Jakarta -
Kenapa AS serang Iran sekarang?
Sepekan setelah memulai operasi militernya, Israel klaim telah mengeliminasi target-target strategis milik Iran: Sejumlah jendral, ilmuwan nuklir, serta kerusakan pada pangkalan peluncuran roket dan fasilitas nuklir. Namun, benteng nuklir Iran terakhir, fasilitas pengayaan uranium bawah tanah di Fordow, hanya mungkin dihancurkan oleh misil khusus yang cuma bisa diangkut pesawat pembom Amerika Serikat dan tidak dimiliki Israel.
"Trump tampaknya beranggapan bahwa Israel tidak mampu secara signifikan melemahkan program nuklir Iran sendirian," ujar pakar keamanan Giorgio Cafiero kepada DW, Minggu (22/6). Inilah yang mendorong Amerika Serikat turun tangan.
Meski begitu, pemilihan waktu serangan tetap mengejutkan banyak pengamat. Presiden Trump sebelumnya menyatakan ingin mengambil waktu dua pekan sebelum membuat keputusan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di sisi lain, sejumlah pengamat mulai meragukan alasan serangan yang dilontarkan Israel. "Serangan terhadap program nuklir Iran didasarkan pada informasi yang keliru," kata Fawaz Gerges, profesor politik Timur Tengah dan hubungan internasional di London School of Economics, kepada DW. Badan intelijen AS sendiri menyimpulkan bahwa Iran saat ini tidak aktif membangun senjata nuklir, dan setidaknya masih memerlukan tiga tahun lagi untuk membangun kapabilitas yang diperlukan.
Bagaimana tanggapan Iran?
Teheran memberikan respons cepat dengan melancarkan serangan roket ke Israel. Iran dikhawatirkan juga akan menyerang pangkalan-pangkalan AS di Timur Tengah, atau yang lebih parah, menutup jalur transportasi minyak di Selat Hormuz.
Pada hari Minggu (22/6), parlemen Iran menyetujui blokade selat yang berbatasan dengan Oman dan Uni Emirat Arab itu, seperti dilaporkan stasiun televisi pemerintah Press TV. Keputusan akhir masih memerlukan persetujuan dari Dewan Keamanan Nasional, sebuah badan tertinggi yang beranggotakan orang-orang kepercayaan pemimpin spiritual Ayatollah Ali Khamenei.
Penutupan jalur laut yang mengangkut 20 persen minyak global itu akan berimbas fatal bagi perekonomian dunia, menurut Kamran Matin, pakar Iran dari Universitas Sussex, Inggris. Dampaknya pun tidak hanya akan dirasakan oleh negara-negara Barat. "Cina bisa terputus dari impor minyaknya dari kawasan ini... dampaknya bisa lebih besar bagi perekonomian Cina ketimbang negara-negara Barat," ujarnya.
Cina dan Rusia, dua sekutu utama Iran, sejauh ini belum memberikan reaksi terhadap keputusan parlemen di Teheran memblokir Selat Hormuz.
Kini, pertanyaan utamanya adalah bagaimana Iran akan membalas tanpa memicu reaksi yang lebih keras dari Washington. Presiden Trump dengan tegas menyatakan bahwa setiap serangan balasan akan dijawab dengan "daya gempur yang luar biasa."
Bagaimana Reaksi Warga Iran?
Banyak warga Iran kini merasa terpukul. Pasca serangan Israel, masyarakat terpaksa menyesuaikan diri dengan keseharian baru dengan serangan udara, jalanan yang sepi dan toko-toko yang sebagian tutup. Kini, ancaman serangan AS pun menambah kecemasan.
Di tengah ketidakpastian itu perasaan warga bercampur aduk. "Bisa dibayangkan banyak warga Iran, bahkan mungkin mayoritas, sangat menentang dan bahkan membenci Republik Islam," kata Kamran Matin. Dia mengklaim banyak warga yang menyambut kematian komandan penting militer dan Garda Revolusi IRGC.
Konflik eksternal tidak mengendurkan mesin represi di dalam negeri. Pemerintah masih gencar menindas minoritas dan para pengkritik, termasuk penangkapan musisi kritis Toomaj Salehi. Banyak pula yang mengkhawatirkan nasib para tahanan politik.
Setiap kali Iran menghadapi tekanan eksternal, rezim cenderung memperketat pengawasan di dalam negeri, dan membungkam suara-suara kritis.
Apa imbas serangan AS?
Harga minyak melonjak pada hari Senin (23/6) ke level tertinggi sejak Januari 2025. Kontrak berjangka minyak mentah Brent naik 1,97% menjadi USD78,53 per barel, sementara jenis West Texas Intermediate (WTI) AS naik 2,04% menjadi USD75,35.
"Selain Israel, tampaknya hampir tak ada negara di kawasan yang menyambut gembira serangan ini," kata Giorgio Cafiero, pakar keamanan Timur Tengah. Negara-negara anggota Gulf Cooperation Council (GCC) khususnya mengkhawatirkan berakhirnya stabilitas di kawasan.
Dalam beberapa tahun terakhir, banyak negara Teluk berusaha memperbaiki hubungan diplomatik dengan Teheran demi melindungi kepentingan ekonomi. Arab Saudi, misalnya, sudah menyatakan "keprihatinan besar," atas eskalasi konflik.
"Mereka sangat takut eskalasi, tapi saya rasa mereka juga tidak sepenuhnya kecewa melihat Iran kini dibombardir oleh Israel dan AS," kata Fawaz Gerges. Di saat yang sama, negara-negara seperti Qatar, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab masih melihat AS sebagai penjamin keamanan.
"Kalau konflik antara Washington dan Teheran terus memanas," lanjut Cafiero, "tekanan terhadap negara-negara ini untuk berpihak akan makin besar."
Masih adakah peluang diplomasi?
Trump berbicara tentang "peluang untuk perdamaian," namun di Teheran, narasi berbeda yang berkembang. "Kami sedang dalam proses negosiasi dengan AS, ketika Israel menyerang kami," tulis Menlu Iran, Abbas Araghchi. "Apa kesimpulan yang Anda bisa ambil dari itu?" Iran juga tengah menjajaki pembicaraan dengan negara-negara Eropa saat AS melancarkan serangan.
"Saya kira saat ini tidak ada harapan untuk jalur diplomatik," ujar Gerges. "Bagaimana mungkin Teheran percaya pada Trump, yang berkali-kali menyesatkan mereka, bahkan saat upaya negosiasi dilakukan?"
Lebih jauh, Israel sudah dengan jelas menolak segala bentuk hasil negosiasi kecuali penghancuran total fasilitas nuklir Iran. Syarat ini diyakini hampir mustahil diterima oleh Teheran. Bagi elite penguasa Iran, kelangsungan kekuasaan selalu menjadi prioritas utama.
Pada hari Senin, Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araqchi dijadwalkan mengadakan pembicaraan dengan Presiden Rusia Vladimir Putin di Moskow. Kremlin memiliki kemitraan strategis dengan Iran, namun juga memiliki hubungan erat dengan Israel.
Isu pergantian rejim
Dalam sebuah unggahan di platform Truth Social pada hari Minggu, Trump mengemukakan gagasan tentang pergantian rezim di Iran. "Tidaklah benar secara politik untuk menggunakan istilah 'Pergantian Rezim', tetapi jika rezim Iran saat ini tidak mampu membuat Iran hebat kembali, mengapa tidak pergantian rezim saja???" tulisnya seperti dilansir Reuters.
Unggahan Trump itu muncul setelah Wakil Presiden AS JD Vance dan Menteri Pertahanan Pete Hegseth menegaskan bahwa AS tidak sedang berupaya menggulingkan rezim Iran.
Para pejabat Israel semakin sering menyuarakan ambisi untuk menumbangkan Ali Khamanei. Pada hari Minggu, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, secara terbuka mengatakan kepada stasiun penyiaran AS, Fox News, bahwa pergantian rezim di Iran "sangat mungkin menjadi hasil" dari operasi militer Israel, karena, menurutnya, pemerintah di Teheran dalam posisi "sangat lemah."
Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Jerman
Diadaptasi oleh: Rizki Nugraha
Editor: Hendra Pasuhuk
(ita/ita)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini