Tarif AS, Anomali Kapitalisme, dan Awal Perang Dingin

3 weeks ago 25

Jakarta -

Kebijakan tarif yang diberlakukan Donald Trump, baik saat menjabat maupun dalam retorikanya menjelang pemilu, menghadirkan sebuah anomali besar dalam sistem kapitalisme global. Negara yang selama ini menjadi arsitek perdagangan bebas global justru tampil sebagai aktor utama yang merusaknya.

Kapitalisme adalah sistem yang hidup dalam ekosistem global. Ia dibesarkan dalam semangat multilateralisme, di mana negara-negara saling terhubung melalui perdagangan, investasi, dan pergerakan barang dan jasa yang relatif bebas. Dalam semangat ini, Amerika Serikat (AS) membentuk institusi-institusi global seperti WTO dan mendorong perjanjian perdagangan seperti NAFTA dan TPP.

Namun, saat Trump menerapkan tarif secara unilateral terhadap hampir semua negara –termasuk sekutu-sekutunya– ia seolah mencabut fondasi utama dari sistem tersebut. Negara-negara yang selama ini menggantungkan hidupnya pada arsitektur perdagangan bebas, seperti Singapura atau Vietnam, menjadi pihak yang paling terdampak. Uniknya, AS –yang sejatinya paling diuntungkan dari sistem ini– justru menjadi negara pertama yang secara terang-terangan menarik diri.

Bagi saya, ini bukan sekadar kebijakan ekonomi, melainkan deklarasi kekalahan AS dalam sistem yang ia bangun sendiri. Ini adalah sebuah ironi historis, bahkan mungkin sebuah bentuk neo-merkantilisme, di mana negara kembali mengambil alih kendali utama atas perdagangan, bukan lagi perusahaan multinasional atau pasar.

Efek Domino

Bila kita tarik ke belakang, sistem merkantilisme dalam sejarah selalu menempatkan negara sebagai aktor utama ekonomi, dengan orientasi utama pada akumulasi kekayaan nasional dan neraca perdagangan yang positif. Namun, sistem ini juga menyimpan benih konflik. Ketika negara-negara bersaing ketat untuk menguasai pasar dan sumber daya, sejarah menunjukkan bahwa akhirnya kerap berujung pada konflik besar, bahkan perang. Apakah kita sedang menuju ke sana?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Yang jelas, kebijakan tarif ini menimbulkan efek domino, terutama terhadap kelompok kapitalis global. Di AS sendiri, kelompok yang paling terdampak bukan rakyat jelata, melainkan para industrialis dan oligarki –mereka yang selama ini menjadi mesin penggerak kapitalisme global. Barang konsumsi yang mereka produksi menjadi lebih mahal, rantai pasok terganggu, dan pasar global tidak lagi stabil.

Namun, persoalannya, dalam sistem kapitalisme, nasib rakyat kecil terikat pada keberlangsungan industri. Maka, saat kapitalis terdampak, rakyat juga ikut terpukul.

Di Indonesia, masalah ini menjadi lebih kompleks. Struktur ekonomi kita bergantung besar pada sektor industri yang dikuasai oleh elit ekonomi. Rakyat bekerja di bawah sistem yang digerakkan oleh mereka, sementara negara belum sepenuhnya mampu menawarkan alternatif yang setara.

Di sinilah muncul apa yang saya sebut sebagai "rantai iblis" –di mana rakyat tidak bisa membebaskan diri dari jerat kapitalisme karena akses pekerjaan, konsumsi, dan kesejahteraan ditentukan oleh kelompok kapitalis.

Lalu, bagaimana harusnya Indonesia menyikapi perubahan besar ini?

Yang menyedihkan, kita bahkan belum memiliki Duta Besar untuk AS selama dua tahun terakhir. Padahal, dalam situasi seperti ini, diplomasi harus menjadi garda terdepan. Banyak pihak menyerukan agar pemerintah memperkuat hubungan dengan AS. Tapi, tanpa instrumen diplomasi yang aktif, seruan itu justru terdengar kontradiktif.

Membuka Bab Baru

Indonesia memiliki keunikan tersendiri. Narasi kebangsaan kita sangat sosialistik, penuh semangat gotong-royong dan pemerataan, namun cara kerja kita sangat kapitalistik. Kita mengandalkan pasar, memfasilitasi investasi, dan menjadikan industri sebagai motor ekonomi.

Ketika dihadapkan pada dilema seperti ini, di mana sistem global yang menopang ekonomi kita sedang berubah drastis, pemerintah tidak bisa sekadar merespons secara teknokratik. Harus ada pemetaan wacana publik, karena setiap langkah kebijakan akan berimplikasi pada keutuhan sosial-politik kita sendiri.

Saya juga tidak menutup kemungkinan bahwa kebijakan tarif Trump bukan sekadar kebijakan ekonomi, tapi bagian dari taktik untuk mengubah peta kekuatan ekonomi-politik global. Fakta bahwa lebih dari 50 negara langsung meminta negosiasi dengan AS membuktikan daya tawar Trump. Bila separuh dari mereka sepakat memberikan tarif preferensial untuk AS, maka dunia akan kembali terbelah: satu blok mengikuti sistem perdagangan AS yang baru, satu blok mempertahankan multilateralisme.

Perang dingin versi ekonomi bisa saja muncul kembali. Dengan kata lain, Trump membuka bab baru dalam sejarah ekonomi global. Bukan hanya karena tarifnya mengganggu sistem yang mapan, tetapi karena kebijakan itu membuka pertanyaan besar: apakah kapitalisme masih seperti yang kita kenal selama ini? Atau, kita sedang memasuki fase baru –kapitalisme yang dikendalikan oleh negara, bukan pasar?

Yang jelas, Indonesia harus bersiap. Bukan hanya dengan kebijakan, tapi dengan menyatukan pemahaman publik, agar setiap langkah yang diambil tidak justru menciptakan jurang di antara kita.

Wim Tohari Daniealdi dosen Hubungan Internasional UNIKOM, Bandung

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial