Jakarta -
Aipda Sumitro Tegela, Bhabinkamtibmas Desa Kopandakan Satu, Polres Kotamobagu, Sulawesi Utara adalah salah satu polisi yang mencintai kebudayaan. Aipda Sumitro mendirikan replika istana Kerjaan Bolaang Mongondow, Komalig, agar anak muda tidak melupakan budaya setempat.
Aipda Sumitro adalah salah satu kandidat yang diusulkan untuk Hoegeng Awards 2025. Warga Desa Kopandakan Satu, Muslim Tungkagi (60), menyebut Aipda Sumitro adalah sosok yang sangat peduli dengan kebudayaan Bolaang Mongondow.
"Saya melihat Pak Sumitro itu sangat ide, memang pribadinya mempunyai kelebihan khusus di bidang kebudayaan, beliau sangat antusias mengusulkan pembangunan rumah adat yang ada di desa kami dan beliau sangat aktif di kegiatan adat istiadat," kata Muslim kepada detikcom.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Muslim menyebut Aipda Sumitro terus berupaya agar generasi muda tidak melupakan adat setempat. Dia menyebut Aipda Sumitro membangun rumah adat Komalig lengkap dengan museum mini dan sanggar kesenian.
"Karena adat Bolaang Mongondow yang sudah ditinggalkan anak muda kembali bisa berkembang karena Bapak Sumitro, sering kali membuat kegiatan siang malam untuk mengadakan kegiatan adat tradisional Bolaang Mongondow," tutur dia.
Muslim mengatakan masyarakat sangat antusias dengan rumah adat dan museum yang dibangun oleh Aipda Sumitro. Dia berharap adat istiadat Bolaang Mongondow terus dilestarikan oleh anak muda.
"Saya sangat bangga ada generasi muda, apalagi dari pihak kepolisian yang turut mendukung dan kembali menggali adat istiadat yang sudah lama yang tidak berkembang dan dikembangkan pada saat-saat sekarang," tutur dia.
Aipda Sumitro Segela lestarikan adat Bolaang Mongondow Foto: dok. Istimewa
Latar Belakang Dirikan Replika Komalig
Aipda Sumitro mendirikan replika istana Komalig ini pada tahun 2019. Sebelum mendirikan Komalig, Aipda Sumitro lebih dulu mendirikan komunitas adat desa di tahun yang sama.
"Berangkat dari kebetulan saya orang Kotamobagu juga di wilayah Bolaang Mongondow, saya lihat di mana kemudian (ada) semacam degradasi budaya, generasi muda banyak yang sudah tidak tahu sejarah," kata Aipda Sumitro.
Aipda Sumitro kemudian mengajukan proposal ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat, untuk membangun desa adat. Dia juga ingin membangun replika istana Kerajaan Bolaang Mongondow sebagai sarana edukasi.
"Makanya kemudian saya mendirikan replika rumah adat Komalig, yang merupakan istana dari Kerajaan Bolaang Mongondow. Istana ini punah karena pergolakan politik, di tahun '50-'60 itu kan terjadi konflik Permesta, akibat konflik ini rumah adat ini terbakar, dan tidak ada pembangunan lagi. Sehingga saya merevitalisasi rumah adat ini," jelasnya.
Aipda Sumitro bersama-sama warga kemudian membangun rumah adat itu secara gotong royong. Di kompleks rumah ada itu juga terdapat museum mini hingga sanggar untuk kegiatan kesenian anak muda.
"Setelah rumah adat berdiri ini saya membuat museum kecil di dalam, kemudian data-data. Jadi seluruh data tentang kerajaan Bolmong. Sampai hari ini di kalangan masyarakat, mahasiswa, alhamdulillah untuk Universitas Makassar, Universitas Patimura Ambon, udah beberapa mahasiswa yang selesai dari studi yang mereka lakukan penelitian, termasuk S-2 sudah tiga orang," jelasnya.
Rumah adat Komalig ini juga sering dijadikan bahan penelitian skripsi untuk mahasiswa. Para wisatawan juga disebut sering berkunjung ke lokasi.
"Jadi kalau ada yang datang, kemudian mencari tentang sejarah Bolmong itu, dari Pemda mengarahkan ke tempat yang saya dirikan tersebut. Pada tahun 2022 saya mendapat penghargaan penerima sebagai tokoh kebudayaan, yang kategorinya peneliti dan pemerhati," tutur dia.
Melalui rumah adat ini, Aipda Sumitro semua pengetahuan tentang adat Bolaang Mongondow. Juga terdapat berbagai alat musik tradisional setempat di dalam rumah adat ini. Aipda Sumitro juga menjelaskan secara singkat tentang etnik Bolaang Mongondow.
"Jadi di Sulawesi Utara itu, kan ada Minahasa, Sangihe, kemudian Bolaang Mongondwo, jadi dulu Bolaang Mongondow ini bekas swapraja, gabungan kerajaan Bolaang Mongondow, kemudian di tahun '50 menyatakan setia untuk bergabung ke NKRI, kemudian terbentuklah kabupaten Bolaang Mongondow, kemudian di tahun 2000-an mekar lagi menjadi 4 kabupaten 1 kota. Kota Kotamobagu, Bolang Mongondow, utara, timur, selatan. Tapi etniknya dari suku Bolaang Mongondow, karena Bolaang Mongondow bekas kerajaan, makanya penyebutan Bolaang Mongondow meskipun ada di Kotamobagu," tuturnya.
Pendekatan Keamanan Melalui Kebudayaan
Aipda Sumitro menyebut konflik bisa terjadi karena masalah suku dan kebudayaan. Namun, kata dia, pemahaman mengenai kebudayaan juga bisa meminimalisir terjadinya konflik.
"Setelah saya mendalami, ternyata sejarah budaya itu penting dalam rangka pendekatan, itu saya punya pengalaman, itu bahkan di tahun 2000-an, hampir saja itu bisa menyebabkan potensi konflik suku di Sulawesi Utara. Saya kemudian diundang menjadi pemateri Dinas Kebudayaan provinsi, ternyata setelah pendalaman, data, melalui kebudayaan itu salah satunya bisa meluruskan, bisa meminimalisir terjadinya konflik ternyata pemahaman yang baik tentang sejarah, adat dan budaya," jelasnya.
Dia menambahkan bahwa kebudayaan harus terus dilestarikan. Agar, katanya, anak muda memahami bahwa Indonesia ini kaya dengan adat dan budaya.
"Memang degradasi budaya hari ini terlihat nyata, apalagi generasi muda hari ini luar biasa, karena kurangnya edukasi masalah adat istiadat, budaya, kekayaan Indonesia. Harapan kita dari adanya kegiatan seperti ini setidaknya mempunyai nilai tambah pengetahuan kepada generasi, sehingga generasi ini dia cinta akan budaya dan kekayaan bangsanya," jelasnya.
(lir/knv)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini