Jakarta -
Pesan awal kunjungan kerja luar negeri Presiden Prabowo Subianto ke negara besar seperti Amerika Serikat (AS), China, dan langsung bergabung pada forum internasional menjadi hal anomali; biasanya presiden baru mengutamakan kunjungan kerja luar negeri perdana ke negara ASEAN. Hal ini mengkonfirmasi bahwa Indonesia akan lebih aktif bergabung dalam panggung politik internasional, salah satunya bergabung dengan BRICS dan pada 7 Januari 2025 telah diumumkan sebagai anggota penuh.
Dengan populasi gabungan sekitar 3,2 miliar jiwa (45% populasi global) dan PDB total mencapai 25,8 triliun USD (35% PDB dunia), BRICS telah menjadi kekuatan ekonomi utama dalam tatanan global yang multipolar. Keputusan Indonesia untuk menjadi bagian dari blok ini mencerminkan perubahan strategis dalam memperluas aliansi global dan memperkuat posisi sebagai kekuatan regional serta global yang semakin diperhitungkan.
Risiko Mengintai
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Risiko mengintai Indonesia dengan dilantiknya kembali Donald Trump sebagai Presiden AS, maka kebijakan proteksionisme AS terutama dari segi perdagangan internasional menjadi hal yang pasti. Trump dikenal dengan pendekatannya yang agresif terhadap negara-negara yang memiliki surplus perdagangan terhadap AS.
Surplus perdagangan Indonesia yang signifikan diduga dapat memicu tarif tambahan maksimal 10% dan dilepasnya berbagai skema kerja sama perdagangan terutama pada industri TPT dalam negeri. Bahkan lebih jika Indonesia dianggap terlibat dalam agenda dedolarisasi, Trump mengancam negara BRICS dengan tarif 100% apabila mengganggu dominasi dolar AS.
Pelajaran juga dapat dipetik dari Rusia, yang menghadapi sanksi ekonomi dari Barat setelah dikeluarkan dari sistem SWIFT. Ketahanan Rusia hingga kini didukung oleh keberhasilan mereka dalam mengoptimalkan produksi pangan dan energi domestik. Bagi Indonesia, pengalaman ini menegaskan pentingnya memperkuat sektor-sektor strategis seperti pangan, energi, manufaktur, dan layanan digital untuk menjaga ketahanan ekonomi, terutama jika menghadapi tekanan geopolitik yang serupa.
Peluang Besar
Salah satu peluang terbesar dari keanggotaan BRICS adalah diversifikasi pasar ekspor, terutama ke negara Afrika dan Pasifik yang memiliki potensi besar tetapi belum tergarap maksimal. Selain itu, inisiatif bilateral currency settlement yang diusung BRICS menawarkan peluang sinkronisasi dengan local currency settlement yang sudah dilakukan beberapa tahun terakhir, di mana Indonesia dapat memilih yuan sebagai alternatif untuk mengurangi ketergantungan pada dolar AS tanpa sepenuhnya meninggalkannya.
Ini memberikan ruang lebih besar bagi stabilitas ekonomi Indonesia di tengah dinamika geopolitik global yang terus berubah. Keanggotaan ini juga membuka jalan bagi Indonesia untuk memperkuat sektor strategis domestik, termasuk digital services, teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang masih defisit dan sektor kesehatan yang sangat bergantung pada China.
Dalam era digitalisasi, BRICS dapat menjadi platform kerja sama dalam pengembangan teknologi canggih seperti kecerdasan buatan (AI), fintech, e-commerce, dan infrastruktur digital berbasis cloud. India dan China, yang telah menjadi pusat teknologi global, dapat menjadi mitra strategis Indonesia untuk mempercepat transformasi digital nasional. Dengan populasi muda yang besar dan tingkat adopsi teknologi yang cepat, Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi pusat ekonomi digital di Asia Tenggara.
Di sektor kesehatan, kerja sama dalam BRICS juga dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan akses terhadap layanan medis berkualitas dan pengembangan industri farmasi domestik. Negara-negara seperti India dan Rusia yang unggul dalam produksi obat generik dan vaksin menawarkan peluang besar bagi Indonesia untuk memperkuat sistem kesehatan nasional.
Indonesia juga dapat dengan gagah dan berani untuk membeli minyak dari Rusia yang dinilai harganya lebih kompetitif serta dapat mendorong investasi dari Rusia untuk melakukan eksplorasi minyak di dalam negeri hingga melakukan berbagai pembangunan kilang baru di Indonesia. Beberapa ahli mengatakan bahwa refinery process minyak dari Rusia menghasilkan BBM yang lebih baik dengan harga yang kompetitif.
Sentralitas ASEAN
Sentralitas ASEAN juga menjadi elemen penting dalam strategi geopolitik Indonesia. Sebagai pemimpin regional, Indonesia dapat memanfaatkan keanggotaan BRICS untuk memperkuat posisi ASEAN di tengah rivalitas kekuatan besar seperti AS dan China. Salah satu tantangan strategis yang harus dihadapi adalah pergeseran rivalitas geopolitik dari Selat Taiwan menuju kawasan ASEAN seperti menuju Laut China Selatan ataupun Papua.
Laut China Selatan tetap menjadi jalur perdagangan global yang strategis, sementara Papua dengan kekayaan alamnya terutama Freeport berpotensi menjadi area konflik baru. Pergeseran ini menuntut peningkatan monitoring, pengawasan, dan kerja sama regional untuk menjaga stabilitas sekaligus melindungi kedaulatan nasional Indonesia. Selain itu, pelajaran dari Rusia juga mengingatkan bahwa penguatan ekonomi domestik adalah kunci ketahanan jangka panjang.
Meskipun keanggotaan BRICS menawarkan peluang besar, hubungan dengan negara-negara Barat tetap harus dijaga. Indonesia dapat menghimpun investasi dari Barat, terutama di sektor teknologi hijau melalui G7, sambil memanfaatkan kerja sama BRICS untuk memperluas pasar di negara Afrika dan Pasifik.
Berorientasi Kepentingan Nasional
Keputusan untuk bergabung dengan BRICS harus selalu berorientasi pada kepentingan nasional. Indonesia tidak perlu terlibat dalam semua kesepakatan BRICS, melainkan hanya fokus pada kerja sama yang benar-benar memberikan manfaat nyata. Dalam hal ini, strategi diplomasi bebas aktif yang menjadi ciri khas kebijakan luar negeri Indonesia tetap relevan untuk memastikan setiap langkah membawa keuntungan strategis bagi rakyat dan negara.
Pada akhirnya, keanggotaan Indonesia di BRICS adalah langkah strategis untuk meneguhkan posisinya sebagai kekuatan besar geosentris di Bumi Selatan. Melalui kerja sama di sektor teknologi, kesehatan, eksplorasi minyak dan digitalisasi, Indonesia dapat mempercepat transformasi ekonomi, sekaligus memperkuat daya tahan domestik dalam menghadapi dinamika geopolitik global.
Dengan memanfaatkan momentum ini, Indonesia tidak hanya memperkuat posisi sebagai "big boy" di negara ASEAN, tetapi juga sebagai "smart boy" dan pemain utama dalam tatanan dunia. Langkah ini menunjukkan bahwa Indonesia mampu menjadi spektrum ekonomi bumi selatan dengan menjaga keseimbangan geopolitik dan memaksimalkan manfaat dari setiap aliansi strategis demi mewujudkan perdamaian dunia yang bercirikan keadilan sosial.
Jonathan Ersten Herawan Junior Analyst PP ISEI
(mmu/mmu)