Belajar dari Ketidakjujuran

2 days ago 10

Dalam satu minggu terakhir sudah dua kecelakaan yang membawa korban jiwa. Pada 4 Februari 2025 terjadi kecelakaan truk pengangkut air minum dalam kemasan yang terjadi di Tol Ciawi, Bogor, Jawa Barat. Korbannya ada 8 orang meninggal dunia, 11 orang luka berat, dan kerusakan di infrastruktur gerbang tol. Penyebab yang sementara terdeteksi adalah truk terjatuh karena kelebihan muatan.

Lima hari berselang, pada Minggu, 9 Februari 2025 terjadi kecelakaan truk yang memuat batu di Sukabumi. Korbannya 4 orang tewas dan 6 orang luka berat dan harus dilarikan ke rumah sakit. Salah satu dari korban yang meninggal adalah seorang bayi. Kali ini alasan kecelakaannya adalah rem yang blong. Menjadi pertanyaan bagi kita, apakah semua ini salah dari pengemudi atau kendaraannya --pihak-pihak yang paling gampang disalahkan?

Salah satu yang perlu dicurigai adalah praktik ketidakjujuran yang sudah menjamur di berbagai tempat di negeri ini. Praktik-praktik seperti pembelian Surat Izin Mengemudi, uang belakang untuk mendapatkan sertifikat lulus KIR --dari kata keur (Belanda) yaitu pemeriksaan atau uji kelayakan kendaraan bermotor untuk digunakan di jalan raya-- hingga praktik uang selip di sistem timbangan tonase di berbagai tempat di Indonesia. Akhirnya, selalu saja penyesalan datang belakangan.

Namun, sampai kapan "budaya" ini akan dipertahankan? Praktik-praktik semacam ini ada di berbagai tempat. Di kampus kita pernah menemui pungli-pungli untuk masuk universitas ternama; di institusi negara untuk jadi ASN atau TNI/Polri sudah jamak ditemukan praktik bayar di muka; bahkan di dalam mendapatkan pemimpin politik di negeri ini sudah tak terhitung berapa kali kita harus menangisi hasil pemilu yang lahir dari praktik uang suap atau yang lebih dikenal sebagai "serangan fajar".

Dalam situasi semacam ini, tidak layaklah bagi kita untuk mengharapkan situasi yang ideal. Hukum umum mengatakan, output yang didapatkan dalam suatu pekerjaan amat sangat tergantung pada input yang dimasukkan. Menjadi aneh kalau orang mengharapkan output yang baik dari input yang tidak baik. Aneh untuk memikirkan bisa dihasilkan makanan enak dari bahan-bahan yang sudah basi atau mengharapkan bangunan yang kuat dan kokoh dari berbagai jenis bahan bangunan dengan kualitas rendah. Logika sesederhana ini semestinya diketahui oleh banyak orang, tetapi kita seringkali mengandalkan keberuntungan.

Siapa yang Salah?

Ketika berbicara tentang situasi yang sudah membudaya, sulit bagi orang untuk bertanya tentang siapa yang salah. Hal ini terjadi karena sudah semakin memudarnya jarak antara yang benar dan yang salah. Orang sudah sampai kepada situasi tidak lagi bisa membedakan apa yang dianggap benar dan apa yang dianggap salah.

Dengan uang, truk dengan tonase berlebih boleh tetap jalan; dengan uang, pemimpin yang buruk tetap bisa dipilih; dengan uang, seorang calon apparat negara yang jelas-jelas tidak bermutu bisa diloloskan. Sayangnya, logika ini sudah dianggap benar sehingga di negeri ini seringkali muncul ungkapan "tahu sama tahu." Di titik ini, kejadian kecelakaan yang terjadi di Bogor dan Sukabumi yang terjadi hanya dalam kurun 5 hari bisa menjadi titik pertanyaan yang kalau mungkin bisa mengusik hati kita.

Beberapa waktu lalu ada sebuah video pendek yang secara sarkastik menunjukkan buah dari ketidakjujuran yang sudah dianggap sebagai kebenaran. Tampaknya video itu datang dari Thailand, bukan dari negeri kita. Video itu menggambarkan tentang seorang dokter senior yang juga sekaligus profesor di sebuah perguruan tinggi yang mendidik calon dokter spesialis bedah. Di sana ada mahasiswa yang berasal dari keluarga kaya sehingga meskipun dia tidak pintar, bisa melewati berbagai macam ujian --dari ujian masuk sampai ujian praktik membedah. Setiap kali ujian, si dokter yang menjadi profesor ini selalu mendapatkan sebuah amplop berisi uang.

Lima tahun berselang, sang dokter sudah pensiun, sementara calon dokter yang datang dari keluarga kaya tadi sudah praktik di rumah sakit dekat rumah sang dokter pensiunan. Kebetulan, waktu itu anak perempuan satu-satunya dari sang pensiunan harus menjalani operasi sesar. Digambarkan bahwa di ruang operasi itu si dokter dari keluarga kaya itu berkeringat cukup deras karena sebenarnya ia tidak siap untuk praktik sesar.

Singkat cerita, anak perempuan si dokter pensiunan itu meninggal di meja operasi karena kesalahan dokter muda yang kaya tetapi tidak pintar itu. Ia salah melakukan operasi sehingga terjadi pendarahan berlebih. Saat si dokter keluar dari ruang operasi, ia masih menggunakan masker. Seluruh keluarga menangis mendengar kabar itu. Tak terkecuali si dokter pensiunan alias bapak dari korban malpraktek itu bersedih. Sedetik kemudian ia menaruh curiga. Ia mendekati kepada si dokter muda itu dan membuka maskernya.

Scene ditutup dengan gambaran dokter senior yang menunjukkan ekspresi marah tetapi juga menyesal saat melihat si dokter bodoh yang dulu dididiknya. Rupanya tindakan korup yang dilakukannya sudah melahirkan dokter ceroboh yang membunuh anak semata wayangnya. Berbagai macam peristiwa di mana ia menerima uang suap kembali muncul di hadapannya. Namun, lagi-lagi nasi sudah menjadi bubur. Betapa menyesalnya dia karena sedikit banyak, ia sudah turut serta membunuh anak semata wayangnya sendiri.

Saatnya Mengubah Cara Pikir

Di tengah situasi yang saat ini menjamur di masyarakat kita, rasa-rasanya kita perlu bertanya tentang mimpi Indonesia Emas. Saya tidak begitu pesimis bahwa kita tidak bisa mencapai Indonesia Emas, sehingga muncul kata-kata sarkas yang mengatakan, "Kita memasuki masa Indonesia Cemas."

Yang lebih penting bagi kita adalah menjadikan pengalaman demi pengalaman sebagai hal yang mendewasakan kita. Perlu disadari bahwa kita tidak sedang baik-baik saja. Institusi-institusi negara maupun swasta perlu kembali melihat bahwa ada yang salah dari proses bermasyarakat kita. Kesadaran bersama itu penting karena kalau kesadaran itu hanya menjadi kesadaran individual, tidak pernah akan ada yang namanya perubahan.

Merebaknya tindak ketidakjujuran di berbagai tempat yang sudah dianggap sebagai kewajaran menuntut perubahan radikal dari cara berpikir kita. Tan Malaka, salah seorang pahlawan nasional Indonesia, dalam bukunya yang terkenal Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika), pernah mengatakan bahwa warga bangsa ini perlu menjumpai permasalahan konkret hidupnya supaya bisa mengatasi berbagai hambatan kehidupan. Orang tidak bisa terus menerus mengharapkan keberuntungan.

Sistem pemerintahan yang baik tidak mungkin lahir dari proses politik kotor. Sistem transportasi yang aman tidak mungkin lahir dari sistem perizinan yang dijalankan dengan berbagai bentuk persekongkolan jahat mulai dari sistem perekrutan aparatnya.

Rasanya, sebagai bangsa kita tidak boleh lagi dibuat capek ketika kita mendengar 'berbagai kecelakaan' terjadi di negeri ini. Kecelakaan di perpolitikan muncul dalam bentuk hadirnya pemimpin yang korup dan tidak kompeten; kecelakaan di transportasi terngiang dalam bentuk korban kecelakaan akibat KIR yang tidak diperhatikan; kecelakaan di dunia kesehatan tampak dalam berbagai bentuk malpraktek yang dihasilkan oleh sistem pendidikan yang tidak benar.

Teringat pesan dari Sutan Sjahrir, perdana menteri pertama kita, "Kemerdekaan nasional adalah bukan pencapaian akhir, tapi rakyat bebas berkarya adalah pencapaian puncaknya." Semoga orang-orang terbaik dan prestasi-prestasi terbaik mewarnai hidup bersama kita, bukan orang-orang buruk yang beruntung mendapatkan posisi yang baik. Bukan waktunya lagi untuk berharap kepada keberuntungan. Sudah saatnya untuk mengubah cara pikir kita.

Tidak mungkin kita mengharapkan makanan yang enak kalau bahan baku yang disediakan sudah basi.

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial