Berhenti Menjadi Orang yang Menyebalkan

1 month ago 37

Jakarta -

Pada era digital yang semakin berkembang, kita sering mendengar istilah post-truth. Istilah ini merujuk pada kondisi di mana fakta objektif lebih sedikit mempengaruhi opini publik daripada emosi dan keyakinan pribadi. Di tengah banjir informasi yang tak terfilter, kita acap terjebak dalam kerangkeng post-truth—sebuah jebakan pikiran yang mengutamakan persepsi pribadi daripada realitas yang ada. Fenomena ini bisa sangat berbahaya karena dapat mempengaruhi cara kita membuat keputusan dan menilai masalah, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam ranah publik.

Kemudahan Akses Informasi

Kerangkeng post-truth terbangun melalui banyak faktor, salah satunya adalah kemudahan akses informasi yang sering datang dalam bentuk yang terpolarisasi. Media sosial, misalnya, sering memperkuat bias individu dengan algoritma yang memprioritaskan konten yang sesuai dengan pandangan pengguna. Hal ini kemudian menciptakan echo chamber atau ruang gema, di mana kita hanya mendengar informasi yang mendukung pandangan kita sendiri, sementara pandangan yang berbeda diabaikan atau dipandang dengan skeptis --mestilah menyebalkan berhadapan dengan orang seperti demikian.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Seorang penulis dan aktivis asal Lincolnville, Amerika Serikat, Eli Pariser, dalam bukunya yang bertajuk The Filter Bubble: What the Internet Is Hiding from You (2011) menjelaskan bagaimana algoritma di platform digital cenderung memperkuat pandangan seseorang, menciptakan ruang tertutup yang hanya menampilkan informasi yang disetujui oleh pandangan tersebut. Hal ini menyebabkan kita semakin terpisah dari sudut pandang lain dan semakin sulit menerima pandangan yang berbeda.

Secara psikologis, fenomena ini juga terkait dengan kecenderungan manusia untuk memilih informasi yang mengkonfirmasi kepercayaan yang sudah ada, sebuah fenomena yang dikenal dengan istilah confirmation bias. Bias ini tidak hanya menghambat pemahaman objektif, tetapi juga membuat kita lebih mudah terjebak dalam kerangkeng post-truth yang membatasi kemampuan untuk menerima fakta-fakta baru yang mungkin bertentangan dengan keyakinan kita sebelumnya.

Keluar dari Kerangkeng

Berhentilah menjadi orang yang menyebalkan, kira-kira seperti itulah kalimat yang saya lontarkan ketika berusaha mendebat seseorang dengan egoisme yang sangat tinggi, berargumentasi dengan parameter emosionalnya. Hemat saya, untuk keluar dari kerangkeng post-truth, kita perlu melatih diri untuk berpikir secara kognitif, yaitu dengan menggunakan proses berpikir yang rasional, logis, dan berbasis bukti. Berpikir kognitif tidak hanya melibatkan pemahaman informasi, tetapi juga kemampuan untuk mengevaluasi, menganalisis, dan mengkritisi informasi tersebut sebelum memutuskan untuk menerimanya.

Salah satu langkah pertama yang dapat dilakukan adalah meningkatkan kesadaran akan bias pribadi yang kita miliki ialah dengan mengenali kecenderungan kita untuk mencari informasi yang sesuai dengan pandangan kita --kita dapat berusaha lebih terbuka terhadap informasi yang mungkin bertentangan. Pahitnya, katakanlah ini adalah proses yang memerlukan kedewasaan dalam menerima kenyataan, bahkan jika kenyataan itu tidak nyaman dan menyakitkan.

Selain itu, berpikir kritis juga dapat diterapkan dengan memverifikasi sumber informasi. Berbeda dengan sepuluh sampai lima belas tahun ke belakang, di tengah informasi yang begitu melimpah tantangan kita saat ini bukanlah kesulitan mengakses informasi, melainkan memeriksa asal-usul informasi dan memastikan bahwa sumber tersebut dapat dipercaya adalah langkah penting untuk memisahkan fakta dari opini atau hoaks. Keberanian untuk bertanya, meragukan, dan mencari bukti yang lebih kuat adalah inti dari berpikir kognitif yang efektif.

Kunci Utama

Kita bisa keluar dari kerangkeng post-truth ini tidak hanya dengan memverifikasi informasi, tetapi dengan membangun cara berpikir yang lebih holistik dan berlandaskan pada fakta --menjaga keharmonisan di tengah keberagaman pandangan yang ada.

Untuk menciptakan masyarakat yang lebih cerdas dalam menghadapi era post-truth, pendidikan menjadi kunci utama. Program pendidikan yang mengajarkan keterampilan berpikir kritis, logis, dan berbasis bukti harus diperkenalkan sejak usia dini. Ini bukan hanya tentang mengajarkan cara membaca atau menulis, tetapi juga bagaimana menganalisis informasi secara mendalam dan bijaksana.

Pendidikan kognitif yang baik dapat membantu individu untuk menilai informasi dengan lebih objektif, mengurangi ketergantungan pada narasi emosional yang sering digunakan untuk memanipulasi opini, dan memperkuat kemampuan untuk berpikir secara rasional dalam pengambilan keputusan. Ini bukan hanya tanggung jawab individu, tetapi juga tanggung jawab negara dan institusi pendidikan untuk menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan kemampuan berpikir kritis.

Turangga Anom
mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Insan Cita

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial