Solusi Keberlanjutan Sektor Kehutanan

2 hours ago 3

Jakarta -

Sebagai negara dengan hutan tropis terluas ketiga di dunia, Indonesia menghadapi tekanan besar akibat aktivitas ilegal yang merusak ekosistem serta menghambat pencapaian target pembangunan berkelanjutan (SDGs). Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) --yang saat ini menjadi Kementerian Kehutanan--menunjukkan bahwa deforestasi Indonesia mencapai 450 ribu hektar per tahun selama 2020-2024.

Dampak buruk ini tidak hanya membebani lingkungan, tetapi juga memperbesar ketimpangan ekonomi, dengan gini ratio tetap berada di kisaran 0,38. Menurut Emil Salim, seorang ekonom lingkungan, "Kunci utama keberhasilan kebijakan kehutanan adalah penegakan hukum yang tegas dan transparan, yang didukung oleh kolaborasi antarpihak, baik pemerintah pusat maupun daerah."

Pada 21 Januari 2025, Presiden Prabowo Subianto menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025 tentang penertiban kawasan hutan. Langkah ini merupakan terobosan signifikan yang dapat memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi berkelanjutan sekaligus menekan kemiskinan ekstrem. Oleh karena itu, implementasi Perpres 5/2025 harus disertai dengan penguatan pengawasan maladministrasi dan revisi regulasi yang relevan.

Penertiban kawasan hutan menjadi instrumen penting dalam menghadapi fenomena seperti illegal logging, tata kelola kehutanan yang belum optimal, dan kerugian negara yang mencapai triliunan rupiah setiap tahunnya. Dalam konteks ini, pemerintah memiliki peluang besar untuk memperkuat sektor kehutanan melalui kebijakan yang berbasis keberlanjutan dan inklusivitas.

Solusi keberlanjutan sektor kehutanan tidak bisa hanya berpusat pada sanksi hukum. Sebagai contoh, denda administratif bagi pelaku illegal logging harus diimbangi dengan pemulihan aset hutan dan insentif bagi pihak yang berhasil merehabilitasi kawasan hutan yang rusak. Selain itu, konsep bioekonomi perlu diintegrasikan untuk memaksimalkan manfaat ekonomi dari sumber daya alam tanpa merusak ekosistem.

Misalnya, pemanfaatan hasil hutan non kayu seperti madu hutan, tanaman obat, dan ekowisata dapat menjadi alternatif sumber pendapatan yang lestari. Penerapan kebijakan ini perlu melibatkan Kementerian Kehutanan, Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian Pertahanan, dan Ombudsman RI dalam pembentukan satuan tugas lintas sektoral. Langkah ini penting untuk menciptakan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan, sekaligus memastikan keterlibatan masyarakat setempat dalam pengelolaan hutan.

Inspirasi dapat diambil dari kebijakan sukses Brasil melalui program Amazon Fund. Program ini berhasil menurunkan tingkat deforestasi hingga 83% dalam satu dekade melalui kombinasi strategi yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat adat, dukungan pemerintah daerah, dan pengelolaan keuangan yang transparan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kolaborasi ini membangun kepercayaan di semua tingkatan manajemen dan menciptakan insentif yang mendorong konservasi. Sebagai hasilnya, Brasil tidak hanya menjaga kelestarian hutan Amazon, tetapi juga meningkatkan perekonomian lokal yang bergantung pada keberlanjutan hutan.

Namun, Indonesia tidak cukup hanya meniru langkah negara lain. Pendekatan berbasis lokal harus menjadi prioritas utama. Misalnya, penguasaan kembali kawasan hutan tak berizin harus dilakukan secara hati-hati dengan mengutamakan dialog dengan masyarakat adat. Selain itu, perlindungan kawasan sumber air di dalam dan sekitar kawasan hutan harus diprioritaskan.

Hutan-hutan yang menjadi penyangga daerah aliran sungai (DAS) perlu dikelola dengan pendekatan berbasis ekosistem untuk mencegah krisis air di masa depan. Pemulihan kawasan hutan harus mencakup aspek sosial, ekonomi, dan ekologis, agar masyarakat tidak kehilangan mata pencaharian sekaligus menjamin keberlanjutan ekosistem (Bambang Hero Saharjo, 2024).

Dalam jangka pendek, pemerintah perlu menetapkan tenggat waktu yang tegas untuk menyelesaikan persoalan ini, seperti mengurangi luas kawasan hutan ilegal hingga 50% pada akhir 2026. Dukungan penuh dari Kementerian Kehutanan, dan Kementerian PPN/Bappenas diperlukan untuk memastikan target ini tercapai.

Optimisme harus tetap menjadi narasi utama dalam upaya mewujudkan pembangunan ekonomi yang inklusif tanpa mengorbankan kelestarian hutan. Dengan target pertumbuhan ekonomi 8% yang dicanangkan Presiden Prabowo, sektor kehutanan dapat menjadi motor penggerak utama melalui pendekatan keberlanjutan.

Program insentif seperti pembayaran jasa lingkungan (PES) dan sertifikasi hutan lestari harus diperluas untuk menarik minat investor sekaligus mengedukasi masyarakat tentang pentingnya konservasi. Selain itu, optimalisasi bioekonomi melalui industri berbasis hasil hutan berkelanjutan dapat menciptakan nilai tambah yang signifikan.

Pemerintah pusat, melalui Kementerian Kehutanan, Kementerian PPN/Bappenas, dan Kementerian Keuangan, harus memimpin implementasi ini dengan dukungan penuh dari pemerintah daerah dan masyarakat sipil. Target awal yang realistis adalah melipatgandakan luas hutan bersertifikasi lestari hingga akhir 2026.

Kolaborasi ini juga harus melibatkan sektor swasta dalam investasi industri hijau yang berbasis kehutanan. Dengan rencana yang terkoordinasi dan tenggat waktu yang jelas, Indonesia dapat membuktikan bahwa pembangunan ekonomi dan pelestarian hutan adalah dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Masa depan Indonesia yang sejahtera dan hijau bisa diwujudkan melalui komitmen bersama di semua tingkat pemerintahan dan masyarakat.

Andi Setyo Pambudi mahasiswa doktoral Manajemen Berkelanjutan Perbanas Institute, kandidat Perencana Ahli Utama Bappenas

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial