Gerakan Efisiensi Nasional

1 day ago 9

Jakarta -

Gerakan Efisiensi yang digaungkan Presiden Prabowo, dengan slogan Pemerintahan Bersih yang berpihak kepada kepentingan rakyat, seharusnya kita sambut dengan memberikan dukungan yang gegap gempita, agar gerakan itu menjadi GERAKAN NASIONAL dan menjadi pola pikir bagi setiap penyelenggara negara.

Namun sayangnya, ide cerdas tersebut justru dipelintir dan dibelokkan seolah kebijakan yang diambil Presiden hanya untuk sekadar menyelamatkan janji Presiden, memberikan Makan Bergizi Gratis (MBG) dan pemeriksaan kesehatan kepada seluruh rakyat Indonesia, yang dipersepsikan sebagai kebijakan populis hanya untuk mendapatkan dukungan rakyat.

Mereka yang antipati tersebut adalah mereka yang selama ini nyaman dengan kondisi rakyat yang bodoh dan miskin, serta mereka yang selama ini nyaman dengan perilaku korup sebagai pejabat penyelenggara negara atau berperilaku sebagai oligarki hitam.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tulisan singkat ini didasarkan pada pengetahuan dan pengalaman panjang sebagai birokrat, akademisi, politisi, dan pengusaha, untuk memberikan nuansa pemahaman yang berbeda dari berita-berita viral yang menyesatkan masyarakat umum, sehingga menghadirkan demo anak-anak kita yang seharusnya bersyukur dengan apa yang dilakukan oleh Pemerintahan Prabowo.

1. Kita semua paham, mengerti, dan merasakan bahwa hampir semua proyek-proyek APBN/APBD dimark-up hingga 20%, ada yang lebih dan ada yang kurang dari presentasi itu. Gerakan efisiensi Presiden Prabowo dengan slogan Pemerintahan yang bersih adalah menghilangkan mark-up, mengembalikan nilai proyek pada harga yang sesungguhnya.

Sudah menjadi rahasia umum, untuk mendapatkan pekerjaan, seorang pengusaha harus menyetor 15% kepada pemilik proyek; 5% untuk pimpinan proyek; dan 5% untuk kepentingan lainnya, yaitu panitia tender, pengawas lapangan, dan pemeriksa eksternal. Justru ada yang mengawalnya dari Jakarta agar proyek tersebut bisa dialokasikan ke daerah tertentu, yang nilainya 5% sampai 10%. Artinya, patut diduga 30% akan hilang dalam perjalanan, diambil 10% keuntungan pemborong, PPN 10%, dan PPh 2%. Dengan demikian, nilai yang terbangun tidak sampai 50% dari nilai pagu di APBN/APBD. Namun, sekali lagi, ini tergantung apakah itu proyek aspirasi atau murni proyek daerah.

2. Gerakan efisiensi kedua adalah mengkaji ulang proyek-proyek yang memang tidak diperlukan. Kita tahu ada proyek yang dibangun tetapi tidak dimanfaatkan sama sekali. Contohnya adalah pembangunan pusat perdagangan ikan yang salah lokasi, akhirnya hanya diisi oleh beberapa pedagang ikan hias; pembangunan stasiun kereta api padahal belum ada relnya; pembangunan gedung diklat yang sampai roboh hanya digunakan untuk sewa pernikahan; serta pembangunan LRT untuk ASEAN Games yang tidak termanfaatkan sama sekali. Akhirnya, PT KAI harus menanggung kerugian operasional bulanan. Saat ini, LRT hanya digunakan oleh masyarakat untuk wisata dalam kota yang pendapatannya sangat tidak memadai.

3. Gerakan efisiensi yang ketiga adalah dengan mengurangi atau menghilangkan kegiatan-kegiatan yang tidak perlu yang diyakini merupakan pemborosan APBN/APBD, seperti yang dimaksud Presiden dengan FGD, jalan-jalan ke luar negeri, bimtek, rapat-rapat di hotel, dan pembelian alat tulis kantor yang berlebihan. Sering kita saksikan menjelang akhir tahun berbagai kegiatan seminar/rapat/FGD yang memenuhi hotel-hotel hanya untuk menghabiskan anggaran.

Alasan klasik adalah "kalau anggaran tidak habis, tahun depan anggaran akan dikurangi." Menurut hemat kami, penilaian kinerja kementerian/lembaga yang diukur dari habisnya anggaran merupakan penilaian yang sesat. Sudah berkali-kali saya sampaikan kepada pemerintah agar penilaian berbasiskan program dan penghematan anggaran, bukan berbasiskan proyek. Akibatnya, ditemukan proyek-proyek fiktif hanya sekadar untuk menghabiskan anggaran.

4. Gerakan efisiensi berikutnya adalah konservasi energi, yaitu penghematan pemakaian energi, baik dengan memperbaiki cara penggunaan atau dengan menggunakan peralatan yang hemat energi. Seperti mengatur pemakaian listrik agar tidak berlebihan, mematikan lampu pada siang hari, atau pada saat tutup kantor, serta mematikan AC pada saat tidak lagi digunakan. Semuanya bisa dilakukan tanpa usaha yang besar, atau dengan menggunakan energi terbarukan, seperti solar cell. Banyak cara untuk melakukan konservasi energi, namun program yang baik ini yang digaungkan sejak tahun 80-an, timbul tenggelam karena pemerintah sebagai pemilik otoritas tidak konsisten melaksanakan kebijakan tersebut secara berkelanjutan.

Program efisiensi ini adalah hal biasa dilakukan di korporasi, karena dengan melakukan itu, perusahaan bisa bersaing di era persaingan yang semakin ketat. Namun sayangnya, gerakan yang luar biasa cerdas ini dipelesetkan, seolah-olah menghilangkan proyek-proyek strategis, memotong dana pendidikan dan dana kesehatan, sehingga menimbulkan kegaduhan.

Dilalahnya, mereka yang antipati karena terganggunya kepentingan mereka, ditunggangi oleh kepentingan politik yang memang menginginkan rakyat dan bangsa Indonesia tetap bodoh dan tetap dalam kendali oligarki hitam dan asing.

Kebijakan efisiensi Presiden Prabowo akan semakin lengkap apabila Presiden sekaligus meluruskan penggunaan anggaran yang tidak pada tempatnya, melanggar konstitusi, antara lain dana pendidikan untuk perguruan tinggi/sekolah kedinasan.

RDP tanggal 19 Februari 2025 antara beberapa asosiasi pendidikan dengan Komisi X juga membahas adanya penggunaan dana pendidikan 20% dari APBN yang dialokasikan ke perguruan tinggi/sekolah kedinasan kementerian/lembaga di luar Kementerian Pendidikan. Ini jelas melanggar amanat konstitusi yang sudah judicial review dan diputuskan oleh MK bahwa dana yang digunakan oleh sekolah yang dibangun oleh kementerian/lembaga di luar Diknas, tidak termasuk kuota 20% dana pendidikan. Dilalahnya, pendirian sekolah kedinasan ini seperti jamur tumbuh di waktu hujan, dan ini di luar tugas dan fungsi mereka, menjadi tempat penampungan birokrat yang menjelang pensiun atau mereka yang tidak termanfaatkan, yang tidak punya visi dan pemahaman tentang pendidikan.

Sekolah kedinasan dimungkinkan khususnya untuk bidang-bidang yang tidak diselenggarakan oleh PTN dan PTS. Sekolah kedinasan harusnya non-gelar, untuk menambah keahlian, bukan hanya untuk memperpanjang gelar kesarjanaan. Untuk diketahui, dana operasional per-mahasiswa sekolah kedinasan jauh lebih tinggi dari biaya yang dialokasikan untuk PTN. Dampak yang nyata:

Status dosen sebagai ASN di kementerian/lembaga non-Diknas yang mendapatkan Tukin, dan status mereka yang merangkap sebagai dosen mendapatkan tunjangan serdos, yang membuat dosen di bawah Kementerian Pendidikan meminta juga untuk dibayarkan Tukin, dengan argumentasi demi keadilan.

Menurut pendapat kami, seharusnya mereka yang dosen ASN di kementerian/lembaga non-Diknas yang mendapatkan serdos, tidak lagi menerima Tukin, atau ditetapkan salah satu yang paling tinggi. Tidak seharusnya pemerintah memenuhi tuntutan Tukin dari dosen ASN Diknas.

Tukin adalah tunjangan kinerja kepada kementerian/lembaga yang telah melakukan reformasi birokrasi, sementara serdos diberikan kepada dosen untuk kinerjanya sebagai dosen yang melaksanakan tridarma. Dua hal yang berbeda dengan status yang berbeda, namun memiliki tujuan yang sama. Kasus yang sama, seseorang sebagai guru mendapat tunjangan profesi guru, tapi juga merangkap sebagai dosen yang menerima tunjangan serdos, ini karena kelemahan sistem, sehingga tidak terpantau siapa yang merangkap jabatan tersebut.

Kalau pemerintah memenuhi tuntutan dosen ASN Dikti untuk membayarkan Tukin, artinya telah memberikan tunjangan ganda dengan tujuan yang sama, kinerja sebagai birokrat dan kinerja sebagai dosen. Siapapun yang menerimanya bisa dikategorikan melakukan tindakan korupsi. Meluruskan penggunaan anggaran yang tidak pada tempatnya bisa dilakukan untuk Gerakan Efisiensi Episode Kedua. Semoga Gerakan Efisiensi Episode Pertama bisa mencapai sasaran. Untuk itu, pemerintah harus kuat melawan gerakan-gerakan untuk perubahan menuju Indonesia Emas.

Kebenaran hanya pada Allah, Kesalahan pada Penulis.

Penulis: Rektor UIGM / Ketua Pembina Aptisi / Mantan Ketua DPR-RI / Mantan Dir BUMN / Mantan PNS Departemen Keuangan.

(aik/aik)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial