Skor Indeks Integritas Pendidikan Nasional Tahun 2024 Turun Jadi 69,5

1 week ago 18
Situs Info Dini Viral Non Stop

KPK mengumumkan skor Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan pada 2024 sebesar 69,50. Hasil ini mengalami penurunan dari skor SPI pada tahun 2023 mencapai angka 73,7.

Pengumuman skor SPI Pendidikan 2024 ini dilakukan dalam acara Peluncuran Indeks Integritas Pendidikan di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi, Jakarta Selatan, Kamis (24/4/2025). Peluncuran skor SPI ini turut dihadiri Mendikdasmen Abdul Mu'ti, Menag Nassarudin Umar serta Wamendikti Saintek, Stella Christie.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK, Wawan Wardiana menjelaskan SPI Pendidikan tahun 2024 ini melibatkan responden yang berasal dari lebih dari 36 ribu satuan pendidikan yang terdiri dari 35 ribu lebih satuan pendidikan dasar dan menengah serta 1.200-an satuan pendidikan tinggi.

Wawan mengatakan adapun jumlah sampel responden yang terlibat berasal dari elemen dalam ekosistem pendidikan meliputi 1.041 lebih peserta didik, baik murid maupun mahasiswa. Kemudian ada 1.601 lebih tenaga pendidik, baik guru maupun dosen, 1.001 lebih orang tua atau wali murid, serta 45 ribu lebih pimpinan satuan pendidikan dasmen dan dikti dengan jumlah keseluruhan sebanyak 449 ribu lebih.

Dia menyebut pelaksanaan survei ini dilakukan dengan dua metode. Pertama secara metode online melalui WhatsApp dan email blast, serta CAWI (Computer Assisted Web Interviewing) dan metode hybrid yaitu menggunakan CAPI (Computer-assisted personal interviewing).

Dia menjelaskan SPI Pendidikan dilakukan untuk memetakan kondisi integritas pada tiga aspek dimensi yaitu karakter integritas peserta didik, ekosistem pendidikan terkait pendidikan anti korupsi, dan risiko korupsi pada tata kelola pendidikan.

Wawan mengatakan skor integritas pendidikan karena responden yang diambil dari tingkat provinsi. Sehingga banyak masukan yang diterima dalam survei kali ini.

"Jadi kalau dari angka memang kelihatan penurunan gitu ya. Tahun yang lalu itu 73, sekian, sekarang 69,5. Tapi kalau kita lihat sebenarnya, kalau tahun yang lalu itu kan baru levelnya di provinsi. Di provinsi, sehingga jumlah respondennya juga tidak sebanyak sekarang. Bahkan yang sebelumnya itu levelnya nasional kan. Hanya jadi ambil sampling secara nasional, kemudian tahun 2023 yang lalu, provinsi, mulai 2024 ini full sampai ke Kabupaten Kota," jelasnya.

Dia mengatakan skor 69,50 merupakan angka nasional. Dia mengatakan setiap Kabupaten Kota memiliki skor integritas sendiri.

"Jadi yang 69,5 itu adalah nilai nasional. Tapi di daerah-daerah juga masih ada, masing-masing punya nilai. Jadi seperti itu kira-kira, kenapa nilainya penurunan, karena secara pelaksanaannya tadi, bertahap dari dulu nasional, kemudian level provinsi, sekarang sudah setiap Kabupaten Kota punya nilai di sini," tuturnya.

Skor indeks integritas pendidikan nasional 2024. (Dok Fadil/detikcom)Foto: Skor indeks integritas pendidikan nasional 2024. (Dok Fadil/detikcom)

Dia menerangkan berdasarkan survei yang telah dilakukan, terdapat beberapa temuan yang menarik terkait dengan kondisi integritas pendidikan di Indonesia. Mulai dari temuan terhadap kejujuran akademik, ketidakdisiplinan akademik, gratifikasi, pengadaan barang jasa terdapat benturan kepentingan, penggunaan dana BOS tidak sesuai, nepotisme serta pungli di luar biaya resmi.

"Kasus menyontek masih ditemukan pada 78 persen sekolah dan 98 persen kampus. Masalah ketidakdisiplinan akademik 45 persen siswa dan 84 persen mahasiswa yang menjadi responden, mengaku pernah terlambat datang ke sekolah atau kampus," ujar Wawan saat mempresentasikan skor SPI tahun 2024.

"Namun tidak hanya siswa dan mahasiswa, menurut 69 persen siswa, masih ada guru yang terlambat hadir. Sedangkan menurut 96 persen mahasiswa, masih ada dosen yang terlambat hadir. Bahkan di 96 persen kampus dan 64 persen sekolah, ditemukan masih ada dosen atau guru yang tidak hadir tanpa alasannya jelas," sambungnya.

Sementara terkait gratifikasi, Wawan menyampaikan masih ditemukan 30 persen guru atau dosen dan 18 persen kepala sekolah atau rektor masih menganggap pemberian hadiah dari siswa atau wali murid adalah sesuatu hal yang wajar diterima. Pada 60 persen sekolah juga ditemukan bahwa orang tua terbiasa memberikan bingkisan hadiah pada guru pada saat hari raya atau kenaikan kelas.

"Bahkan menurut orang tua, di 22 persen sekolah masih ada guru yang menerima bingkisan agar nilai siswa menjadi bagus atau agar siswa bisa lulus," ungkap Wawan.

Dia juga menyebut dalam pengadaan barang dan jasa, masih ditemukan temuan terkait benturan kepentingan. Ada 43 persen sekolah dan 68 persen kampus yang di pimpinannya atau kepala sekolahnya menentukan vendor pelaksana atau penyedia berdasarkan relasi pribadi.

"Bahkan, pada 26 persen sekolah dan 68 persen kampus ditemukan ada pihak satuan pendidikan yang menerima komisi dari vendor. Ditemukan juga terdapat pengadaan atau pembelian yang dilakukan secara kurang transparan pada 75 persen sekolah dan 87 persen kampus," terang Wawan.

Kemudian didapati juga12 persen sekolah yang menggunakan dana BOS tidak sesuai dengan peruntukannya atau aturan-aturan yang terkait. Diantaranya 17 persen sekolah masih ditemukan pemerasan, potongan, atau pungutan terkait dana bos.

Dalam survei juga ditemukan 40 persen sekolah melakukan kegiatan nepotisme dalam pelaksana pengadaan barang dan jasa atau proyek. Ada pula 47 persen sekolah masih melakukan penggelumbungan biaya penggunaan dana lainnya.

"Dan terkait pelanggaran lain-lainnya masih terjadi pada 42 persen sekolah. Perilaku-perilaku koruptif masih ditemukan di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Pada 28 persen sekolah masih ditemukan pungutan di luar biaya resmi dalam penerimaan siswa baru. Pungutan lain juga ditemukan dalam sertifikasi atau pengajuan dokumen lain pada 23 persen sekolah dan 60 persen kampus," ucapnya.

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial