Jakarta -
Presiden Prabowo Subianto memulai kepemimpinannya dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 yang menekankan efisiensi belanja APBN/APBD. Kebijakan ini menuai pujian atas penghematan yang signifikan, tetapi juga kritik terkait dampak sosial yang ditimbulkan. Penting untuk dicatat bahwa efisiensi anggaran bukan hanya sekadar angka, melainkan juga berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat yang tidak hanya berdampak temporer tetapi jangka panjang.
Pemangkasan anggaran hingga Rp 300 triliun menunjukkan bahwa pengelolaan anggaran pemerintah selama ini tidak efisien. Kementerian dan Lembaga (K/L) tetap beroperasi meski anggarannya dipotong, mengindikasikan masih terdapat banyak program-program yang tidak memberikan dampak nyata dan tidak relevan untuk kepentingan yang lebih luas. Contoh nyata termasuk pembiayaan rapat di hotel mewah, perjalanan dinas yang mengada-ada, ataupun pengadaan alat tulis kantor yang bisa berulang-ulang diajukan.
Program-program yang selama ini disusun memperlihatkan ketidakjelasan di dalam target dan hanya menjadi pengisi anggaran. Ini semua menciptakan budaya pemborosan yang harus diatasi di dalam sistem birokrasi dan manajemen K/L. Hal ini mencerminkan bahwa banyak anggaran pemerintah yang tidak dialokasikan dengan baik dan tidak berdasarkan pada kebutuhan-kebutuhan strategis menyangkut kepentingan bangsa dan masyarakat luas.
Menciptakan Dampak
Efisiensi anggaran menjadi sinyal bagi seluruh elemen K/L untuk lebih berhati-hati dalam merancang program dan menetapkan anggaran di masa depan. Pemborosan yang terjadi menuntut perlunya perubahan budaya birokrasi agar lebih bertanggung jawab.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, di balik penghematan tersebut, kebijakan ini menciptakan dampak signifikan di dalam birokrasi dan pencapaian target kementerian dan kelembagaan. Kementerian seperti Kemendikbudristek menghadapi ancaman pemotongan dana riset yang sudah minim, yang berpotensi merugikan inovasi riset di Indonesia berkaitan dengan kemajuan penelitian dan pendidikan.
Kebijakan penghematan juga berdampak pada alokasi dana beasiswa, yang menimbulkan kekhawatiran di kalangan penerima beasiswa yang selama ini telah berjalan. Alokasi dana sebesar Rp 1,2 triliun dinilai masih sangat kecil untuk mendukung penelitian. PPATK melaporkan bahwa pemotongan anggaran sebesar Rp 109,8 miliar membuat lembaga ini hanya mampu membayar gaji pegawai hingga Agustus 2025. Selain itu, Komisi Yudisial terpaksa menerapkan work from anywhere (WFA) untuk menekan biaya operasional.
Dipengaruhi Beban Utang
Kebijakan pemangkasan anggaran ini juga dipengaruhi oleh beban utang Indonesia yang mencapai Rp 6.948 triliun per November 2024, dengan utang luar negeri pemerintah mencapai US$ 203 miliar. Dalam konteks ini, efisiensi anggaran menjadi keharusan untuk mendukung janji politik Prabowo, seperti program makanan bergizi gratis bagi anak-anak. Namun, langkah ini bukanlah solusi jangka panjang.
Kebijakan pemerintah terlihat sering bersifat reaktif dan ambigu, seperti pemangkasan yang awalnya ditujukan untuk K/L tertentu, namun meluas ke semua instansi. Contoh lain adalah kebijakan distribusi "gas melon" yang berubah-ubah, menciptakan ketidakpastian di masyarakat. Masih ingat kasus pagar laut di Tangerang, Banten? Pada saat awal kasus ini mencuat ke publik, masyarakat dibuat bingung karena hampir semua pejabat ramai-ramai menyatakan tidak mengetahui siapa pelakunya dan menuntut pengusutan. Masyarakat seperti menyaksikan drama di ruang publik, di mana hanya dengan mengandalkan kekuatan intelijen sebetulnya, pelakunya pasti akan ketahuan dengan cepat.
Efisiensi dan restrukturisasi menjadi kebijakan utama pemerintahan Prabowo, dengan tujuan mengurangi beban APBN. Namun, efek pemangkasan anggaran ini akan lebih dirasakan oleh masyarakat dibandingkan oleh pemerintah. Dalam bukunya Teori dan Analisis Kebijakan Publik (2016), Awan Abdoellah dan Yudi Rusfiana menekankan bahwa kebijakan publik harus dirancang untuk mencapai tujuan tertentu. Oleh karena itu, kehati-hatian sangat diperlukan agar kebijakan tidak mengorbankan masyarakat.
Diimbangi Evaluasi
Pemerintah harus sadar bahwa masyarakat kini semakin pragmatis dan realistis dalam menghadapi realitas kehidupan. Oleh karena itu, efisiensi anggaran jangan hanya dilihat dari besarnya dana yang bisa dihemat, tetapi harus diimbangi dengan evaluasi menyeluruh terhadap program prioritas dan non-esensial di K/L. Dan, yang lebih penting, pemerintah concern untuk memperbaiki mekanisme pengawasan program dan (realisasi) anggaran sehingga pemborosan tidak terulang di satu sisi, dan untuk memastikan agar seluruh pemotongan tersebut tidak justru berbalik merugikan layanan publik dan mengorbankan kepentingan masyarakat.
Komunikasi yang transparan antara pemerintah dan masyarakat juga sangat penting untuk menghindari mis-persepsi dan mengatasi kepanikan yang mungkin timbul, seperti yang sempat terjadi dalam kasus pembelian Elpiji 3 kg sebelumnya.
Efisiensi anggaran adalah langkah yang tepat, tetapi harus memperhatikan dampak langsung pada masyarakat. Pemerintah perlu belajar dari kasus "gas melon," di mana kebijakan yang tidak konsisten dapat menurunkan kepercayaan publik yang akan merugikan pemerintah sendiri. Pemerintah harus sadar bahwa masyarakat bukan sekadar objek kebijakan, melainkan pemangku kepentingan bahkan mitra utama pemerintah.
Tanpa keberpihakan pada rakyat, efisiensi dapat mengarah pada krisis legitimasi. Oleh karena itu, setiap kebijakan harus dirancang dengan mempertimbangkan kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat sebagai prioritas utama. Dampak dari pemangkasan anggaran ini akan dirasakan langsung oleh masyarakat, yang menjadi pihak yang paling terdampak.
Sonny Eli Zaluchu Guru Besar STT Baptis Indonesia
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu