Jakarta -
Tarif impor sebesar 32 persen yang diberlakukan Amerika Serikat terhadap produk asal Indonesia—termasuk garmen dan alas kaki—kembali mengingatkan kita betapa rentannya industri padat karya dalam negeri terhadap guncangan eksternal. Namun jika ditarik lebih jauh, kebijakan ini bukan sekadar masalah dagang. Ia menjadi cermin dari lemahnya sinergi antara visi jangka panjang dan pelaksanaan kebijakan di tingkat lapangan.
Padahal secara konsep, Indonesia sebenarnya telah memiliki arah. Melalui inisiatif nasional Making Indonesia 4.0, pemerintah telah menetapkan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) —termasuk sektor garmen— sebagai salah satu dari lima sektor prioritas untuk transformasi industri. Tujuan besarnya adalah meningkatkan daya saing nasional melalui efisiensi produksi, adopsi teknologi, penguatan sumber daya manusia, dan bahkan transisi menuju ekonomi sirkular melalui inisiatif seperti Circular Fashion Partnership.
Namun pertanyaannya tetap relevan: sejauh mana roadmap ini benar-benar terasa di lantai produksi? Seberapa besar keberpihakan kebijakan terhadap sektor hilir seperti garmen, yang justru menjadi penyerap tenaga kerja terbesar?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beberapa kemajuan memang telah dicapai. Program restrukturisasi mesin, misalnya, telah dimanfaatkan oleh sebagian pelaku industri, khususnya di sektor hulu seperti pemintalan. Namun di sektor garmen yang banyak diisi oleh UMKM dan pelaku industri skala kecil-menengah, adopsi teknologi 4.0 masih sangat terbatas karena tingginya biaya investasi dan minimnya insentif nyata di lapangan.
Industri tekstil dan garmen merupakan salah satu sektor strategis dalam perekonomian Indonesia. Dari sisi ekspor, Indonesia memang masih termasuk eksportir utama produk garmen ke Amerika Serikat. Pada 2023, ekspor tekstil dan produk tekstil Indonesia mencapai nilai $ 11,8 miliar, meskipun mengalami penurunan 15,7 persen dibanding tahun sebelumnya. Tetapi pertumbuhan ekspornya cenderung stagnan, karena Indonesia kalah bersaing dengan negara seperti Vietnam, Kamboja, dan Bangladesh yang memiliki perjanjian dagang lebih menguntungkan dengan AS maupun Uni Eropa.
Sektor ini menyerap jutaan tenaga kerja, dengan konsentrasi industri yang signifikan di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Yogyakarta. Peran sosialnya pun tak kalah penting; industri garmen menjadi pintu masuk bagi banyak tenaga kerja perempuan menuju pekerjaan formal, berkontribusi pada pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan keluarga.
Inisiatif transisi menuju ekonomi sirkular juga sudah dimulai, namun masih berada pada tahap pilot project, belum menjadi gerakan berskala nasional. Begitu pula dengan pelatihan vokasi yang telah dirintis melalui kerja sama dengan SMK dan politeknik —inisiatif ini patut diapresiasi, tetapi masih belum cukup menjawab kebutuhan keterampilan digital dan manajerial di tingkat pabrik.
Di sisi lain, tantangan struktural yang lebih mendasar belum teratasi. Banyak kebijakan masih belum terkoordinasi secara efektif antar kementerian —antara Kemenperin, Kemendag, Kemenaker, dan Kemenko. Kebijakan impor dan perlindungan pasar domestik masih berubah-ubah. Dan, dalam konteks digitalisasi industri, banyak pabrik garmen yang belum memiliki infrastruktur dasar untuk masuk ke fase transformasi industri 4.0. Secara internal, fluktuasi upah minimum regional yang signifikan di beberapa daerah menyebabkan ketidakpastian bagi investor dan pelaku industri.
Selain itu, infrastruktur yang belum memadai dan biaya logistik yang tinggi mengurangi daya saing produk Indonesia di pasar global. Banjirnya produk impor, baik legal maupun ilegal, juga menekan produsen lokal, memperparah kondisi industri garmen nasional. Ironisnya, semua ini terjadi di tengah tekanan dari luar negeri yang makin sering datang tanpa bisa diprediksi. Ketergantungan yang tinggi pada pasar AS, yang menyerap sekitar 40 persen ekspor tekstil Indonesia, membuat sektor ini rentan terhadap perubahan kebijakan perdagangan. Akibatnya, ketika AS menaikkan tarif secara sepihak, dampaknya langsung terasa.
Pemerintah telah mencoba merespons dengan kebijakan safeguard dan rencana bea masuk anti-dumping. Tapi semua ini bersifat sementara. Kita seperti terbiasa bertindak setelah krisis datang, bukan sebelum badai menghantam. Padahal arah strategis sudah pernah dibuat. Yang belum terjadi adalah eksekusi nyata dan konsistensi lintas kebijakan.
Jika kita ingin industri garmen tetap menjadi sektor padat karya yang relevan dalam peta ekonomi Indonesia, maka roadmap yang sudah ada harus dihidupkan kembali dengan semangat baru. Ini bukan soal menyusun ulang strategi, tetapi soal membangun keberanian politik untuk menjadikan sektor ini benar-benar prioritas —bukan hanya dalam dokumen, tapi dalam praktik.
Industri ini menyerap jutaan tenaga kerja, banyak di antaranya perempuan muda dari keluarga dengan keterbatasan ekonomi. Tarif dari Amerika Serikat ini adalah peringatan keras. Tapi ia juga bisa menjadi momentum untuk mengaktifkan kembali arah kebijakan yang pernah kita bangun, namun belum sepenuhnya kita jalankan.
Indonesia punya roadmap. Yang dibutuhkan sekarang adalah keberanian dan konsistensi untuk mewujudkannya.
Olivia Krishanty Direktur Eksekutif Kemitraan Kerja
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini