Pengacara imigrasi Andrew Woo berlinang air mata ketika memberi tahu kliennya, jika Asisten Menteri Imigrasi Matt Thistlethwaite sudah turun tangan secara pribadi untuk memberikan visa kepada Lily dan pasangannya Martin Cahyo, serta kedua putra mereka.
"Doa kami terjawab melalui kerja keras kementerian dan pihak-pihak lain yang terlibat," kata Lily kepada ABC.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini benar-benar sebuah keajaiban."
Keluarga tersebut pertama kali mengajukan permohonan menjadi penduduk tetap, atau 'permanent resident' (PR) di Australia pada tahun 2021.
Namun, permohonan mereka ditolak karena putra sulung mereka, Jonathan, 14 tahun, hidup dengan 'celebral palsy', yang biaya perawatannya akan ditanggung negara Australia, namun dalam arti lain akan dibebankan kepada warga Australia selaku pembayar pajak.
Pengadilan banding menguatkan keputusan tersebut pada tahun 2023, dengan memperkirakan biaya perawatan Jonathan akan menghabiskan dana publik sebesar AU$ 2,51 juta selama 10 tahun.
Mereka kemudian mengajukan permohonan intervensi dari kementerian imigrasi pada bulan Oktober 2024. Mereka juga terancam dideportasi, sebelum adanya keputusan dari Asisten Menteri Imigrasi.
Berharap 'tak ada lagi diskriminasi'
Departemen Dalam Negeri Australia mengatakan menteri terkait sudah mempertimbangkan kasus ini secara pribadi keadaan keluarga dan "memutuskan untuk menggunakan kewenangan kepentingan publik dalam kasus Anda", mengganti putusan pengadilan banding dengan "keputusan yang lebih menguntungkan".
Pengacara Andrew Woo mengatakan keputusan ini mengakhiri perjuangan selama empat tahun dengan emosi yang bercampur aduk, hingga ada "rasa lega yang luar biasa … mengetahui jika keluarga Lily akhirnya bisa melangkah maju sebagai sebuah keluarga yang utuh".
"Saya sangat senang dengan waktu yang tepat, karena Raphael akan berusia empat tahun dalam beberapa bulan ke depan dan akhirnya dapat menghabiskan waktu bersama saudaranya, Jonathan, yang akan bergabung dengan keluarga dalam waktu dekat," kata Andrew.
Jonathan lahir di Melbourne pada tahun 2010, kemudian didiagnosis 'cerebral palsy' karena kelainan pada bagian 'corpus callosum'-nya atau saraf antara belahan otak kanan dan kiri.
Ketika Jonathan berusia 18 bulan, Martin membawa Jonathan kembali ke kampung halaman mereka di Surabaya karena "masalah keluarga".
Sementara itu Lily tetap tinggal di Melbourne untuk bekerja.
Sejak saat itu Jonathan tinggal di Surabaya, meski Martin kembali ke Melbourne di tahun 2017 dengan niat membawanya kembali setelah keluarganya memiliki cukup uang.
Karena Jonathan menghabiskan sebagian besar hidupnya di Indonesia bersama kakek-neneknya, ia tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan keringanan atau 'automatic migration health waiver' untuk anak-anak yang hidup dengan disabilitas.
Keringanan ini diperkenalkan oleh pemerintah Australia tahun lalu dan mengharuskan anak-anak tinggal di Australia setidaknya selama lebih dari separuh hidup mereka.
Lily mengatakan kalau ia yakin babak baru bersama keluarganya yang lengkap di Australia akan berarti lebih menghormati dan mengakui kesetaraan bagi Jonathan sebagai seorang yang hidup dengan disabilitas.
"Berbeda dengan mengikuti tes bahasa Inggris jika seseorang ingin bermigrasi, [disabilitas] berada di luar kendali kami," katanya.
"Saya berharap tidak ada lagi diskriminasi, terutama dalam hal keuangan, terhadap anak-anak penyandang disabilitas."
ABC sudah menghubungi Departemen Dalam Negeri untuk memberikan tanggapan.
Sebelumnya, Departemen Dalam Negeri mengatakan kepada ABC kalau mereka tidak mengomentari kasus-kasus individual.
"Ini adalah akhir dari perjalanan panjang kami," kata Lily.
"Kami bisa mulai mewujudkan rencana masa depan untuk keluarga kami, untuk putra-putra kami."
Baca beritanya dalam bahasa Inggris
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu