Jakarta -
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) RI, Yassierli mendorong tata kelola Artificial Intelligence (AI) yang adil dan inklusif. Dia menilai kecerdasan buatan saat ini bukan hanya tren semata, melainkan kekuatan untuk tranformasi yang mengubah cara dunia bekerja, termasuk di Indonesia.
Hal tersebut ia tegaskan pada Pertemuan Menteri Ketenagakerjaan BRICS di Brasilia, Brasil, Jumat (25/4) waktu setempat, yang membahas tema 'Kecerdasan Buatan dan Masa Depan Pekerjaan'.
"AI telah mengubah industri dan mendefinisikan ulang keterampilan. Namun, dengan potensi sebesar itu, transformasi ini harus dikelola secara bijaksana dan inklusif," ujarnya dalam keterangan tertulis, Sabtu (26/4/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yassierli menyebut kehadiran AI ibarat dua mata pisau. Di satu sisi, AI menjanjikan efisiensi, peningkatan produktivitas, serta peluang kerja dan inovasi baru. Namun di sisi lain, kata dia, tanpa tata kelola yang inklusif, AI berisiko memperlebar kesenjangan dan meninggalkan sebagian tenaga kerja.
"Indonesia tidak melihat AI sebagai ancaman, melainkan sebagai kekuatan yang harus dimanfaatkan secara bertanggung jawab. Teknologi harus melayani kemanusiaan, bukan sebaliknya," tegasnya.
Dia menjelaskan Indonesia mengedepankan pendekatan berbasis masyarakat (people-centric approach) dalam adopsi AI. Tujuannya untuk menciptakan peluang yang lebih luas, melindungi martabat manusia, dan memperkuat keadilan sosial. Pendekatan tersebut diwujudkan melalui empat fokus utama.
Pertama, inklusi digital. Pemerintah memandang akses terhadap teknologi, infrastruktur, dan literasi digital sebagai hak dasar. Indonesia berkomitmen memastikan masyarakat pedesaan, pekerja informal, dan kelompok rentan tidak tertinggal dalam transformasi digital.
Kedua, penyiapan keterampilan. Untuk menjawab kesenjangan keterampilan akibat pesatnya kemajuan teknologi, Indonesia mendorong modernisasi pelatihan vokasi melalui kemitraan industri dan pendidikan. Program pelatihan nasional dirancang agar pemanfaatan AI dapat dilakukan secara luas, efisien, dan menjangkau lebih dari 280 juta penduduk.
"Kami juga tengah membangun Pusat Produktivitas Nasional dengan AI sebagai tema strategis, baik sebagai subjek riset maupun alat transformasi ketenagakerjaan," tambahnya.
Ketiga, perlindungan sosial adaptif. Sistem perlindungan sosial harus mampu mengakomodasi masa transisi pekerjaan. Dia mencontohkan program Asuransi Kehilangan Pekerjaan di Indonesia, yang menggabungkan dukungan penghasilan, pelatihan ulang, dan fasilitasi penempatan kerja kembali.
Keempat, dialog sosial inklusif. Ia mengatakan, partisipasi aktif pemerintah, pengusaha, dan pekerja menjadi kunci dalam menyusun kebijakan dan kerangka tata kelola AI yang adil dan bertanggung jawab.
Dalam forum tersebut, Indonesia juga mengajak negara-negara BRICS memperkuat kerja sama global, khususnya dalam investasi keterampilan digital, pertukaran kebijakan ketenagakerjaan inklusif, kolaborasi tata kelola AI, serta promosi inovasi berbasis keadilan dan keberlanjutan.
"Masa depan pekerjaan bukan hanya ditentukan oleh algoritma, tetapi oleh pilihan-pilihan yang kita ambil hari ini. Indonesia memilih melangkah dengan tekad, menjunjung keadilan, dan berpegang pada semangat kolaborasi," pungkasnya.
(prf/ega)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini