Jakarta -
Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, Hinca Pandjaitan, menyoroti terkait pengawasan di lingkungan peradilan buntut kasus 3 hakim menjadi tersangka suap vonis lepas pada kasus korupsi ekspor bahan baku minyak goreng. Dia mengkritik kinerja Komisi Yudisial (KY).
"Tegas saya katakan bahwa pengawasan di lingkungan Peradilan nol besar. Sudah saatnya kita mengevaluasi kelembagaan Komisi Yudisial, atau pahitnya kita bubarkan saja. Kalau Komisi Yudisial tak mampu memantau hakim, buat apa dipertahankan? Lebih jujur rasanya kita mengakui bahwa mereka gagal, " kata Hinca kepada wartawan, Senin (14/4/2025).
Hinca menilai perlunya memperkuat mekanisme pengawasan terhadap para hakim. Bila KY tak sanggup, dia berharap ada lembaga lain yang patut diharapkan menjalankan tugas pengawasan tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita perlu memperkuat mekanisme pengawasan, atau bila memang KY tak sanggup, setidaknya kita tahu mana lembaga yang patut digantungkan harapan, dan mana yang sudah waktunya ditutup kisahnya, " katanya.
Dia menyebut paradigma meningkatkan gaji dan tunjangan akan menghapus praktik KKN perlu ditinjau ulang. Menurut dia, perbaikan penghasilan hanya salah satu variabel.
"Jika mentalitas dan sistem pengawasannya tetap rapuh, maka godaan suap akan tetap menemukan jalannya. Kita bisa menambah angka pendapatan setinggi langit, tetapi bila peluang 'lolos dari hukuman' lebih menggoda, akhirnya transaksi hitam menjadi pilihan rasional," ucapnya.
Dia mengatakan dengan adanya kasus hakim tersangka suap ini, tak bisa dipungkiri jika kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan berada di titik nadir. Kondisi ini, kata dia, tak lahir begitu saja tapi akumulasi dari rentetan skandal yang mengecewakan.
"Singkatnya, saya ingin berharap bahwa putusan di tingkat kasasi nanti akan memulihkan kepercayaan publik, bukan justru memperkuat asumsi buruk," ujarnya.
Lebih lanjut, Hinca menyinggung Komisi III DPR apakah perlu menambahkan soal pengawasan pengacara dalam RUU Advokat. Sebab, kata dia, selama ini pengawasan ada di Dewan Pengawas masing-masing organisasi advokat.
"Saya sebenarnya juga berlatarbelakang advokat sebelum duduk di Komisi III. Saya paham, saya paham betul bagaimana 'otonomi' dunia advokat kerap ditafsirkan sebagai kebebasan tanpa batas," kata Hinca.
"Pertanyaannya: apakah pengawasan cukup bila diserahkan kepada Dewan Pengawas masing-masing organisasi advokat? Menurut saya, itu sama saja dengan meminta rubah menjaga kandang ayam. Tentu ada banyak pengacara jujur, tapi tak sedikit pula yang menjadikan toga sebagai jubah pelindung praktik lobi-lobi gelap," sambungnya.
Dia menyebut jika DPR serius, sebaiknya dipikirkan model pengawasan independen yang benar-benar bisa menggigit. Hinca menilai tak perlu tergantung pada rambu-rambu internal yang sudah jelas rawan kompromi karena selama ini banyak organisasi advokat tak mampu menindak anggota yang jelas-jelas melanggar kode etik, malah cenderung berlarut-larut dalam politik internal.
"Bagi saya, ini bukan soal 'memperkosa' otonomi advokat, tapi soal memastikan integritas profesi yang mengemban peran penting dalam penegakan hukum," ucapnya.
Hinca menyinggung wacana yang sempat mencuat ke publik bahwa MA akan mengawasi advokat. Tapi, kata dia, kondisi sekarang menyedihkan karena MA belakangan ini juga tengah menyandang predikat penuh skandal.
"Bagaimana ceritanya meminta lembaga yang diguncang isu suap dan kolusi untuk menertibkan para pengacara?" imbuhnya.
Sebelumnya, Ketua PN Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta ditetapkan sebagai tersangka terkait kasus suap penanganan perkara di PN Jakarta Pusat. Selain itu, ada pula 3 hakim, serta panitera muda pada PN Jakarta Utara dan pengacara yang turut ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini.
Kasus suap dan gratifikasi itu berkaitan dengan vonis onstslag atau putusan lepas pada kasus korupsi ekspor bahan baku minyak goreng. Majelis hakim saat itu memberikan putusan lepas pada terdakwa korporasi.
Tiga hakim itu adalah hakim Agam Syarif Baharudin, hakim Ali Muhtaro, dan hakim Djuyamto. Ketiganya diduga menerima uang suap senilai Rp 22,5 miliar atas vonis lepas tersebut.
Tiga hakim itu bersekongkol dengan Muhammad Arif Nuryanta selaku Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan; Marcella Santoso dan Ariyanto selaku pengacara; serta panitera muda pada Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Wahyu Gunawan.
(fas/idn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini