Efisiensi Anggaran dan Pembangunan Kebudayaan

3 weeks ago 23

Jakarta -

Kebijakan efisiensi anggaran yang diterapkan oleh pemerintahan Prabowo telah menjadi sorotan utama dalam berbagai sektor, termasuk bidang kebudayaan. Kebijakan efisiensi anggaran sering memaksa pemerintah untuk melakukan pemangkasan pembiayaan pada sektor-sektor yang dianggap non prioritas.

Penekanan pada penghematan fiskal dan kinerja birokrasi, meskipun memiliki tujuan untuk meningkatkan efisiensi pengeluaran negara, di satu sisi bisa memproyeksikan bagaimana sebenarnya kesungguhan kita terhadap pembangunan kebudayaan; di sisi lain, pembangunan kebudayaan selalu menjadi salah satu pilar penting dalam perumusan identitas dan peradaban bangsa.

Pemerintah Indonesia, dalam beberapa dekade terakhir, telah menempatkan kebudayaan di garis depan melalui pembentukan Kementerian Kebudayaan yang bertujuan untuk melestarikan dan mempromosikan warisan budaya. Namun, meskipun sudah ada institusi khusus yang khusus menangani urusan kebudayaan, kenyataan menunjukkan bahwa keterbatasan dana dan alokasi anggaran yang minim menghambat efektivitas program-program kebudayaan.

Fenomena ini mengundang pertanyaan mendalam mengenai logika pembangunan pemerintah: apakah retorika politik dan simbolisme institusional sejalan dengan implementasi nyata yang mendukung peradaban bangsa, tidak hanya pada pelestarian seni, tradisi, dan identitas budaya?

Logika Pembangunan

Seperti yang selama ini kita pahami, secara retoris, pembentukan Kementerian Kebudayaan diharapkan menjadi wujud komitmen pemerintah dalam memajukan seni, tradisi, dan warisan budaya. Namun, ketika dana yang disediakan tidak cukup untuk merevitalisasi program-program pelestarian atau mengembangkan inovasi kultural kreatif, dan inovatif, maka ini justru menjadi simbol ambisi politik yang tidak sepenuhnya terealisasi dalam praktiknya.

Logika pembangunan yang hanya mengandalkan keberadaan institusi anggaran tanpa mencerminkan kesenjangan antara wacana nasional dan kebijakan fiskal. Dalam konteks ini, sikap politik pemerintah menunjukkan kecenderungan untuk lebih mengutamakan efisiensi fiskal dan pemotongan anggaran di sektor (yang dianggap) non produktif, termasuk kebudayaan.

Padahal teori modal budaya dari Pierre Bourdieu mengingatkan bahwa nilai budaya tidak semata-mata dapat diukur dalam istilah ekonomi nilai-nilai dalam kebudayaan yang tidak bisa diukur secara ekonomi justru menjadi fondasi identitas bangsa. Maka ketika dana dialokasikan secara ketat berdasarkan "pengembalian investasi", aspek non ekonomi seperti warisan identitas dan nilai estetika terancam terabaikan. Hal ini berpotensi mengikis kekayaan nilai budaya yang telah menjadi fondasi kohesi sosial dalam masyarakat.

Di tingkat kementerian, efisiensi anggaran berakhir pada pengurangan atau penghapusan program, pengalihan bentuk dan atau skala kegiatan hingga peniadaan proyek-proyek yang tidak dianggap memberikan dampak langsung pada bentuk keuntungan ekonomi. Evaluasi dan penetapan prioritas yang bersifat teknokratis ini mengabaikan aspek humaniora dan nilai historis dari kebudayaan.

Contohnya, proyek restorasi situs-situs warisan budaya atau pelestarian seni tradisional sering kali dinilai dari segi efisiensi finansial, bukan nilai budaya dan identitas yang terkandung di dalamnya. Di berbagai daerah, terdapat banyak situs yang memiliki nilai sejarah dan budaya tinggi, namun kurangnya dana menyebabkan upaya restorasi dan perawatan rutin tidak terlaksana dengan optimal.

Sementara kita tahu, kebudayaan semestinya dipandang sebagai aset sosial yang menyatukan masyarakat, bukan sekadar komoditas ekonomi pariwisata budaya yang dapat berkontribusi pada perekonomian lokal. Kebijakan semacam ini dapat menciptakan kesenjangan antara kebijakan makro yang berorientasi pada efisiensi dan realitas mikro di lapangan, di mana nilai-nilai autentik dan kearifan lokal terpinggirkan.

Efek Langsung

Pengurangan anggaran tidak hanya berdampak pada institusi kebudayaan, tetapi juga dirasakan langsung dalam kehidupan masyarakat. Festival lokal, pertunjukan seni, dan pelatihan tradisional—yang selama ini berfungsi sebagai sarana pembentukan identitas dan solidaritas komunitas—menjadi aksesnya semakin terbatas. Di beberapa daerah, penurunan dukungan pemerintah menyebabkan dihentikannya kegiatan budaya yang rutin diadakan sebelumnya, sehingga warga kehilangan wadah untuk mengekspresikan dan memperkuat identitas lokal mereka.

Aktivitas budaya yang bersifat inklusif dan partisipatif ini merupakan bagian integral dari kehidupan sosial dan tidak hanya berfungsi sebagai hiburan semata. Ketika dukungan pemerintah menurun, masyarakat harus mencari sumber pendanaan alternatif, yang sering tidak merata, sehingga menimbulkan ketimpangan antarwilayah.

Dalam menghadapi kebijakan efisiensi anggaran, banyak komunitas budaya mulai mencari alternatif pembiayaan dan cara untuk tetap eksis. Kerja sama dengan sektor swasta, crowdfunding, dan pemanfaatan platform digital menjadi beberapa strategi adaptasi yang mulai diterapkan. Contohnya, beberapa komunitas seni di kota besar telah beralih ke pemasaran digital untuk menjangkau audiens yang lebih luas, serta menggandeng sponsor swasta dalam penyelenggaraan acara budaya.

Meskipun strategi ini menunjukkan kreativitas dan kemandirian, mereka juga menimbulkan kekhawatiran mengenai komersialisasi nilai budaya. Teori komodifikasi budaya mengingatkan bahwa ketika budaya dijadikan produk pasar, esensi autentik dan makna historisnya berpotensi tereduksi. Pendekatan pasar sering mengutamakan aspek estetika dan hiburan, sementara nilai-nilai mendalam yang telah diwariskan secara turun-temurun bisa jadi tersisihkan.

Di ranah internasional, kebudayaan berfungsi sebagai alat diplomasi yang penting, dengan soft power menjadi salah satu aset strategi bangsa. Kegiatan-kegiatan seperti pameran seni, pertukaran budaya, dan partisipasi dalam festival internasional tidak hanya memperkenalkan citra Indonesia, tetapi juga mengukuhkan posisi negara di kancah global.

Namun, kebijakan efisiensi anggaran yang ketat di sektor fiskal meningkatkan risiko soft power tersebut. Jika pengurangan dana terus berlanjut, kegiatan-kegiatan yang mampu menampilkan kekayaan dan keberagaman budaya Indonesia akan berkurang, sehingga Indonesia kehilangan momentum dalam diplomasi budaya. Sehingga, retorika pemerintahan tentang "budaya sebagai jendela peradaban" hanya menjadi slogan jika tidak didukung oleh tindakan nyata dalam bentuk investasi anggaran.

Oleh karena itu, penyusunan ulang alokasi anggaran harus mempertimbangkan pentingnya investasi pada kegiatan budaya sebagai modal strategis, yang tidak hanya memberikan nilai ekonomi, tetapi juga meningkatkan profil bangsa internasional.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sikap Politik

Apa yang bisa kita pelajari dari sikap politik pemerintah terhadap peradaban bangsa ini? Pertama, terdapat indikasi bahwa kebijakan efisiensi anggaran sering mengutamakan pertimbangan ekonomi semata, sehingga nilai-nilai non ekonomi yang merupakan jantung dari kebudayaan terpinggirkan.

Kedua, retorika simbolis yang diusung melalui pembentukan Kementerian Kebudayaan harus disertai dengan komitmen finansial yang serius. Tanpa dukungan tersebut, kebijakan kebudayaan tidak akan mampu memberikan dampak yang signifikan bagi peradaban dan identitas nasional.

Ketiga, adanya kebutuhan mendesak untuk mengintegrasikan pendekatan kebijakan yang holistik, yang tidak hanya mengejar efisiensi fiskal tetapi juga mengutamakan pelestarian nilai-nilai budaya sebagai modal sosial yang berharga. Untuk itu, kebijakan pembangunan harus dirancang sedemikian rupa agar dapat menjembatani kesenjangan antara aspirasi retoris dan implementasi realitas, sehingga kebudayaan tidak sekadar menjadi alat promosi politik, melainkan fondasi yang memperkuat peradaban bangsa.

Dengannya, logika pembangunan pemerintah terhadap pembangunan selama ini mencerminkan dualitas antara aspirasi ideal dan realistis fiskal yang keras. Pembentukan Kementerian Kebudayaan, meskipun merupakan langkah simbolis yang penting, harusnya diikuti oleh investasi yang mampu agar kebijakan tersebut tidak hanya menjadi retorika, melainkan juga tercermin dalam setiap aspek kehidupan budaya masyarakat.

Sikap politik pemerintah dalam hal ini menjadi cermin dari prioritas nasional: apakah Indonesia akan memilih untuk mempertahankan dan mengembangkan warisan budayanya sebagai aset utama peradaban, ataukah kebudayaan akan terus dikompromikan demi efisiensi ekonomi yang jangka panjang. Dialog kritis dan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan ini menjadi kunci untuk memastikan bahwa pembangunan kesejahteraan tidak hanya dijadikan slogan, tidak hanya bagi kebudayaan, tetapi juga terwujud sebagai kenyataan yang mendukung peradaban bangsa secara menyeluruh.

Purnawan Andra alumnus Governance & Management of Culture Fellowship Program di Daegu Catholic University Korea Selatan

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial