Jakarta -
Memasuki 2025, ekonomi Indonesia masih dihantui penurunan daya beli, PHK massal hingga turunnya kelas menengah. Namun di tengah kondisi tersebut, di libur panjang Isra Mikraj dan Imlek ini tempat hiburan masih ramai pengunjung.
Kondisi ini disoroti oleh Pakar Bisnis Profesor Rhenald Kasali. Dalam momen libur panjang pekan ini, tempat-tempat hiburan ramai pengunjung hingga mengakibatkan kondisi macet di sejumlah tempat.
"Libur panjang, jalanan macet kembali, dan hari libur tahun ini diperkirakan lebih dari 100 hari dalam setahun, banyak libur ditambah sabtu minggu. Jadi, kenapa jalan tetap ramai? Padahal, banyak yang mengatakan daya beli turun, jumlah kelas penengah berkurang, pengangguran banyak, orang kena PHK apalagi, anak muda susah cari kerja," kata Rhenald, lewat unggahan Instagram @rhenald.kasali, dikutip Rabu (29/1/2025).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rhenald mengatakan, kondisi seperti ini kerap disebut dengan istilah lisptick effect, kondisi perubahan gaya konsumsi yang terjadi pada kondisi ekonomi tertentu. Istilah ini pertama kali dicetuskan oleh Chairman Emeritus The Estée Lauder Companies Inc Leonard Lauder saat tragedi 9/11 di Amerika Serikat (AS).
Pada kala itu, daya beli masyarakat turun hingga sulitnya mencari pekerjaan, bahkan orang-orang juga kesulitan mengunjungi Amerika. Namun Lauder melihat keanehan, di mana penjualan lisptik justru meningkat pada kala itu.
"Semua mencari kemewahan yang terjangkau. Masyarakat selalu mencari kemewahan bagi dirinya, untuk menghibur diri, untuk mendapatkan kebahagiaan, tetapi yang dicari adalah semakin yang terjangkau," ujar Rhenald.
"Misalnya, mau beli mobil, harganya dia hitung-hitung, wah nggak masuk. Tiba-tiba masuk di mobil dari China yang harganya masih terjangkau, dan China memanfaatkan itu, harganya lebih murah. Kemudian liburan, liburan juga adalah kemewahan yang terjangkau. Tempat-tempatnya dekat-dekat, masih sekitar Jakarta, Bandung, Jogja, Jawa Tengah," sambungnya.
Dengan demikian, menurutnya terjadi fenoman masyarakat yang mencari kemewahan terjangkau. Begitu pula dengan lipstik yang merupakan make up, serta skincare yang menurut sebagian orang juga merupakan kemewahan terjangkau, terbukti laku keras saat era COVID-19.
Experience Economy
Sementara itu, Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan, fenomena pergeseran belanja masyarakat untuk hal yang bersifat hiburan dikala daya beli sedang tertekan disebut sebagai experience economy. Ini bentuk pelarian dari situasi ekonomi yang sedang sulit.
"Misalnya momentum liburan digunakan untuk habiskan uang ke tempat rekreasi, nonton bioskop, nongkrong di cafe atau sekedar eksplorasi tempat wisata baru. Padahal gaji tidak naik signifikan, cicilan KPR masih banyak, namun belanjanya diarahkan ke belanja hiburan," ujar Bhima, dihubungi detikcom.
Menurutnya, fenomena ini di kota besar diikuti oleh menjamurnya tempat hiburan malam, karaoke, beach club yang makin spesifik. Contohnya, ada hiburan malam khusus Gen Z dibawah 30 tahun, kemudian beach club juga bertebaran tidak hanya di Bali tapi juga di Yogyakarta.
Kemudian arus dana investasi juga marak masuk ke experience economy. Ada juga kecenderungan konsumen perkotaan mencari cafe hidden gem. Padahal cuma ingin beli secangkir kopi, tetapi menurutnya, pengalaman mencari cafe di tengah hutan jadi sensasi yang menarik.
"Meski anomali, namun experience economy mendatangkan manfaat ke ekonomi seperti penciptaan lapangan kerja baru, pengembangan potensi wisata daerah hingga konservasi alam," imbuhnya.
Namun demikian, Bhima menilai, booming experience economy harus di sikapi dengan bijak. Misalnya, tetap punya skala prioritas dalam belanja, 40% dari pendapatan harus dicukupkan dulu untuk kebutuhan pokok seperti makan minum, serta cicilan wajib.
Setelah itu, 40% sisa pendapatan bisa ditabung hingga di investasikan. Baru 20% pendapatan untuk aktivitas experience economy. Ia menekankan, masyarakat harus bikak, mungkin jangan memaksa ke tempat hiburan dengan mengandalkan pinjaman.
(shc/hns)