STEM dan Jalan Menuju Ekonomi Berdaya Saing Tinggi

1 week ago 25

Jakarta -

Di sebuah desa kecil di pedalaman Musi Banyuasin (Muba), Sumatera Selatan, seorang anak bernama M. Novan Alfaridzi, siswa kelas 2 SDN 2 Kayuara menggenggam papan sirkuit rakitan dengan mata berbinar. Novan yang orang tuanya bekerja sebagai buruh harian itu baru saja menyelesaikan prototipe mechatronic, sebuah replika alat yang dapat membantu penanggulangan bencana.

Ia belajar bukan dari buku teks mahal, tetapi dari video daring yang diunduh gurunya saat bepergian ke kota kecamatan. Kegigihannya membawanya mencetak prestasi yang mengantarkannya mewakili Indonesia dalam kompetisi International Mathematical Science and Creativity Competition (IMSCC) 2023 di Korea Selatan.

Cerita Novan adalah serpih harapan dalam bentang realitas pendidikan Indonesia bahwa sains dan teknologi bisa hadir di pelosok, membangkitkan daya cipta, bahkan ketika fasilitas sangat terbatas.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun, kisah seperti ini masih langka. Sebagian besar siswa di wilayah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) tidak tersentuh pendekatan STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) yang memadai. Mereka berjuang dengan guru yang kekurangan pelatihan, sekolah tanpa laboratorium, dan kurikulum yang tidak kontekstual.

Padahal, di balik kesederhanaan hidup mereka tersembunyi potensi besar untuk menjadi penemu, pemecah masalah, dan inovator yang dibutuhkan bangsa ini untuk melangkah ke masa depan.

Kesenjangan pendidikan STEM bukan hanya masalah sosial, tetapi hambatan struktural terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

Di saat negara-negara seperti Korea Selatan dan Finlandia telah mengintegrasikan pendekatan STEM dalam pendidikan dasar dan menengah mereka selama beberapa dekade, Indonesia masih tertatih-tatih memperjuangkan literasi sains dan matematika yang paling dasar.

Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 yang dirilis OECD, menempatkan Indonesia pada peringkat 71 dari 80 negara yang berpartisipasi dalam literasi sains. Skor rata-rata literasi sains Indonesia adalah 383 poin, atau masih berada di bawah rata-rata OECD sebesar 476 poin.

Ini berarti mayoritas lulusan sekolah kita belum dibekali kemampuan analitis dan logis yang menjadi fondasi utama dalam ekonomi digital dan industri berbasis pengetahuan.

Pendidikan STEM bukan sekadar memperbanyak mata pelajaran eksakta. Ini tentang cara berpikir. Ia melatih anak-anak untuk tidak sekadar menghafal rumus, tetapi untuk bertanya, merancang, menguji, dan menemukan solusi atas masalah nyata di sekitar mereka.

Lanjut ke halaman berikutnya

Di masa depan, ketika kecerdasan buatan dan otomasi menjadi standar, hanya mereka yang memiliki kemampuan berpikir kritis dan multidisipliner yang akan bertahan dan berkembang.

Vietnam menjadi contoh menarik di Asia Tenggara. Setelah reformasi pendidikan yang masif sejak awal 2000-an, negara itu kini mencetak lulusan sekolah menengah yang menempati peringkat lebih tinggi dari negara-negara Eropa dalam skor PISA, khususnya dalam matematika dan sains.

Hal ini tak lepas dari penanaman prinsip STEM sejak usia dini, keterlibatan aktif guru dalam pelatihan berbasis riset, dan kemitraan dengan industri teknologi global seperti Intel dan Samsung.

Kini, Vietnam menjadi hub manufaktur elektronik yang sangat kompetitif, menandingi Thailand dan Malaysia.

STEM di Indonesia

Sebenarnya benih-benih sudah mulai tumbuh, walau belum merata. Di Nusa Tenggara Timur, misalnya, program kolaborasi antara lembaga swadaya masyarakat dengan sekolah-sekolah menengah kejuruan berhasil menghadirkan pendidikan STEM berbasis lokal.

Siswa-siswa belajar membuat alat pemurnian air dengan energi matahari, mengembangkan pertanian hidroponik, dan merakit sistem irigasi otomatis.

Di Bali, seorang guru muda bernama Ayuk Ratna Puspaningsih, yang bertugas di SMAN Bali Mandara, menerima penghargaan Science Education Award dari Indonesia Toray Science Foundation (ITSF) pada Januari 2025.

Penghargaan ini diberikan atas inovasinya dalam mengajar sains dengan memadukan teknologi dan eksperimen langsung, yang berhasil meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi pelajaran. Metode kreatif yang diterapkannya menjadi inspirasi bagi guru-guru lain dalam mengembangkan pembelajaran sains yang efektif.

Kisah Ayuk Ratna menunjukkan bagaimana pendidikan STEM dapat diterapkan bahkan di daerah terpencil, membawa perubahan nyata bagi komunitas lokal.

Cerita seperti ini menunjukkan bahwa transformasi pendidikan tidak harus menunggu gedung megah atau dana besar. Ia bisa dimulai dari keberanian guru, dukungan komunitas, dan akses terhadap teknologi sederhana. Namun, agar kisah-kisah kecil ini menjadi arus utama, dibutuhkan strategi nasional yang serius dan terstruktur.

Lanjut ke halaman berikutnya

Semua pihak harus mendukung dan berdiri bersama pemerintah untuk mengarusutamakan pendekatan STEM dalam kurikulum nasional, bukan sebagai mata pelajaran terpisah, tetapi sebagai filosofi pembelajaran.

Ini mencakup pelatihan guru berbasis riset, penyediaan laboratorium sederhana di seluruh sekolah, dan pengembangan materi ajar yang kontekstual dengan kehidupan lokal.

Kemudian juga, dibutuhkan peta jalan nasional pengembangan SDM yang sinkron dengan kebutuhan industri masa depan.

Saat ini, lebih dari 50% lulusan perguruan tinggi di Indonesia bekerja di sektor yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Ini bukan hanya pemborosan sumber daya, tetapi juga cerminan lemahnya koordinasi antara pendidikan dan dunia kerja.

Negara-negara seperti Jerman dan Singapura berhasil membangun sistem pendidikan vokasi dan politeknik yang berbasis kebutuhan industri karena adanya koordinasi yang erat antar kementerian dan pelaku usaha.

Selanjutnya, kemitraan publik-swasta harus diperkuat dengan insentif fiskal dan regulasi. Perusahaan yang berinvestasi dalam pelatihan guru, menyediakan laboratorium, atau membuka program magang berbasis STEM perlu diberikan penghargaan melalui pemotongan pajak atau preferensi proyek.

Dunia usaha tidak boleh hanya menjadi penikmat hasil pendidikan, tetapi harus menjadi mitra aktif dalam prosesnya.

Ketika Indonesia gagal menjadikan pendidikan STEM sebagai prioritas strategis, negeri ini berisiko terus berada dalam jebakan negara berpendapatan menengah.

Pertumbuhan ekonomi akan stagnan, lapangan kerja bermutu rendah, dan inovasi akan terus datang dari luar.

Namun, jika Indonesia berani melakukan perubahan, menjadikan setiap sekolah sebagai pusat kreativitas, setiap guru sebagai agen perubahan, dan setiap anak sebagai penemu masa depan maka jalan menuju Indonesia Emas 2045 bukan lagi mimpi.

Anak cerdas seperti Novan atau guru, Ayuk Ratna, adalah bukti bahwa potensi sejatinya ada di mana-mana. Dan mereka bukan hanya satu dua, tapi banyak, sayangnya masih seperti tercecer.

Bangsa ini hanya perlu menyiramnya menyatukannya dalam wadah dengan pendidikan yang relevan, menantang, dan memerdekakan pikiran.

STEM juga bukan sekadar strategi akademik, ia adalah investasi kemanusiaan. Dan di balik setiap siswa yang mampu merakit solusi dari persoalan hidupnya, tersembunyi masa depan Indonesia yang lebih tangguh, cerdas, dan berdaya saing.


Stephanie Riady
Penasihat Ahli Mendikdasmen

Simak juga Video: Peminat Konten Pembelajaran STEM di TikTok Terus Naik

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial