Jakarta -
Rapat paripurna DPR RI menetapkan Revisi Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) menjadi usul inisiatif DPR RI. Ahli hukum berharap revisi ini menyempurnakan aturan yang saat ini berlaku.
Pandangan menganai RUU KUHAP ini disampaikan oleh sejumlah ahli hukum dalam seminar bertajuk 'RUU KUHAP dan Masa Depan Penegakan Hukum di Indonesia' yang digelar di Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta Pusat Kamis (20/2/2025). Harapan itu dicetuskan oleh mantan KABAIS, Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto.
Soleman mengingatkan pentingnya transparansi, penguatan pengawasan, serta penyempurnaan koneksitas dalam RUU KUHAP. Soleman menilai penegakan hukum di Indonesia itu rendah di bagian transparansi dan akuntabilitas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Masyarakat kerap tidak mendapatkan informasi mengenai perkembangan laporan yang mereka buat. Sistem informasi yang tidak terintegrasi dan minimnya akses publik terhadap proses hukum menghambat kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum," kata Soleman yang menghadiri diskusi secara daring.
Foto: Diskusi RUU KUHAP dan Masa Depan Penegakan Hukum di Indonesia (dok istimewa)
Selain masalah transparansi dan akuntabilitas, Soleman menyoroti masah penyalahgunaan wewenang penyidik. Menurutnya dalan aturan yang berlaku saat ini tidak ada aturan yang bisa mengontrol kewenangan penyidik.
"Sayangnya dalam pembahasan revisi KUHAP, muncul wacana penghapusan atau pengurangan mekanisme, koneksitas, yang berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan perlakuan yang tidak seimbang dalam sistem peradilan," ucapnya.
Dia pun berharap Revisi KUHAP akan fokus pada penyempurnaan aturan. Dia berharap tidak ada yang dikurangi dala KUHAP baru nanti.
"Revisi KUHAP harus berfokus pada penyempurnaan aturan yang ada, bukan pengurangan elemen-elemen fundamental yang telah terbukti efektif, termasuk dalam aspek koneksitas. Dengan mempertahankan dan menambahkan aturan koneksitas. KUHAP baru dapat menjamin prinsip persamaan di hadapan hukum, menghindari dualisme peradilan yang tidak efektif, serta meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam sistem peradilan pidana," katanya.
Hal senada juga disampaikan ahli hukum dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai pentingnya transparansi perkembangan kasus. Ia berpendapat seringkali ketika masuk proses penyidikan, pihak terkait, seperti tersangka maupun terlapor tak mengetahui informasi apapun mengenai proses perkara itu.
"Tahu-tahu SP3, tahu-tahu ada tindakan yang lain. Karena itu bagaimana di tingkat penyidikan ini ada transparansi, salah satunya misalnya apakah perkembangan penyidikan itu harus dimasukkan ke website yang bisa diakses olah orang. Atau memberikan kewajiban pada kepolisian, di sisi lain hak bagi masyarakat, stake holder, terutama tersangkanya, keluarganya untuk mengakses perkembangannya," ujar Fickar.
Sementara itu, Wakil Ketua STHI Jentera, Asfinawati, mengkritik sejumlah pasal tertera di draft RUU KUHAP yang beredar tertanggal 17 Februari 2025. Salah satu pasal yang dikritisi Asfinawati adalah Pasal 69 ayat 1, dengan substansi penyidik dapat menawarkan kepada tersangka atau terdakwa yang perananannya paling ringan untuk menjadi saksi mahkota dalam perkara yang sama. Adapula Pasal 94 ayat 1, Pasal 92 ayat 1 dan ayat 2, serta Pasal 24 ayat 3.
Selain itu, dia juga keberatan dengan draft revisi Pasal 16 ayat 1. Di mana dalam draft disebutkan bahwa penyelidikan dapat dilakukan dengan cara olah TKP; pengamatan; wawancara; pembuntutan; penyamaran; pembelian terselubung; penyerahan di bawah pengawasan; pelacakan; dan atau penelitian dan analisis dokumen.
"Terkait dengan draft KUHAP tertanggal 17 Februari, ada penyamaran, pembelian terselubung, penyerahan di bawah pengawasan, dan itu di penyelidikan. Artinya tidak ada check and balances dari penuntut, ini berbahaya sekali. Ini kan bukan menemukan tindak pidana, itu kan bisa membuat tindak pidana," ucap Asfinawati.
Menurutnya, kondisi tersebut akan diperparah lagi bila kewenangan semua penyidikan diberikan pada lembaga atau instansi tertentu. Dia juga menyoroti sejumlah masalah yang ada di penjara.
"Apa sih yang tidak ada di negeri ini,? Dibunuh, dipaksa polisi, ditangkap tanpa ada alasan padahal dia korban, ada. Semua ada. Tahanan perempuan diperkosa oleh polisi, ada juga. Tapi masih akan lebih buruk, massif, menimpa semua korban, akan lebih banyak. Kalau kewenangan tunggal (semua penyidikan oleh instansi tertentu), dia akan lebih buas lagi," pungkas Asfinawati.
(zap/dhn)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu