Kabur, Bercanda, dan Kelelahan Mental

2 days ago 9

Jakarta -

Pada suatu masa, manusia berburu dan meramu. Jika ada bahaya, mereka kabur. Refleks itu tertanam dalam sistem saraf kita. Namun, kini manusia modern menghadapi bahaya yang lebih abstrak: tagihan bulanan, tekanan kerja, target hidup yang tak kunjung tercapai. Dalam lanskap digital, muncul mekanisme bertahan yang lebih subtil—meme, ironi, dan, tagar viral, seperti #KaburSajaDulu.

Tagar ini mendadak menjadi mantra kolektif di platform X Indonesia hari-hari ini. Dari mahasiswa yang dihantam skripsi hingga pekerja kantoran yang lelah menghadapi meeting berantai, semua menemukan kesamaan dalam satu aspirasi: kabur. Namun, konteks utama dari tagar ini bukan hanya sekadar ingin melarikan diri dari rutinitas, melainkan keinginan mencari kehidupan yang lebih baik di luar negeri.

Banyak pengguna media sosial menyuarakan frustrasi terhadap kondisi dalam negeri yang dianggap carut marut—ekonomi yang sulit, ketidakpastian politik, serta tekanan sosial yang semakin tinggi. 'Kabur Saja Dulu' menjadi refleksi dari ketidakpuasan terhadap sistem yang ada dan harapan akan kehidupan yang lebih stabil di tempat lain.

Ketika Humor Menjadi Bentuk Perlawanan

Jika ditelaah dengan kaca mata sejarah, manusia selalu menemukan humor dalam tragedi. Ketika hidup tak tertahankan, mereka bercanda. Para filsuf Yunani mengolok-olok kebijakan politik. Para pelaut abad pertengahan menertawakan badai sebelum kapal mereka karam. Kini, generasi digital menciptakan humor sebagai pelampiasan dari absurditas hidup modern.

#KaburSajaDulu bukan sekadar lelucon; ia adalah refleksi dari kelelahan mental kolektif yang sering kali terabaikan. Namun, ada yang menarik. Alih-alih benar-benar kabur, mayoritas pengguna hanya bercanda tentang keinginan untuk lari. Ini adalah bentuk terapi kolektif. Setiap unggahan tentang ingin menghilang ke negara maju atau menjadi pekerja di tempat yang lebih menjanjikan adalah cara mengingatkan diri sendiri bahwa, ya, kita sedang lelah, tapi kita masih punya energi untuk menertawakannya. Tagar ini adalah bentuk ironi terhadap realitas yang terasa semakin menekan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dari Humor ke Kesadaran

Namun, jika sebuah tagar menjadi begitu populer, itu menandakan ada masalah yang lebih dalam. #KaburSajaDulu mungkin bermula sebagai guyonan, tapi di baliknya ada gambaran tentang tekanan mental dan sosial yang semakin tinggi. Dunia kerja yang menuntut produktivitas tanpa henti, sistem pendidikan yang semakin kompetitif, serta ekspektasi sosial yang semakin sulit dicapai.

Lebih jauh lagi, banyak yang melihat ketidakstabilan dalam negeri sebagai pemicu utama keinginan untuk pergi—mulai dari sulitnya mendapatkan pekerjaan layak hingga ketidakpastian politik yang membuat masa depan terasa suram.

Data menunjukkan bahwa jumlah pekerja migran asal Indonesia terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Banyak yang memilih negara-negara seperti Jepang, Australia, dan Jerman sebagai tujuan utama karena menawarkan kesempatan kerja yang lebih baik dan sistem sosial yang lebih stabil. Ini bukan lagi sekadar tren media sosial, tetapi gejala nyata dari brain drain, di mana individu-individu berkualitas lebih memilih hengkang ke negara lain daripada berjuang di tanah kelahiran mereka sendiri.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Kita bisa melihat ini sebagai tantangan evolusioner. Otak kita belum sepenuhnya beradaptasi dengan realitas modern, sehingga mekanisme bertahan kita cenderung primal: fight, flight, atau…bikin meme. Namun, ada satu hal yang bisa kita pelajari dari tagar ini: kesadaran bahwa kita tidak sendiri. Jika sekian juta orang merasa ingin kabur, mungkin sudah saatnya kita mendiskusikan cara memperbaiki sistem, bukan hanya bercanda tentang melarikan diri darinya.

Bagi mereka yang benar-benar ingin pergi, tantangan berikutnya adalah kesiapan. Apakah kabur benar-benar solusi, atau hanya ilusi? Beradaptasi di negeri orang bukan perkara mudah. Banyak yang mendapati bahwa sistem kerja di luar negeri jauh lebih keras daripada ekspektasi mereka. Tapi bagi sebagian lain, kabur adalah tiket menuju kehidupan yang lebih baik, sesuatu yang tidak bisa mereka dapatkan di tanah air.

Jadi, #KaburSajaDulu mungkin sekadar lelucon di permukaan. Tapi jika Anda sering merasa ingin meninggalkan negara ini tanpa tahu ke mana harus pergi, mungkin ini saatnya bertanya: sebenarnya apa yang sedang kita kaburkan? Dan, yang lebih penting, apakah kita benar-benar ingin pergi, atau kita hanya ingin sebuah alasan untuk berharap?

Dr. Waode Nurmuhaemin, M.Ed peneliti, doktor manajemen pendidikan

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial