Coretax dan Dilema Digitalisasi Pajak

1 day ago 9

Jakarta -

Pada 1 Januari 2025, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan resmi menerapkan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (Coretax). Dasar hukumnya adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024 yang secara substansi menyederhanakan berbagai regulasi di bidang perpajakan dengan memanfaatkan teknologi untuk mengintegrasikan seluruh layanan administrasi perpajakan di Indonesia.

Artinya, dengan penerapan Coretax terjadi transformasi aktivitas pajak yang bisa mengakselerasi penerimaan negara dengan terkonsolidasinya seluruh proses perpajakan dalam satu platform menjadi lebih mudah dan sederhana. Pun secara umum dengan keberadaan Coretax diharapkan mampu memodernisasi proses perpajakan, mulai dari pendaftaran wajib pajak, pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT), pembayaran pajak, pemeriksaan dan penagihan. Lebih lanjut, nilai anggaran yang dikeluarkan oleh negara untuk membangun dan mengembangkan sistem Coretax mencapai Rp 1,2 triliun.

Tentu ketika sistem ini mulai dijalankan tidak sedikit para subjek pajak, baik perseorangan atau badan usaha yang menyambut dengan baik. Pasalnya keberadaan Coretax adalah sebuah terobosan baru yang secara otomatis akan melindungi wajib pajak karena basis penerapannya dilakukan secara transparan. Sehingga setiap ada kesalahan dalam penginputan pajak bisa dilakukan klarifikasi atau perbaikan secepat mungkin serta tidak menimbulkan masalah ke depan yang berujung denda atau pidana.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sementara keuntungan bagi negara, keberadaan Coretax diharapkan mampu meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak (voluntary tax compliance) melalui pengurangan biaya kepatuhan dengan sistem yang efisien dan memberikan kemudahan bagi wajib pajak serta petugas pajak.

Namun, lebih dari 45 hari sejak penerapan Coretax diaplikasikan masih menyisakan persoalan yang saat ini masih membelenggu. Utamanya menyangkut aktivitas sistem yang masih sulit diakses oleh wajib pajak. Respons terhadap sistem website juga kerap mengalami kendala atau error membuat kecemasan para wajib pajak. Permasalahan seperti penerbitan e-filing, e-faktur, dan e-billing yang kerap mengalami perubahan dari hari ke hari juga menjadi kendala utama yang menghadirkan kekhawatiran dari para pelaku pajak baik itu konsultan pajak dan wajib pajak, terkhusus dalam seluruh proses pembayaran pajak.

Dampaknya selama Januari 2025 berdasarkan data dari DJP menyebutkan bahwa hanya berhasil menerbitkan 20 juta faktur pajak dengan nilai Rp 50 triliun. Angka ini tentu sangat jauh ketika proses perpajakan masih menggunakan sistem yang lama di mana pada Januari 2024 yang lalu penerimaan pajak mampu menghasilkan Rp 172 triliun dari penerbitan 60 juta faktur pajak.

Menghadirkan Dilema

Menurunnya penerimaan negara dari sektor pajak akibat tidak efektifnya penerapan Coretax tentu menghadirkan dilema bagi pemerintah. Sebab hal ini mengakibatkan terganggunya sistem penerimaan negara dan kas negara yang sejatinya sangat dibutuhkan oleh pemerintah dalam menjalankan program prioritasnya. Utamanya menyangkut program Makan Bergizi Gratis (MBG), program pemeriksaan kesehatan gratis dan pembentukan holding BUMN bernama Danantara.

Terkait Danantara, meskipun setoran awal Danantara diperoleh dari dividen 65 BUMN ke negara yang ditarget Rp 90 triliun namun dalam upaya memperkokoh fondasi ekonomi nasional memaksimalkan penerimaan pajak merupakan alternatif menjaga kondisi APBN tetap sehat. Apalagi Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) 2024 hanya Rp 45,4 triliun yang diharapkan bisa menjadi bantalan dalam memperkuat fiskal APBN 2025 justru tidak bisa dimaksimalkan akibat menurunnya penerimaan pajak pada Januari 2025.

Sementara kondisi eksisting saat ini para wajib pajak dan konsultan pajak saat ini masih menunggu soal kepastian stabilnya sistem Coretax agar setiap proses pembayaran pajak bisa berjalan tanpa hambatan. Memang berdasarkan Rapat Dengar Pendapat antara Dirjen Pajak dan Komisi XI DPR pada 10 Februari 2025 yang lalu dibuka opsi soal penggunaan sistem yang lama dalam pembayaran pajak. Namun, secara belum ada dasar hukum yang dihasilkan agar wajib pajak memiliki kepastian dalam pelaksanaannya.

Selain itu bila diberlakukan sistem lama dan sistem Coretax secara beriringan dalam pembayaran pajak tentu memiliki potensi masalah baru. Alasannya selain proses administrasi dari sistem yang lama harus menambah pekerjaan baru juga seluruh proses penyesuaian sistem administrasi yang baru harus dilakukan bila aplikasi Coretax ini telah benar-benar mapan. Konsekuensinya adalah berpotensi bisa menimbulkan kebingungan bagi wajib pajak dan konsultan pajak.

Evaluasi Menyeluruh

Digitalisasi pajak secara komprehensif sejatinya memiliki semangat dan cita-cita yang baik dalam pelaksanaan birokrasi termasuk reformasi pajak di Indonesia. Apalagi target yang dicanangkan pemerintah dari penerimaan pajak untuk 2025 sebesar Rp 2.189,3 triliun atau bisa tumbuh 13,9% dari outlook penerimaan pajak 2024. Sehingga dalam upaya memaksimalkan penerimaan pajak penting bagi pemerintah melalui Dirjen Pajak untuk mengevaluasi secara menyeluruh sistem Coretax.

Hal ini penting bagi para wajib pajak agar bisa lebih menaruh kepercayaan terhadap metode pembayaran pajak yang sedang berjalan melalui proses digital yang terintegrasi ini. Selain itu, dengan meningkatnya kepastian terhadap penggunaan Coretax akan koheren dan berbanding lurus pada meningkatnya kepercayaan para wajib pajak untuk menunaikan kewajibannya.

Evaluasi secara menyeluruh terhadap aplikasi, sistem, dan pola layanan algoritma Coretax oleh Kementerian Keuangan melalui Dirjen Pajak adalah harga pasti yang tidak bisa ditawar lagi mengingat masyarakat saat ini membutuhkan pelayanan yang berkualitas, efisien, murah, cepat, transparan, dan akuntabel. Selain itu manajerial dan operasional Coretax juga penting mendapatkan perhatian khusus untuk memudahkan para wajib pajak dalam seluruh proses perpajakan.

Logikanya meskipun membayar pajak adalah sebuah kewajiban bagi masyarakat atau perusahaan namun dalam seluruh pembayaran membutuhkan kesukarelaan. Pun dalam proses membayar pajak dalam pelayanan publik berkaitan dengan hak dan kewajiban. Hak pemerintah sebagai penerima pajak dan kewajiban pemerintah pula memberikan pelayanan terbaik bagi seluruh insan wajib pajak.

Herwikson Sitorus konsultan pajak dan pengurus Ikatan Konsultan Pajak Indonesia Kota Depok

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial