Trump, BRICS, dan Masa Depan Ekonomi Global

1 month ago 28

Jakarta -

Langkah Donald Trump mengancam pengenaan tarif 100 persen kepada negara-negara BRICS menunjukkan keseriusannya mempertahankan dominasi Amerika Serikat (AS) di panggung global, baik secara ekonomi maupun politik. Sebagaimana diketahui, ancaman ini muncul sebagai respons atas rencana BRICS mengganti dollar AS (dedolarisasi) dengan mata uang baru dalam transaksi perdagangan internasional mereka. Termasuk keinginan BRICS untuk membangun platform bersama dalam perdagangan antar-anggota. Kepentingan ekonomi AS dalam perdagangan dunia menjadi terusik.

Trump, yang dikenal dengan sikap tegas dan keras, hari-hari ini terlihat lebih galak sebagaimana dibandingkan tipikal kepemimpinannya pada periode pertama. Baru-baru ini, dalam upaya menekan China, TikTok diutak-atik dan "dituduh" mengancam kepentingan nasional AS. Pemiliknya dipaksa menjual saham kepada perusahaan lain. Negara yang berbatasan langsung dengan AS seperti Meksiko dan Kanada memiliki isu panas terkait migrasi ilegal dan peredaran fentanil. AS ikut menuduh China memasok fentanil ke negara itu. Meski AS secara faktual sedang mengalami defisit perdagangan dengan negara-negara tersebut, Trump tetap menggunakan kebijakan tarif sebagai senjata untuk melindungi kepentingan domestik AS.

Tindakan Trump ini dapat dipahami sebagai upaya menghadapi pergeseran kekuatan global. Saat ini, supremasi tidak lagi ditentukan oleh kekuatan militer semata. Negara-negara lain berlomba membangun pengaruh dan kekuatan menggunakan jalur ekonomi dan produk teknologi. Contoh nyata adalah munculnya DeepSeek buatan China yang menggoyang dominasi AS di bidang kecerdasan buatan (AI), hingga berdampak kepada jatuhnya saham-saham perusahaan teknologi AS. China mampu membuatnya lebih murah, efisien, dan lebih unggul. Ini sebetulnya merupakan pesan langsung kepada AS untuk tidak memandang remeh kekuatan ekonomi dan teknologi China yang juga terdaftar sebagai promotor utama di BRICS.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kebangkitan ekonomi negara berkembang juga menjadi tantangan serius bagi AS. Negara-negara ini kini mampu melakukan ekspansi perdagangan yang sulit dikendalikan, mengakibatkan defisit perdagangan AS membengkak. Situasi ini mendorong Trump mengambil langkah proteksionis melalui ancaman tarif tinggi. Barang-barang buatan China misalnya, kini ada di mana-mana.

BRICS sendiri lahir dari semangat perlawanan terhadap dominasi AS. Bergabungnya berbagai negara ke dalam aliansi ini, termasuk Indonesia per Januari 2025, mencerminkan keinginan membentuk poros ekonomi baru yang lebih seimbang dan kepentingan yang merata. Bukan hanya kepentingan sepihak AS saja. Seperti yang pernah dilakukan Uni Eropa, BRICS berupaya melepaskan diri dari ketergantungan berlebihan terhadap dollar AS dan kebijakan kebijakan para pemimpinnya yang sangat senang menggunakan isu-isu HAM, politik, dan demokrasi untuk mempengaruhi ekonomi dan kepentingan domestik. Minggu ini saja, Trump mengancam untuk meninjau ulang implementasi USAID yang memang sangat dibutuhkan negara-negara yang selama ini terkoneksi dengan AS.

Namun, upaya menantang supremasi dollar AS bukanlah hal mudah. Sistem ekonomi global telah telanjur berada di dalam sebuah sistem masif dengan dollar AS sebagai fondasinya. Suka tidak suka, mata uang dollar adalah findasi ekonomi dunia saat ini. Goncangan terhadap sistem ini mungkin hanya akan berdampak sementara sebelum kembali stabil. Perlu diingat bahwa negara-negara BRICS juga memiliki kepentingan ekonomi dan politik masing-masing yang tidak bisa diabaikan. Khususnya Rusia dan China yang memang terang-terangan memposisikan diri "melawan" AS.

Bagi Indonesia sebagai anggota baru BRICS, ancaman Trump ini harus disikapi dengan bijak. Hal ini bukan hanya dilihat sebagai solidaritas sosial global melawan AS dan kepentingannya. Mengingat masih besarnya kepentingan ekonomi kita dengan AS, diperlukan kehati-hatian dan kewaspadaan dalam menyikapi dinamika global ini. Tantangannya bagaimana menyeimbangkan kepentingan nasional di tengah persaingan negara-negara yang memiliki kekuatan ekonomi besar ini. Jika, misalnya, Trump memulangkan migran ilegal asal Indonesia dan membatasi negaranya untuk menjadi tujuan belajar orang-orang Indonesia, kita sendiri yang akan kewalahan. Belum lagi penyelesaian utang negara kita, yang tentunya di dalam mata uang AS.

Sonny Eli Zaluchu Guru Besar di STT Baptis Indonesia, Semarang

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial