Jelang Pemilu Jerman, Gereja 'Cawe-Cawe' Urusan Politik?

2 days ago 8

Jakarta -

Pada akhir Januari, Partai Kristen Demokrat (CDU), Partai Kristen Sosialis (CSU), Partai Liberal Demokrat (FDP) dan Partai Alternatif untuk Jerman (AfD) yang sebagian berhaluan ekstrem kanan- satu suara dalam voting di parlemen Jerman Bundestag soal kebijakan suaka yang jauh lebih ketat.

Asosiasi Gereja Protestan EKD dan Konferensi Waligereja Katolik Jerman telah dengan tegas memperingatkan kecenderungan aliansi dengan partai anti imigran itu.

Sebuah surat datang dari Prelat Anne Gidion dan Prelat Karl Jsten. Mereka mengepalai kantor penghubung gereja Protestan dan Katolik untuk politik Jerman. Jadi kata-kata mereka seharusnya cukup berbobot besar,ketika bersuara di Berlin. Meski demikian, peringatan mereka tidak digubris oleh CDU/CSU dan FDP.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Apakah demokrasi mulai remuk?

Menurut survei teranyar, hingga dua pertiga penduduk mendukung kebijakan suaka yang lebih ketat, tetapi pada saat bersamaan separuh responden percaya bahwa satu suara dengan Partai AfD adalah hal yang salah.

"Kolaborasi" dengan AfD menimbulkan kemarahan besar. Gidion dan Jsten juga mengingatkan, setelah runtuhnya koalisi yang dipimpin oleh Partai Sosial Demokrat (SPD), faksi-faksi Bundestag telah sepakat untuk tidak bersekutu dengan AfD dalam pemungutan suara. "Kami khawatir demokrasi Jerman akan mengalami kerusakan besar jika janji politik ini diabaikan," tegas duo petinggi gereja tersebut.

Ketegangan, terutama antara gereja dan partai-partai Kristen, juga terlihat sesaat sebelum pemilu dini pada tanggal 23 Februari. Ketua CSU dan Perdana Menteri Bayern Markus Sder berspekulasi di media Redaktionsnetzwerk Deutschland (RND) bahwa surat Gidion dan Jsten tidak terkoordinasi.

Sder, yang beragama Protestan, juga menekankan: "Kami menerima kritik, tetapi sebaliknya kami juga harus diizinkan untuk mengungkapkan pendapat - termasuk saya sebagai seorang Kristen yang taat."

Ketua CSU di parlemen Negara Bagian Bayern, Klaus Holetschek, bahkan lebih jelas lagi menekankan: "Dalam demokrasi, pertanyaan-pertanyaan politik sehari-hari seharusnya ada di parlemen, bukan di khotbah," gerutunya dalam sebuah wawancara dengan harian "Augsburger Allgemeine Zeitung".

Kritik yang dilontarkan EKD dan Konferensi Waligereja Katolik Jerman terhadap kebijakan calon kanselir CDU/CSU, Friedrich Merz, merupakan "kesalahan kardinal", yakni kekeliruan mendasar.

Holetschek, seorang umat Katolik, mengatakan kepada kantor berita Evangelical Press Service (epd) bahwa dia tidak punya firasat baik jika gereja-gereja dengan jelas memihak dalam perdebatan politik yang sangat kontroversial sesaat sebelum pemilihan umum. Dia melihat "kompetensi utama" gereja dalam memberi masyarakat landasan Kristen, bukan dalam mengambil keputusan.

Gereja menekankan perlindungan martabat manusia

Ketua Dewan EKD Kirsten Fehrs membela kemajuan gereja-gereja dalam isu-isu utama seperti migrasi dan demokrasi. Kami memiliki posisi yang jelas mengenai hal ini, tandasnya.

Mengenai Partai CDU dan CSU, yang namanya sudah mencerminkan pengaruh Kristen, ia merujuk pada tradisi yang sudah lama ada: "Hubungan tersebut dicirikan oleh keyakinan mendasar yang sama, misalnya seperti perlindungan martabat manusia atau pelestarian ciptaan (Tuhan)," kata Fehrs dalam sebuah konferensi pers di Berlin.

Dalam kesempatan tersebut dijabarkan hasil riset yang dilakukan bersama dengan Diakonie Protestan mengenai suasana hati masyarakat di Jerman. Pada bulan Desember lalu, lembaga penelitian opini Forsa mensurvei 2000 responden berusia 18 tahun ke atas. Hasil survei daring itu, menurut Fehrs bikin ketar-ketir: "Kebanyakan orang di negara ini merasakan adanya perpecahan. Dan banyak yang mengurung diri dalam gelembung dunia mereka sendiri."

Takut terhadap kebebasan berekspresi?

Menurut penelitian itu, konsekuensinya lumayan serius: Lebih dari separuh responden (51 persen) mengatakan mereka tidak dapat lagi mengekspresikan diri secara bebas tanpa mendapat masalah. Hampir sepertiganya (32 persen) telah menjauhkan diri dari orang lain atau bahkan memutuskan kontak karena isu kontroversial. Sementara dalam segmen survei yang disebut barometer politik kekhawatiran menunjukkan bahwa ketakutan akan meningkatnya kebencian, permusuhan, dan konflik sosial -- sangatlah besar.

Untuk menangkal meluasnya belenggu kebebasan berbicara, gereja dan Diakonie kini ingin menawarkan "ruang berkomunikasi". Orang-orang yang memiliki pendapat yang sangat berbeda sebaiknya saling mendengarkan. Mereka yang bersimpati dengan AfD atau memilihnya juga dipersilakan bicara.

Tidak ada toleransi tanpa batas terhadap AfD

Namun, Presiden Dewan EKD Kirsten Fehrs skeptis terhadap perwakilan partai karena AfD mewakili posisi ekstremis sayap kanan dan nasionalis etnis. Kedua gereja Kristen tersebut telah menjauhkan diri dari partai sayap kanan tersebut dalam pernyataan publik mereka sejak tahun 2024: "Kami memiliki kesimpulan bersama untuk memperingatkan agar tidak memilih partai ekstremis sayap kanan, termasuk AfD, karena mereka mengecualikan kelompok minoritas dan membahayakan demokrasi," tegas Fehrs saat itu.

Sebuah inisiatif kini dirilis di internet untuk memungkinkan dialog terbuka, dengan nama Verstndigungsorte (tempat musyawarah) di situs: https://www.mi-di.de/verstaendigungsorte.

Selain itu, enam forum dialog utama direncanakan. Acara pembukaan dialog berlangsung di Hanau pada tanggal 17 Februari, sebuah kota di sebelah timur Frankfurt am Main. Di kota itu, seorang ekstremis sayap kanan membunuh sembilan orang yang memiliki akar migran pada tahun 2020. Diskusi akan difokuskan pada pelajaran apa yang dapat dipetik dari serangan bermotif SARA ini.

(ita/ita)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial