Usulan Legalisasi Kasino Mencuat, Pemerintah Diminta Lakukan Hal Ini

3 hours ago 1

Jakarta -

Wacana mengenai legalisasi kasino di Indonesia kembali mencuat. Pengamat Hubungan Internasional sekaligus Guru Besar Fakultas Hukum UI Hikmahanto Juwana menilai pemerintah perlu melakukan kajian lebih intens terkait potensi legalisasi kasino di dalam negeri.

Hikmahanto mengaku prihatin dengan banyak uang dari Indonesia yang tersedot ke luar negeri lantaran judi. Dia pun setuju terkait legalisasi judi atau kasino di kawasan tertentu. Meski begitu, Hikmahanto menilai pemerintah perlu melakukan sosialisasi serta dasar hukum yang kuat.

"Dilegalkan di tempat tertentu, kayak Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)," kata Hikmahanto dalam keterangannya, dikutip Minggu (18/5/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut dia, pendanaan dari judi bisa menjadi alternatif pemasukan negara di tengah defisit anggaran. Di sisi lain, legalisasi judi bukanlah pertama kali bagi Indonesia. Jakarta pernah melegalkan perjudian di era kepemimpinan Ali Sadikin periode 1966-1977.

Hikmahanto bercerita, saat itu, Ali Sadikin, menghadapi tantangan pelik dalam membangun ibu kota. Banyak infrastruktur dan berbagai proyek besar belum dibangun karena ketiadaan anggaran. Atas dasar ini, Ali Sadikin harus mencari cara menambah anggaran, salah satunya, lewat legalisasi perjudian.

Hikmahanto menerangkan kebijakan ini dilakukan agar perjudian tidak lagi dilakukan secara diam-diam. Pemerintah mencatat keuntungan dari judi ilegal mencapai Rp300 juta setiap tahun. Sayang, dana sebesar itu tak mengalir ke pemerintah, melainkan ke tangan oknum-oknum yang melakukan perlindungan.

Uang tersebut jatuh ke tangan oknum pelindung perjudian tanpa bisa dirasakan oleh masyarakat. Pemerintah ingin uang hasil judi dipakai untuk membangun jembatan, jalanan, sekolah hingga rumah sakit.

Akhirnya, pada 21 September 1967, Pemerintah DKI Jakarta melegalkan judi lewat Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Chusus Ibukota Djakarta No. 805/A/k/BKD/1967.

Lokasi kasino legal pertama di Jakarta dan Indonesia berada di Kawasan Petak Sembilan, Glodok. Kasino ini berdiri atas kerja sama Pemerintah DKI Jakarta dengan seorang Warga Negara China bernama Atang.

Arena kasino ini buka setiap hari tanpa henti dan dijaga ketat aparat kepolisian. Namun, perjudian hanya ditunjukkan untuk Warga Negara China atau keturunan China di Indonesia. Karena ada aturan ketat WNI tidak diperbolehkan bertaruh di meja judi.

Ratusan WNA tersebut sukses menghasilkan dana jutaan rupiah yang disetor setiap bulan ke pemerintah. Berdasarkan statistik resmi yang ada saat itu, dari arena perjudian, pajak yang diberikan ke pemerintah sebesar Rp25 juta setiap bulan pada saat itu.

Nominal Rp25 juta saat itu tergolong besar. Harga emas, pada 1967, mencapai Rp 230 per gram. Artinya, uang Rp 25 juta bisa membeli 108,7 Kg emas.

Jika dikonversi ke masa sekarang, berarti uang Rp 25 juta atau 108,7 Kg emas setara dengan Rp 200-an miliar. Dengan demikian, keuntungan Pemerintah DKI Jakarta di awal legalisasi kasino mencapai ratusan miliaran rupiah per bulan.

Seiring waktu, kasino juga dibuka di Ancol yang juga sama-sama memberikan dana besar ke pemerintah. Dari dana hasil judi, Ali Sadikin langsung menggunakannya untuk pembangunan Jakarta. Jembatan, rumah sakit, hingga sekolah sukses dibangun.

Selama 10 tahun aturan perjudian berlaku, anggaran Jakarta dari semula puluhan juta melonjak hingga Rp 122 miliar di tahun 1977. Uang miliaran akhirnya dipakai untuk menyulap Jakarta menjadi kota modern. Sampai akhirnya, kebijakan legalisasi kasino di Jakarta dihentikan pada 1974 karena pemerintah pusat melarang perjudian lewat UU No.7 tahun 1974.

Isu legalisasi perjudian dan kasino pertama kali mencuat dalam rapat kerja Komisi XI DPR dengan Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, Kamis (8/5) kemarin.

Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Golkar, Galih Kartasasmita, mengusulkan agar Indonesia meniru Uni Emirat Arab yang menjalankan kasino dengan dalih menambah objek baru penerimaan negara bukan pajak.

"Mohon maaf nih, saya bukannya mau apa-apa, tapi UEA kemarin udah mau jalanin kasino, coba negara Arab jalanin kasino, maksudnya mereka kan out of the box gitu kementerian dan lembaganya," kata Galih.

(kil/kil)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial