Beban Kerja Berat, Pekerja Mitra Pos Indonesia Minta Jadi Karyawan Kontrak

1 month ago 43

Jakarta -

Para pekerja mitra PT Pos Indonesia (Persero) mengharapkan statusnya bisa diangkat menjadi karyawan kontrak. Dengan status tersebut, harapannya para pekerja bisa mendapatkan jaminan sosial (jamsos) hingga upah yang lebih layak.

Presiden FSP ASPEK Indonesia Abdul Gofur mengatakan, dalam Undang-undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sendiri hanya ditetapkan status karyawan tetap atau karyawan organik, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), serta outsourcing. Dengan demikian, tidak ada status kemitraan.

"Dalam Pos Indonesia di-adopt sistem kemitraan. Komisi VI mitra kerja Kementerian BUMN. Pos Indonesia adalah salah satu perusahaan di bawah Kementerian BUMN. Regulasi apa yang mengatur status kemitraan di perusahaan BUMN? Dalam kontrak kerja, isinya tidak sesuai dengan yang disesuaikan UU Ketenagakerjaan, kata Gofur, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi VI DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (10/2/2025).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Oleh karena itu, para pekerja mitra Pos Indonesia mengharapkan agar statusnya bisa naik dari pekerja mitra menjadi pekerja kontrak. Hal ini agar setidaknya para pekerja bisa mendapatkan perlindungan dan upah yang lebih layak.

"Kenapa nggak nuntut karyawan tetap saja? Kita nuntut PKWT saja banyak yang protes. Kita coba meminta yang paling rendah saja dulu, yaitu PKWT, nanti selebihnya kita ikuti aturan ketenagakerjaan yaitu 2 plus 1 (tahun) kontrak kerja harus diangkat menjadi karyawan tetap," ujarnya.

Gofur menjelaskan, status sebagai mitra membuat para pekerja tidak mendapatkan hak-hak yang sesuai dengan UU Ketenagakerjaan. Misalnya dalam hal gaji, gaji yang diberikan rata-rata di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP), bahkan paling tinggi hanya sekitar Rp 2,5 juta s.d Rp 3 jutaan.

"Teman-teman ini bekerja layaknya karyawan Pos Indonesia organik atau PKWT, tapi statusnya kemitraan. Terkait upah juga upahnya tidak jelas, tergantung dari fee pengantaran surat, kalau yang di loket penjualan materai dan lain-lain, perhitungannya juga tidak ada keterbukaan," kata dia.

Selain itu, para pekerja juga harus memenuhi target kerja 200 jam/bulan, jauh lebih padat dibandingkan ketentuan UU Ketenagakerjaan 160 jam/bulan. Para pekerja juga tidak mendapatkan jaminan sosial, baik itu BPJS Kesehatan maupun BPJS Ketenagakerjaan dari perusahaan. Begitu pula dengan Tunjangan Hari Raya (THR).

Salah satu Pekerja Mitra Pos Indonesia Rio mengatakan, status mitra sendiri baru mulai terjadi di tahun 2019. Pada kala itu, Pos Indonesia menghapuskan posisi pekerja kontrak.

"Sebelumnya ada kayak kontrak. Jadi habis 2019 itu dihapus, diganti jadi sistem kemitraan semua," kata Rio, ditemui usai rapat.

Sementara itu, pekerja mitra lainnya, Fahri mengatakan, dirinya sempat merasakan posisi sebagai karyawan kontrak karena bergabung dengan Pos Indonesia mulai tahun 2017-an. Namun kontraknya berubah mulai tahun 2019 tersebut.

"Saya dapat surat pemecatan, besoknya langsung kerja, cuma jadi mitra statusnya. Kita mau mengadakan kemitraan, dijelaskan cuman mau nggak, kalau nggak mau silahkan keluar," ujar Fahri.

"Pas masuk tahun 2020 itu sudah nggak ada PKS (Perjanjian Kerja Sama) gitu, sudah nggak berjalan lagi sampai sekarang. Sekarang PKS-nya pun terbitkan (2025) malah makin nyusahin kita," sambungnya.

Dulu, Fahri merasakan mendapat THR, jaminan sosial, hingga gaji setara UMR pada kala itu. Bahkan, ada rekannya yang gajinya bisa tembus Rp 9 juta. Posisinya juga berada di lingkup manajemen kantor.

Namun setelah berubah jadi status mitra, gajinya menjadi tidak menentu. Fahri juga kini menempati posisi sebagai pengantar, sehingga gajinya bergantung dari volume barang yang ia antar.

"Paling kecil ada yang Rp 1,4 juta sebulan. Kadang Rp 3 juta, kadang Rp 4 juta, kadang Rp 5 juta. Berubah-berubah setiap bulannya sesuai volume. Nggak pernah menentu," kata dia.

Baik Rio maupun Fahri sendiri berharap agar status mereka bisa ditingkatkan minimal kembali menjadi pekerja kontrak. Dengan demikian, harapannya mereka bisa mendapatkan upah yang lebih layak, jaminan sosial, hingga waktu kerja yang lebih baik.

Fahri mengatakan, upaya mereka untuk mengajukan keluhan ke manajemen dibatasi tidak pernah diteruskan ke pusat. Alhasil, langkah mengadukannya ke DPR Komisi VI pun ditempuh dengan harapan bisa ada komunikasi langsung dengan jajaran pusat Pos Indonesia.

(kil/kil)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial