Jakarta -
Entah sejak kapan, orang-orang yang berkepentingan selalu menggunakan narasi yang dipertarungkan di medan perang. Bukan medan perang sungguhan, tapi medan perang dunia maya. Kata 'maya' tidak membuat peperangan menjadi lebih lunak, justru bisa sebaliknya, pertempuran itu bisa jadi memiliki dampak yang lebih fantastis.
Itulah yang dicari oleh dua pihak yang sedang bertempur. Bedanya dengan pertempuran di dunia nyata, pertempuran di dunia maya tidak kenal awal dan akhir. Semua berlangsung begitu semu. Tidak ada yang sosok yang memulai. Tapi sebagian tahu bahwa itu ulah buzzer.
Sesuai dengan pengertiannya, buzzer atau pendengung adalah seorang yang dibayar untuk menyuarakan sebuah narasi tertentu. Bisa narasi tentang kebijakan pemerintah yang harus didukung, atau sebuah narasi yang sengaja didengungkan untuk memperjuangkan sesuatu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fenomena terakhir yang sedang booming di media sosial adalah perihal pemecatan Shin Tae-yong (STY). Seorang pelatih kepala Timnas Indonesia asal Korea Selatan yang telah menukangi tim garuda sejak 5 tahun yang lalu. Pria yang akrab dengan panggilan STY itu sejak 6 Januari yang lalu resmi dipecat oleh PSSI dari kursi kepelatihannya.
Media sosial ramai, netizen memuncak, pembela STY muntab, dan pembenci STY bahagia. Perang narasi terjadi di sana. Kelompok pencinta STY melayangkan narasi protes kepada Erick Thohir yang dinilai sangat ceroboh memotong kontrak pelatih di saat tim sedang bagus-bagusnya.
Sementara itu, pembenci STY merasa puas. Selama ini, mereka ingin pelatih asal Korsel itu segera diganti karena satu dan lain hal. Tapi, sampai sini, ada yang aneh. Banyak sekali narasi yang disampaikan oleh pembenci STY terasa sangat template dan seperti sebuah narasi yang telah diorganisasi. Itulah yang disebut sebagai netizen sebagai buzzer.
Buzzer bekerja dengan memanfaatkan algoritma media sosial untuk menciptakan ilusi opini mayoritas. Fenomena buzzer menjadi sangat kentara dalam berbagai peristiwa politik besar, seperti pemilu. Mereka menggunakan akun-akun palsu atau anonim untuk menyebarkan informasi, baik yang benar maupun yang keliru.
Dengan strategi ini, mereka mampu mempengaruhi persepsi publik secara masif. Lebih menarik lagi, fenomena buzzer ini tidak jarang melibatkan teknologi canggih, seperti bot atau kecerdasan buatan, untuk meningkatkan skala penyebaran.
Bagi masyarakat awam, fenomena ini membingungkan. Sulit membedakan mana narasi yang autentik dan mana yang direkayasa. Akibatnya, rasa skeptisisme terhadap informasi semakin tinggi. Namun ironisnya, hal ini juga membuat orang mudah termakan narasi yang disampaikan secara meyakinkan, meskipun tidak berdasarkan fakta.
Dalam batas wajar, keberadaan buzzer bisa dimaklumi, tapi jika sudah menyentuh ranah yang lebih ekstrem dan menyebarkan kebencian, agaknya hal itu perlu diwaspadai. Namun, apa perang narasi di media sosial adalah hal baru? Sayangnya tidak. Situasi seperti ini sudah terjadi ratusan tahun yang lalu.
Jauh Sebelum Ada Internet
Sejarah mencatat bahwa propaganda adalah alat yang sudah digunakan jauh sebelum internet ada. Jika ditarik sejarah Indonesia kita mengenal peran pers perjuangan seperti Medan Prijaji yang diterbitkan oleh Tirto Adhi Soerjo. Narasi yang dibangun merupakan alat untuk membakar semangat nasionalisme rakyat Indonesia.
Tidak hanya itu, contoh lain yang lebih kompleks adalah tulisan-tulisan yang disampaikan oleh H. Misbach di surat kabar Medan Moeslimin. Di surat kabar tersebut, Misbach menulis banyak sekali pemikirannya yang berujung kepada pembentukan narasi.
H. Misbach dalam sejarah dikenal sebagai anggota Sarekat Islam (SI) yang berada di Surakarta. Misbach mempunyai pemikiran yang cukup radikal karena menggabungkan dua unsur yang saling bertentangan, yaitu Islam dan Komunisme.
Keradikalan Misbach bukan tidak berdasar. Ia ingin menggunakan Islam sebagai alat untuk memperjuangkan kebebasan dan melawan Belanda yang dianggap selalu menindas masyarakat proletar. Namun, ide Misbach bertentangan dengan konsep dasar dan prinsip yang dipegang oleh SI secara umum.
Misbach yang dikenal sebagai pemikir dan penulis ulung menggunakan istilah baru untuk melabeli lawannya di dunia pergerakan. Nama itu adalah 'Islam Lamisan', sebuah istilah yang dipakai untuk merujuk ke umat Islam yang munafik dan hanya berkeinginan untuk memperkaya diri dengan mengatasnamakan Islam.
Pendukung Misbach tidak sedikit, ada banyak. Hingga mereka berhasil membentuk aliansi baru yang menyimpang dari organisasi induknya yaitu SI. Pemikiran ini banyak diikuti, terlebih ketika beberapa kelompok lain juga ikut dalam penyebaran narasi Misbach.
Secara ekstrem, Misbach bisa dibilang telah menyimpang dan mulai membentuk gerakan baru yaitu SI Merah. Bagi kelompok penentangnya, SI Merah adalah golongan kiri yang harus dilawan. Sementara, bagi Misbach dan kawan-kawan, SI Merah adalah gerakan yang mengedepankan Islam sebagai asas perjuangan.
Narasi Misbach dan tokoh lain di masa lalu, tentu berbeda dengan narasi yang disampaikan oleh buzzer di masa kini. Bahasa singkatnya, Misbach dan Tirto bukanlah buzzer. Mereka adalah pemimpin gerakan yang menyuarakan idenya dengan cara menulisnya sendiri secara gamblang.
Tidak hanya itu, perbedaan juga terletak pada medianya. Teknologi modern membuat penyebaran narasi menjadi lebih cepat dan lebih masif. Meski begitu, tujuannya tetap sama yaitu mempengaruhi asumsi publik untuk mendukung atau membenci sebuah propaganda tertentu.
Mencapai Tahap Memprihatinkan
Peperangan narasi di dunia maya telah mencapai tahap yang memprihatinkan. Alih-alih menjadi ruang diskusi yang sehat dan demokratis, internet sering berubah menjadi arena pertempuran sengit. Setiap kelompok berusaha memenangkan narasi dengan segala cara, termasuk menyebarkan kebencian, melakukan doxing, atau bahkan mengintimidasi.
Salah satu contoh dari peperangan ini adalah sebuah tradisi baru bernama cancel culture. Dalam budaya ini, seseorang atau kelompok tertentu yang melakukan kesalahan akan diserang habis-habisan di media sosial. Praktik dalam perjalanannya sering berujung pada penghancuran reputasi korbannya.
Fenomena lain yang tidak kalah penting adalah semakin maraknya penyebaran berita palsu atau hoax. Tujuannya bukan lagi sekadar memenangkan perdebatan, tetapi melahirkan kekacauan informasi. Efeknya, publik bisa menjadi terpecah belah.
Peperangan digital ini juga diperburuk oleh peran algoritma. Algoritma dirancang memberikan konten yang sesuai dengan preferensi pengguna, tetapi efek sampingnya adalah terbentuknya filter bubble yang memungkinkan seseorang hanya melihat informasi yang memperkuat pandangannya sendiri, tanpa memperoleh sudut pandang berbeda.
Pendeknya, kita perlu belajar dari masa lalu sekaligus memahami tantangan masa kini. Peperangan narasi di media sosial harus dipandang sebagai sesuatu yang positif, yaitu membuka ruang bagi orang untuk berekspresi. Tidak lebih dari itu.
Sejarah mengajarkan bahwa narasi adalah alat yang ampuh, tetapi juga berbahaya jika digunakan tanpa tanggung jawab. Pada era digital, tanggung jawab ini tidak hanya berada di tangan pemerintah atau perusahaan teknologi, tetapi juga pada kita sebagai individu.
Lantas, bagaimana kita sebagai pengguna media sosial dapat bersikap dengan bijak di tengah gempuran perang narasi yang semakin menjadi-jadi? Bagaimana kita bisa mengidentifikasi mana informasi yang benar dan mana informasi yang salah?
Sikap kritis dan literasi digital merupakan kunci utama dalam menghadapi tantangan ini. Kita perlu lebih berhati-hati dalam menyaring informasi yang diterima. Selain itu, penting juga untuk menciptakan ruang diskusi yang sehat. Setiap pendapat dihargai tanpa harus ada intimidasi atau ancaman.
Pada akhirnya, internet adalah cerminan dari masyarakat kita sendiri. Jika kita ingin dunia maya yang lebih sehat dan penuh integritas, kita perlu mulai dari diri sendiri.
Muhammad Farih Fanani jurnalis
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu