Suatu hari, di tengah badai musim hujan, sebuah helikopter bergerak dengan cepat menukik di sepanjang pantai utara Australia, menjelajahi hutan bakau dan sungai untuk mencari target yang bersembunyi.
Ini adalah taktik terbaru untuk membereskan masalah kapal asing yang beroperasi secara ilegal di perairan Australia.
Menurut pihak berwenang, jumlahnya "tidak pernah sebanyak ini."
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertanyaan tentang siapa yang sebenarnya membiayai armada tersebut juga muncul, dengan pihak keamanan mengonfirmasi mereka sedang menyelidiki kemungkinan adanya hubungan dengan kejahatan terorganisasi di luar Australia.
Bila dilihat dari atas, kapal-kapal tersebut sulit dikenali.
Foto dan video terbaru memperlihatkan kapal-kapal kecil dan datar yang sengaja disembunyikan di sungai-sungai pesisir, dicat dengan warna gelap dan ditutupi dengan cabang-cabang pohon.
Seorang awak kapal penangkap ikan Indonesia ditemukan di hutan bakau di Arnhem Land, pada bulan Desember 2024. (Foto: Northern Land Council)
Perahu-perahu itu ditutupi dedaunan. (Foto: Northern Land Council)
Perahu Indonesia lainnya ditemukan oleh sebuah perusahaan produksi film di pesisir Kimberley. (Foto: Wild Pacific Media)
Kapal-kapal tersebut sulit dikenali dari udara. (Foto: Wild Pacific Media)
"Medannya sangat terjal, dengan pasang surut yang besar, buaya, hiu, lumpur yang dalam, suhu dan kelembaban yang tinggi," ujar pengawas Australian Border Force Justin Donaldson.
"Jadi, ini adalah area yang sangat sulit untuk beroperasi."
Dalam beberapa bulan terakhir, pemerintah federal Australia telah menambah sumber daya manusia untuk mencoba mencegat kapal-kapal tersebut.
Mereka seolah bermain kucing-kucingan di sepanjang puluhan ribu kilometer garis pantai.
Beberapa kapal ini telah mengantarkan sekelompok pencari suaka dan migran ke tepi pantai, tetapi sebagian besar darinya adalah kapal nelayan dari Indonesia.
Penjaga hutan Aborigin dan operator pariwisata lokal menemukan pria China berkeliaran di jalur semak-semak, dan nelayan Indonesia melambaikan tangan dari pantai yang indah.
Muncul kekhawatiran terhadap kesejahteraan nelayan muda miskin, yang beberapa meninggal di perairan Australia karena putus asa ketika mencari tangkapan bernilai tinggi.
"Sah-sah saja untuk menganggap ini sebagai masalah pelik, tidak ada satu solusi mudah," ujar peneliti Natasha Stacey.
Menurutnya banyak yang setuju Australia perlu mencari cara baru, selain menghentikan kapal, untuk mengatasi masalah penawaran dan permintaan yang berujung perdagangan.
"Hampir mustahil untuk menghentikan penangkapan ikan ilegal Indonesia di perairan Australia, karena kualitas ikan kita yang terbaik di dunia — yang akan sangat menggoda nelayan di seberang laut," katanya.
"Saya kira sudah saatnya kita mencoba sesuatu yang baru."
Sejarah panjang nelayan Indonesia
Penduduk Asia Tenggara telah tinggal di kawasan pantai utara, yang kini disebut Australia, selama ratusan tahun.
Awak kapal Makassar mendirikan kemah jauh sebelum perantau dari Inggris menginjakkan kaki.
Batas-batas maritim saat ini baru ditetapkan pada tahun 1970-an dan 80-an, sementara jumlah kapal naik dan turun selama beberapa dekade sejak saat itu, tetapi tidak pernah berhenti.
Otoritas Pengelolaan Perikanan Australia (AFMA) menggambarkan masuknya kapal saat ini sebagai hal yang belum pernah terjadi sebelumnya.
"Bisa dibilang ini belum pernah terjadi sebelumnya, sejak 2023 jumlahnya sangat tinggi," kata manajer umum perikanan AFMA, Justin Bathurst.
"Faktor yang mendorong kenaikan ini adalah keuangan.
"Ada risiko ekonomi dan keselamatan terkait penangkapan ikan ilegal, tetapi sayangnya yang kami lihat adalah keuntungan finansial yang lebih besar daripada risikonya — itulah umpan balik yang kami terima dari para nelayan Indonesia."
Menurut Pemerintah Indonesia, sekitar setengah dari awak kapal berlayar dari Sulawesi Tenggara.
Para pria dari pesisir terus menangkap ikan di perairan setempat, tetapi dengan semakin sedikitnya jumlah ikan dan hilangnya teripang di terumbu karang, semakin banyak yang berlayar lebih jauh ke selatan ke perairan Australia.
Apakah ini kejahatan terorganisasi?
Pertanyaannya kini beralih ke siapa yang membiayai armada kapal.
Penduduk pesisir seperti Peter Tucker percaya perdagangan ilegal kini lebih terorganisasi daripada oportunistik.
Dia mengelola tempat penyewaan perahu penangkap ikan dari sebuah kamp di pesisir Kimberley yang terpencil, dan dalam beberapa bulan terakhir telah membantu memandu perahu patroli ke tempat para nelayan bersembunyi.
"Selama setahun terakhir jumlah perahu telah meningkat pesat, dan yang menonjol adalah betapa santai dan beraninya para nelayan," katanya.
"Jika ini terjadi di pantai timur Australia, akan ada unjuk rasa di seluruh negeri.
"Dan dengan jumlah kapal saat ini, saya rasa mereka tidak akan datang untuk membawa pulang makanan, saya yakin mereka memasok rantai komersial besar yang memasok ke Asia Raya."
AFMA telah mengonfirmasi mereka bekerja sama dengan Kepolisian Federal Australia di lapangan untuk melakukan penyelidikan.
"Sejumlah [kapal] penangkap ikan ilegal yang kami lihat didanai, baik melalui kejahatan terorganisasi atau melalui cara lain," ujar Justin dari AFMA.
"Ini belum tentu hanya usaha penangkapan ikan kecil yang dijalankan pemilik dan operator.
"Kami ingin mengetahui dari mana datangnya dana itu sehingga kami dapat menangani masalah ini dari akarnya, dan itu juga bagian dari pembicaraan kami dengan pihak berwenang di Indonesia."
Lebih dari 100 nelayan ditangkap dan dituntut tahun lalu, dan sidang pengadilan telah mengungkap latar belakang kemiskinan dari para pemuda yang terlibat.
Sebagian besar berpendidikan rendah, menghidupi keluarga, dan beberapa akan kembali ke rumah setelah menjalani hukuman penjara di Australia dengan utang ribuan dolar, harus membayar kembali kapal-kapal yang dibakar di laut oleh otoritas Australia.
Dalam sebuah sidang baru-baru ini, seorang pengacara yang mewakili beberapa nelayan merangkum situasi mereka.
"Kami berpikir orang-orang ini bisa sampai ke sini karena faktor kemiskinan, dan pada akhirnya datang mencari uang untuk kehidupan yang lebih baik. Mereka hampir tidak menemukan cara untuk membayar denda," kata pengacara tersebut di hadapan pengadilan.
"Ini adalah operasi yang agak tidak canggih, tanpa lemari es di atas kapal, tidak ada sistem GPS berteknologi tinggi, para pria itu mengandalkan kompas dan telepon untuk berlayar."
Hakim mengaku kesulitan dalam menerapkan hukuman, dan mengatakan bahwa: "Meskipun pengadilan tidak ingin menjebloskan nelayan Indonesia ke penjara … Anda harus tahu bahwa jika Anda kembali, hukumannya akan lebih tinggi dan lebih berat."
Kekhawatiran lainnya adalah para nelayan mempertaruhkan nyawa mereka untuk melakukan perjalanan ilegal, dengan laporan tentang orang yang tenggelam dalam badai siklon dan nelayan yang dibunuh buaya.
Jadi, apa yang diperlukan untuk mengubah pengambilan keputusan agar tidak mendekati benua Australia secara ilegal?
Mencari solusi jangka panjang
Natasha Stacey adalah ilmuwan sosial yang telah meneliti komunitas nelayan Indonesia selama dua dekade.
Ia mengatakan undang-undang dan batas wilayah saat ini perlu dikaji ulang.
"Salah satu masalah dengan [nota kesepahaman] tahun 1974 dan amandemennya adalah bahwa nota tersebut pada dasarnya sudah ketinggalan zaman," jelasnya.
"Jadi selama 30 tahun terakhir, akademisi dan komentator telah meminta pemerintah Australia dan Indonesia untuk berdiskusi dan mempertimbangkan kembali pengaturan tersebut."
Undang-undang saat ini mengizinkan awak kapal Indonesia untuk menangkap ikan dengan cara "tradisional" di wilayah seluas 50.000 kilometer persegi di sepanjang perbatasan laut.
Namun, sebagian besar nelayan menggunakan perahu bermotor yang dilarang, sehingga apa yang disebut kotak MOU sebagian besar tidak diperlukan lagi.
Profesor Stacey mengatakan Australia gagal memenuhi komitmennya untuk memberikan dukungan kepada masyarakat yang kehilangan akses ke perairan tempat mereka mencari ikan selama ratusan, bahkan ribuan tahun.
"Kami benar-benar melihat sangat sedikit pembangunan masyarakat, jadi ada peluang di sana," katanya.
"Apa yang akan terjadi jika Australia dan Indonesia dapat bekerja sama dengan masyarakat nelayan terpilih selama periode lima hingga 10 tahun, dan menerapkan beberapa kegiatan pembangunan yang dapat … mengurangi keterlibatan mereka dalam kegiatan ilegal dari waktu ke waktu?
"Kami juga dapat melihat beberapa peluang untuk memberi lisensi kepada beberapa nelayan dengan kepentingan historis yang mapan, untuk memberi mereka semacam kuota."
Muncul kebingungan mengenai rencana jangka panjang apa yang menjadi prioritas pemerintah Australia dan Indonesia.
Dalam pernyataan terbarunya, Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia mengatakan pihaknya bekerja sama dengan pemerintah Australia untuk mengembangkan "program mata pencaharian alternatif bagi nelayan Indonesia yang akan disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi geografis masing-masing wilayah".
Namun, Pasukan Perbatasan Australia, yang telah menandatangani serangkaian perjanjian baru-baru ini dengan Indonesia terkait penangkapan ikan ilegal, tidak mengonfirmasi pernyataan ini.
Artikel ini diproduksi oleh Natasya Salim dari laporan dalam bahasa Inggris