BRICS: Jembatan Kesetaraan atau Perangkap Ketergantungan?

3 hours ago 2

Jakarta -

Pengumuman Indonesia sebagai anggota penuh BRICS disampaikan secara resmi oleh Brasil pada Senin (6/1) waktu setempat, atau Selasa (7/1) waktu Indonesia. Langkah ini membawa Indonesia ke dalam blok negara berkembang yang sering diklaim sebagai penyeimbang dominasi ekonomi dan politik Barat.

Namun, di balik retorika "solidaritas Global South" yang digaungkan, keputusan ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah BRICS benar-benar menjadi solusi bagi kepentingan nasional Indonesia, atau justru menjadi jebakan struktural yang mempersempit ruang manuver di panggung internasional?

Penting untuk mempertanyakan langkah ini dengan kritis. Dalam banyak aspek, BRICS lebih menyerupai simbolisme politik daripada platform ekonomi yang efektif. Sebagai negara middle power, Indonesia kini menghadapi tantangan berat untuk menjaga relevansinya dalam struktur yang didominasi oleh kekuatan besar seperti China dan Rusia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Paradoks Solidaritas

BRICS sering digambarkan sebagai blok yang menantang tatanan dunia yang didominasi Barat. Dengan kontribusi hampir 25% terhadap PDB global dan populasi gabungan 40% dunia, ia tampak sebagai kekuatan kolektif yang menjanjikan. Namun, kenyataan berbicara lain. Perdagangan intra-BRICS, misalnya, hanya mencakup 15% dari total perdagangan mereka (IMF, 2022), angka yang jauh di bawah potensi maksimal.

Sementara itu, Bank Pembangunan Baru (New Development Bank), didirikan sebagai alternatif bagi Bank Dunia, hanya mampu menyalurkan $30 miliar sejak pendiriannya pada 2014. Angka ini bahkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pembangunan infrastruktur Indonesia yang diperkirakan mencapai $500 miliar hingga 2030 (ADB, 2020).

Ketimpangan internal BRICS juga menjadi hambatan besar. China, dengan PDB yang menyumbang lebih dari 70% dari total ekonomi blok, memiliki pengaruh yang mendominasi. Rusia, di sisi lain, menggunakan BRICS untuk mencari legitimasi internasional di tengah isolasi akibat invasi Ukraina. Dalam struktur seperti ini, negara-negara middle power seperti Indonesia hanya menjadi pelengkap, tanpa kapasitas nyata untuk mempengaruhi agenda.

Risiko Ketergantungan Ekonomi

Keanggotaan Indonesia di BRICS memperbesar risiko ketergantungan ekonomi pada China. Pada 2022, ekspor Indonesia ke negara-negara BRICS mencapai 19% dari total ekspor nasional, tetapi 74% di antaranya hanya ke China. Struktur perdagangan ini didominasi oleh komoditas primer seperti batu bara dan minyak sawit-sebuah pola yang memperkuat posisi Indonesia sebagai penyedia bahan mentah tanpa nilai tambah.

Ketergantungan ini menciptakan kerentanan yang signifikan, terutama dalam menghadapi fluktuasi pasar global atau perubahan kebijakan ekonomi China. Selain itu, Indonesia tidak memiliki posisi tawar yang kuat dalam perdagangan dengan China. Defisit perdagangan yang terus membengkak, sebesar $8,6 miliar pada 2022, menunjukkan bahwa hubungan ekonomi ini tidak simetris.

Dalam teori ketergantungan (dependency theory, Cardoso dan Faletto), pola hubungan ini mencerminkan ketidakseimbangan struktural di mana negara-negara berkembang seperti Indonesia tetap terjebak sebagai periferi dalam rantai nilai global yang didiktekan oleh kekuatan besar.

Ancaman bagi Diplomasi Bebas Aktif

Keputusan untuk bergabung dengan BRICS juga membawa implikasi geopolitik yang serius. Dengan bergabungnya negara-negara seperti Iran dan Arab Saudi, BRICS semakin diasosiasikan dengan poros China-Rusia yang bersikap konfrontatif terhadap Barat. Indonesia, yang selama ini memproyeksikan dirinya sebagai negara dengan diplomasi bebas aktif, kini menghadapi tantangan berat untuk mempertahankan netralitasnya.

Amerika Serikat dan Uni Eropa tetap menjadi mitra dagang utama Indonesia. Pada 2022, surplus perdagangan Indonesia dengan AS mencapai $15,8 miliar, sementara Uni Eropa merupakan salah satu tujuan utama ekspor non-migas. Persepsi bahwa Indonesia condong ke poros China-Rusia dapat merusak hubungan strategis ini. Dalam skenario terburuk, hal ini dapat memicu tarif perdagangan baru atau pengurangan investasi dari Barat, yang pada akhirnya akan merugikan ekonomi Indonesia.

BRICS juga membawa risiko diplomasi simbolis yang kosong. Indonesia, yang baru bergabung, tidak memiliki pengaruh nyata untuk mengubah arah agenda BRICS. Sebaliknya, Indonesia berisiko menjadi pengikut agenda China dan Rusia, yang sering kali bertentangan dengan kepentingan nasional dan stabilitas global.

Menavigasi Keanggotaan dengan Cermat

Keanggotaan penuh di BRICS adalah kenyataan yang tidak dapat diubah. Namun, Indonesia masih memiliki peluang untuk meminimalkan risiko dan memaksimalkan manfaat. Dalam konteks teori soft balancing (Robert Pape dan T.V. Paul, 2005), Indonesia dapat menggunakan BRICS sebagai instrumen untuk menyeimbangkan kekuatan besar tanpa harus terlibat dalam konfrontasi langsung.

Pertama, Indonesia harus mendorong agenda yang bersifat global tetapi tidak kontroversial, seperti transisi energi, ketahanan pangan, dan infrastruktur hijau. Dengan memprioritaskan isu-isu ini, Indonesia dapat membangun narasi bahwa keanggotaannya di BRICS adalah bagian dari strategi pragmatis, bukan keberpihakan ideologis.

Kedua, Indonesia harus memperluas hubungan ekonomi di dalam BRICS. India dan Brasil, misalnya, menawarkan peluang besar sebagai mitra strategis di sektor teknologi dan agrikultur. Dengan diversifikasi ini, Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada China dan meningkatkan daya tawarnya dalam blok.

Ketiga, Indonesia harus memperkuat hubungan bilateral dengan AS dan Uni Eropa. Kerja sama di sektor pendidikan, kesehatan, dan mitigasi perubahan iklim dapat membantu mengurangi persepsi bahwa Indonesia condong ke poros tertentu. Langkah ini juga akan memastikan bahwa hubungan dengan mitra tradisional tetap kuat.

Menjaga Optimisme

Meskipun skeptisisme mendominasi analisis terhadap BRICS, sedikit ruang untuk optimisme tetap ada. Keanggotaan ini memberikan peluang bagi Indonesia untuk memperluas jaringan diplomasi dan memperjuangkan reformasi tata kelola global yang lebih inklusif. Namun, manfaat ini hanya akan terwujud jika Indonesia mampu memainkan peran aktif dan strategis di BRICS, tanpa terjebak dalam orbit kekuatan besar seperti China dan Rusia.

Jika langkah ini tidak dikelola dengan hati-hati, keanggotaan di BRICS hanya akan menjadi simbolisme kosong yang memperdalam ketergantungan. Namun, jika berhasil dimanfaatkan dengan strategi yang matang, langkah ini dapat menjadi katalis untuk memperkuat posisi Indonesia di panggung internasional. Pilihan ada di tangan Indonesia-apakah akan menjadi pemain strategis atau sekadar pengikut dalam dinamika geopolitik global.

Virdika Rizky Utama Direktur Eksekutif PARA Syndicate, dosen Hubungan Internasional President University

(mmu/mmu)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial