua alasan tersebut, maka menjadi dasar minyak mentah Indonesia dilakukan ekspor," jelas Qohar.

Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, maka PT Kilang Pertamina Internasional melakukan impor minyak mentah dan PT Pertamina Patra Niaga melakukan impor produk kilang. Di mana, perbedaan harga pembelian minyak bumi impor sangat signifikan dibandingkan dari dalam negeri.

Dalam kegiatan ekspor minyak juga diduga telah terjadi kongkalikong antara para tersangka. Di mana SDS, AP, RS, dan YF selaku Penyelenggara Negara telah memgatur kesepakatan harga dengan broker, dalam hal ini tersangka MK, DW, dan GRJ.

Mereka sudah mengatur harga untuk kepentingan pribadinya masing-masing dan menyebabkan kerugian negara.

"Seolah-olah telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dengan cara pengkondisian pemenangan demut atau broker yang telah ditentukan dan menyetujui pembelian dengan harga tinggi melalui spot yang tidak memenuhi persyaratan," jelasnya.

Kemudian RS, SDS dan AP memenangkan broker minyak mentah dan produk kilang secara melawan hukum. Dilanjutkan dengan DM dan GRJ yang melakukan komunikasi dengan AP untuk dapat memperoleh harga tinggi (spot) padahal syarat belum terpenuhi.

Namun hal itu malah disetujui oleh SDS untuk impor minyak mentah dari RS untuk impor produk kilang. RS, lanjutnya, diduga melakukan pembelian untuk RON 92, namun nyatanya yang dibeli adalah RON 90 yang diolah kembali.

Selain itu, penyidik juga menemukan adanya dugaan mark up kontrak dalam pengiriman minyak impor yang dilakukan oleh tersangka YF. Sehingga, negara perlu membayar biaya fee tersebut sebesar 13-15 persen.

"Sehingga tersangka MKAR mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut," ungkap Qohar.

Berkat serangkaian perbuatan para tersangka tersebut juga menyebabkan kenaikan harga bahan bakar minyak yang akan dijual ke masyarakat. Sehingga, pemerintah perlu memberikan kompensasi subsidi yang lebih tinggi bersumber dari APBN.

(ond/dhn)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial