Alternatif Perbaikan Pilkada

1 month ago 19

Jakarta -

Pasca 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran, isu penghapusan pilkada masih segar dalam ingatan publik. Setelah lima kali pilkada serentak sejak 2015, Presiden Prabowo dalam pidatonya di HUT ke-60 Partai Golkar mengusulkan penghapusan pilkada yang dianggap mahal, baik biaya penyelenggaraan dan biaya politik.

Isu ini seolah kembali bangkit dari kubur setelah sekian lama ditolak publik. Sebelumnya pada 2014, DPR pernah mengesahkan UU tentang Pemilihan Kepala Daerah yang di dalamnya mengganti mekanisme pemilihan langsung menjadi melalui DPRD. Namun, Presiden SBY menjawab keresahan publik akan mundurnya demokrasi lokal di Indonesia dengan menerbitkan Perppu 1/2015 yang mengembalikan pilkada.

Walaupun kita menolak penghapusan pilkada, penting untuk menjawab persoalan pembiayan politik dan penyelenggaraan pilkada. Tulisan ini akan mengulas alternatif perbaikan pilkada tanpa menghapusnya, melalui perbaikan kerangka hukum pendanaan politik dan pengaturan ulang jadwal tiap jenis pemilu, termasuk pilkada.

Mengurangi Biaya Politik

Isu biaya politik tinggi tak hanya dapat diletakkan di pilkada. Tiap jenis pemilu termasuk pilpres dan pileg juga mengalami fenomena yang sama. Problem utamanya terletak pada relasi transaksional antara kandidat dan pemilih, yang ujungnya jual-beli suara. Penting untuk fokus pada isu tersebut dengan menawarkan paradigma baru.

Dalam Democracy for Sale, Aspinall dan Berenschot (2019) menyebut fenomena klientelisme Indonesia sebagai 'gelindingan roda lepas'. Hal ini disebabkan model klientelisme kandidat-sentrik yang meletakkan kandidat sebagai patron signifikan dalam hubungan patron-klien. Kandidat mengandalkan jejaring personal mereka dalam patronase, sehingga relasi klientelisme menjadi tidak terstruktur dan tidak terprediksi.

Pertukaran klientelistik dalam pemenangan pemilu semacam jual-beli suara dan keuntungan komunitas didistribusikan melalui jejaring personal kandidat. Sumber dana juga diperoleh dari kekuatan akses finansial kandidat secara personal, yang acap tidak terlacak secara formal (Hafiz, 2023).

Sayangnya, kerangka hukum dana kampanye gagal menangkap realitas ini. Pengaturan dana kampanye hanya fokus pada laporan dana kampanye formal, dengan pengawasan yang terbatas pada Rekening Khusus Dana Kampanye (RKDK) (Tamara, Primayogha, Aulia, Pratama & Hafiz, 2024). Ujungnya, pendanaan dari banyak sumber banyak yang tak terlacak karena tidak dilaporkan.

Contoh terbaik dapat terlihat pada Pemilu 2024, ketika PPATK menemukan lonjakan transaksi luar negeri sebesar Rp 195 Miliar yang masuk ke rekening beberapa bendahara partai. Dana tersebut diduga untuk kepentingan pembiayaan kampanye. Namun, KPU dan Bawaslu menolak untuk memeriksa lebih lanjut, dengan alasan terbatasnya objek pengawasan pada RKDK.

Oleh karenanya, paradigma pengawasan dana kampanye perlu diubah. Pengawasan memperluas objek di luar laporan formal dan RKDK. KPU dan Bawaslu dapat berkolaborasi dengan PPATK untuk melacak rekening-rekening lain yang juga menjadi sumber pengeluaran kampanye, utamanya pasca ditemukan potensi fraud saat pelaksanaan audit. Dengan begitu, setiap pengeluaran kampanye dapat terlacak, termasuk potensi politik uang.

Mengatur Ulang Jadwal Pemilu

Penyusunan ulang jadwal pemilu dapat menghemat anggaran pelaksanaan tiap jenis pemilu dan mengurangi ongkos politik. Selama ini, penjadwalan pemilu menumpuk pada pemilu nasional. Tahun 2024 menjadi gongnya, ketika pemillu lima kotak dan pilkada dilaksanakan dalam tahun yang sama.

Pada pemilu nasional, partai-partai politik mengerahkan seluruh sumber daya untuk memenangkan kursi legislatif, termasuk membantu kandidat presiden yang mereka usung. Sumber pendanaan dan tenaga juga telah terkuras habis. Selang hanya beberapa bulan, partai kembali harus bekerja pada pilkada. Ini menjadi alasan utama rendahnya gairah politik pada pilkada lalu.

Jadwal pemilu yang melelahkan harus dipikirkan ulang. Surbakti, Supriyanto, dan Asy'ari (2011) memperkenalkan model pemilu nasional-lokal, yang dioperasikan dengan menggabungkan pemilu presiden, DPR, dan DPD dalam pemilu nasional, serta menggabungkan pemilu DPRD dan kepala daerah dalam pemilu lokal dua tahun setelahnya.
Model ini konstitusional dan sangat mungkin dilaksanakan.

Dalam Putusan MK 55/2019, format pemilu nasional-lokal menjadi salah satu bentuk keserentakan pemilu yang dianggap konstitusional. Di samping itu, MK juga telah menegaskan bahwa pilkada adalah bagian integral dari pemilu walau diatur pada pasal berbeda di UUD 1945.

Terdapat dua isu yang dapat dijawab. Pertama, selain tata Kelola rumit pemilu lima kotak, anggaran pemilu dapat dihemat. Biaya distribusi logistik dan honor petugas pilkada dapat disatukan dengan Pemilu DPRD, sehingga biaya untuk pemilu nasional dapat berkurang.

Selain itu, pengeluaran pemilu lokal dapat ditanggung sebagian oleh APBD dari tiap provinsi dan kabupaten/kota, tergantung dari level pemilunya. Hal ini juga konstitusional, sebab dalam UUD 1945, DPRD merupakan bagian dari pemerintahan daerah sehingga biaya pemilihannya juga mutatis mutandis ditanggung oleh anggaran daerah. Dengan begitu, beban APBD hanya terletak pada pemilu nasional.

Kedua, format pemilu nasional-lokal dapat mengurangi biaya politik. Selama ini, pilkada mengalami bukan hanya vote-buying namun juga candidacy-buying dalam bentuk mahar politik. Mietzner (2010) dan Aspinall dan Berenschot (2019) menemukan fenomena umum di mana kandidat berupaya mendapatkan dukungan partai dengan menukarkan dukungan finansial. Sebab, kandidat masih membutuhkan dukungan partai dalam berkontestasi.

Dalam UU Pilkada, kandidat harus memenuhi ambang batas dukungan partai sebesar 20% suara. Pasca Putusan MK 60/2024, ambang batas diturunkan menjadi 6,5%-10%. Realitas ini diperparah oleh model pilkada yang terpisah dengan pemilu DPRD. Partai yang telah memiliki kursi, memiliki kuasa besar untuk menentukan dukungan tanpa mengharapkan coattail effect, sehingga candidacy-buying menjadi salah satu pilihan.

Format pemilu nasional-lokal yang menyerentakkan pemilu DPRD dan kepala daerah dapat mengatasi problem tersebut. Seperti Pemilu nasional, keserentakan pemilu lokal dapat menghasilkan coattail effects yang mengunci partai untuk mendukung kandidat tertentu. Format ini juga dapat memaksa partai untuk membentuk koalisi lebih awal tanpa imbalan.

Peluang

Belakangan ramai isu tentang RUU Pemilu yang juga menggabungkan UU Pilkada dan UU Parpol. Tentu ini dapat menjadi peluang dalam mengintegrasikan pengaturan pemilu nasional dan lokal. Selain itu, ini juga kesempatan untuk memperbaiki kerangka hukum pendanaan politik.

Aturan main pemilu yang baru harus mengubah paradigma pengawasan dana kampanye. Hal ini berarti fokus pengawasan tak lagi pada laporan formal, melainkan juga arus uang yang berada pada sumber-sumber informal. Di sisi lain, format pemilu nasional-lokal juga dapat diadopsi, utamanya melalui pengaturan ulang kalender elektoral nasional lima tahunan.

Dua alternatif ini dapat masuk dalam agenda pembahasan RUU paket politik yang baru, sehingga kekhawatiran tentang tingginya biaya penyelenggaraan dan biaya politik dapat teratasi. Bagaikan sekali mendayung dua tiga pula terlampaui, kita dapat menyelesaikan isu rumitnya tata Kelola pemilu sembari menjawab problem kompetisi elektoral yang dicemari kekuatan finansial.

Kahfi Adlan Hafiz peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), mahasiswa S2 Ilmu Politik Australian National University

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial