Ancaman di Balik Tradisi 'Menyiksa' Sunat Perempuan

1 month ago 47

Ingatan masa kecil tentang seorang ayah yang meminta maaf kepada putri tercintanya membuat Farha membongkar ulang, memikirkan takdir perempuan yang ternyata memiliki sebuah pilihan. Ayahnya menitikkan air mata di depan Farha ketika ia duduk di bangku kelas enam sekolah dasar. Ia meminta maaf karena sebuah keputusan keliru: menyunat Farha ketika baru saja lahir ke dunia.

“Saat itu beliau menangis. Ayah saya jarang menangis karena kan laki-laki ditradisikan gengsi untuk mengeluarkan air mata karena budaya ya. Dan perlukaan terhadap alat genital (saya) itu membuat trauma ayah saya. Karena kan keputusan ada di tangannya,” ungkap Farha kepada detikX.

Farha lahir dan tumbuh di kampung tua yang masih menjunjung tinggi tradisi setempat yang terletak di Ambon. Keluarga besarnya, juga lingkungan kampungnya, menganut mazhab Syafi'i, sehingga sunat perempuan dianggap sebagai wajib, seperti halnya sunat bagi laki-laki.

Hampir mustahil pada masa itu, tahun 1963, ayah Farha menolak menyunat putri tercintanya. Bahkan pada masa kini, keponakan Farha masih mengalaminya. Baginya, membicarakan sedikit saja sunat perempuan dalam keluarganya menjadi hal yang sangat sensitif.

Tonggak penyelaman pribadi Farha terhadap isu-isu perempuan, tentang apa yang ia alami dan banyak perempuan lainnya, terutama menyoal sunat perempuan, terbangun ketika dirinya memasuki dunia pendidikan tinggi.

“Dan ini juga membuat saya kaget gitu dan memikirkan, dalam proses tumbuh kembang, saya merasa ya kalau sunat laki-laki itu kan dianggap sesuatu yang mulia, yang wajar dengan motif yang positif. Sunat perempuan saya nggak menemukan jawabannya. Nah, setelah baca-baca dan terutama setelah saya mahasiswa, saya baru menemukan sumber-sumbernya,” tutur perempuan yang menjadi salah seorang penggagas organisasi isu hak-hak perempuan, Rahima, itu.

Mamah bilang disunatnya itu dengan cara digunting pakai gunting yang biasa digunain untuk operasi. Mamah juga bilang untuk sunat ke aku itu karena ajaran dari guru agamanya, untuk kesehatan, dan juga ajaran dari orang tua dulu.”

Meski kini mulai ada peraturan pelarangan sunat perempuan, jika ada pihak yang melakukannya hanya secara simbolis, Farha tetap menentangnya. Sebab, menurut Farha, melanggengkan praktik ini artinya melanggengkan anggapan sunat menyelamatkan perempuan dari nafsu seks liar perempuan.

“Kalau dilihat motifnya, itu memang semacam pensucian perempuan dari kotoran yang dianggap lahir dengan kekotoran itu yang ada di alat genitalnya. Jadi, menurut saya, ideologi inilah yang jahat, yang harus kita lawan. Perempuan sebagai makhluk seksual dengan segala stigma buruknya, justru proses-proses internalisasinya jadi semakin kuat kalau kita tetap mengiyakan sunat perempuan secara simbolis ini,” tandas Farha.

Bukan hanya Farha, dua perempuan yang namanya disamarkan juga mengalami hal serupa. Rieke lahir di Tangerang pada 2004. Syifa lahir di Jakarta Selatan 2002. Keduanya disunat ketika masih bayi merah, diputuskan orang tua mereka dengan alasan agama.

“Mamah bilang disunatnya itu dengan cara digunting pakai gunting yang biasa digunain untuk operasi. Mamah juga bilang untuk sunat ke aku itu karena ajaran dari guru agamanya, untuk kesehatan, dan juga ajaran dari orang tua dulu,” ujar Syifa.

Ibu Syifa khawatir, jikalau tak disunat, anak-anak perempuannya tidak sah secara agama. Meski hingga saat ini Syifa belum merasakan efek kesehatannya berdasarkan diagnosis dari dokter, ia sempat membaca beberapa di internet.

“Dari yang aku sempat baca, efek jangka panjang mengakibatkan beberapa masalah kayak keputihan atau menstruasi. Dari yang aku alami, aku memang cukup sering mengalami keputihan, mungkin seenggaknya satu kali dalam sehari,” katanya.

Syifa menentang praktik seperti ini dilanjutkan, sebagai perempuan, jika efek sunat perempuan itu memang berdampak jua pada kepuasan seksual. Ini semakin membuatnya khawatir. Baginya, perempuan juga berhak merasa puas dalam hubungan seksual sama halnya dengan laki-laki.

Sedangkan Rieke, keputusan sunat yang diambil oleh orang tuanya, selain lantaran pertimbangan agama, juga karena direkomendasikan oleh dokter tempatnya dilahirkan. Sama dengan Syifa, bagi Rieke, meski sampai saat ini tidak mengalami dampak kesehatan, menurutnya, sunat perempuan tak ada faedahnya.

WHO mencatat sunat perempuan atau female genital mutilation (FGM) berdampak buruk pada kesehatan tanpa adanya manfaat medis. FGM dapat menyebabkan pendarahan, infeksi, nyeri kronis, komplikasi melahirkan, dan gangguan seksual. Sering kali FGM diperburuk oleh pelaksanaan yang tidak memenuhi standar medis.

Secara psikologis, FGM juga dapat memicu trauma, depresi, dan gangguan stres pascatrauma (PTSD). WHO menggolongkan FGM sebagai pelanggaran hak asasi manusia dan menyerukan penghapusan praktik ini untuk melindungi kesehatan serta hak perempuan di seluruh dunia.

Tradisi Mengakar Kuat, Stigma Kian Melekat

Menurut catatan Komnas Perempuan pada 2024, tiga provinsi yang masih tinggi menerapkan sunat perempuan adalah Gorontalo, Belitung Selatan, dan Banten. Ketiganya juga masuk dalam Riset Kesehatan Dasar 2013.

Terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang upaya kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja, menurut anggota Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor, mulai berpengaruh memberikan pemahaman kepada masyarakat.

Pasal 102 huruf a beleid tersebut menyatakan penghapusan praktik sunat perempuan merupakan bagian dari upaya penyelenggaraan kesehatan sistem reproduksi bayi, balita, dan anak prasekolah.

“Saya kebetulan yang melakukan pemantauan di Belitung Selatan, ya. Kalau dari sisi perangkat pemerintah daerahnya atau OPD-nya atau dinas kesehatannya, itu mereka sudah membaca, memahami, mengetahui tentang adanya PP yang melarang, terutama pada Pasal 102, yang melarang sunat perempuan, itu mereka sebagian besar memahami,” terang Maria kepada detikX.

Meski demikian, tantangan juga masih banyak didapatkan. Di Bangka Belitung Selatan, misalnya, wilayah yang masyarakatnya belum terinformasi, angka sunat perempuannya masih tinggi dan belum menunjukkan penurunan.

Tak hanya itu, bidan juga dokter di beberapa wilayah setempat juga kerap menemui ancaman jika menolak permintaan sunat perempuan. Kasus pengusiran tenaga kesehatan pun tak terhindarkan, pelarangan praktik juga jadi kecemasan.

“Itu artinya bidan itu terpaksa melakukan karena ada tuntutan. Jadi mereka mengatakan, ‘Ya kami melakukannya karena ada tuntutan masyarakat, daripada kami diancam’. Dia bilang gitu, tidak boleh berpraktik misalnya atau diusir dari tempat praktiknya, mereka kemudian melakukannya,” ungkap Maria.

Sedangkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) telah mengategorikan sunat perempuan, baik yang benar-benar melakukan pelukaan terhadap alat genital maupun yang secara simbolis, merupakan kekerasan bagi perempuan.

“Kenapa simbolis kok dianggap kekerasan terhadap perempuan, karena kita menilik dari tujuannya, karena perempuan kalau nggak disunat itu dianggap binal. Dari tujuannya saja sudah tidak benar, dari mana pendapat itu. Sementara kalau laki-laki tidak ada yang disunat karena dianggap binal,” terang Asisten Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan Kementerian PPPA Eni Widiyanti.

Dalam memberantas praktik sunat perempuan, Kementerian PPPA menggandeng Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) juga para perempuan yang tergabung dalam majelis taklim. Ini untuk memberikan pemahaman ke masyarakat sekitar, memutus rantai sunat perempuan ke anak-anak mereka.

Eni mensyukuri akhirnya perjuangan payung hukum pelarangan sunat perempuan kini diterbitkan. Menilik dari perjalanan beberapa peraturan yang pernah diterbitkan, seperti surat edaran dari Kementerian Kesehatan, larangan medikalisasi sunat perempuan pada 2006 terbukti tidak bermanfaat secara ilmiah.

Sayangnya, surat edaran tersebut menuai protes dari beberapa pihak hingga akhirnya peraturan tersebut dicabut. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 2008 mengeluarkan Keputusan Fatwa MUI Nomor 9A Tahun 2008 tentang Hukum Pelarangan Khitan terhadap Perempuan.

Pada 2010, Kemenkes kembali mengeluarkan peraturan tentang sunat perempuan, Nomor 1636/ MENKES/PER/XI/2010 tertanggal 15 November 2010. Isinya, sunat perempuan boleh dilakukan hanya oleh tenaga kesehatan sebagai jaminan keamanan dan keselamatan perempuan. Peraturan yang menjustifikasi sunat perempuan meski dengan jaminan keamanan.

Kini adanya penegasan pelarangan melalui PP Nomor 28 Tahun 2024 menjadi angin segar bagi perempuan. Widyawati, Kabiro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kemenkes RI, mengatakan peraturan tersebut sedang dalam proses pendetailan dan perancangan bersama lintas sektor.

Sekretaris Majelis Musyawarah KUPI Masruchah menegaskan sudah tidak menggunakan istilah ‘sunat perempuan’ dan dalam sosialiasinya akan terus menggunakan female genital mutilation (FGM).

“Karena kalau kita menggunakan istilah sunat, itu bisa bergeser definisinya gitu ya. Kalau sunat kan pesannya itu sunah, itu baik untuk dilakukan, sementara fakta di lapangan kami menemukan bahwa dipotong gitu ya, dipotong, dilukai. Nah, dilukai itu kalau dalam konteks definisi kita diskriminasi gitu ya. Diskriminasi juga bukan hanya soal melukai fisik, tapi juga melukai batin,” tuturnya melalui sambungan telepon.

Menanggapi ihwal fatwa MUI Nomor 9A Tahun 2008 yang berbunyi: "Khitan bagi laki-laki maupun perempuan termasuk fitrah (aturan) dan syiar Islam. Dan khitan terhadap perempuan adalah makrumah (ibadah yang dianjurkan), KUPI tak sepakat.

Kalau fitrah dan syiar itu kemudian berdampak trauma, melukai, dan berujung kematian, ya agama melarang, kata Masruchah. Sebab, menurutnya, sebenarnya Islam merupakan agama yang menjunjung tinggi prinsip kehidupan manusia.

“Kalau kita bicara maqashid al-syari'ah atau tujuan hukum dalam Islam, itu perlindungan jiwa menjadi nomor satu,” tandasnya.

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial