Sengketa Pilkada, Ketegasan MK, dan Peran Bawaslu

4 hours ago 2

Jakarta -

Dalam demokrasi, pemilihan kepala daerah harus menjadi ajang pertarungan gagasan, bukan pertarungan uang. Namun, realitas politik di Indonesia masih menunjukkan bahwa praktik money politics atau politik uang terus mencederai integritas pemilu.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sengketa Pilkada Bangka Barat 2024, yang hanya memerintahkan Pemungutan Suara Ulang (PSU) tanpa mendiskualifikasi pasangan calon yang terbukti melakukan politik uang, menjadi preseden yang mengecewakan. Seharusnya, MK mengambil sikap lebih tegas dengan mendiskualifikasi pasangan calon yang terbukti membeli suara demi menegakkan demokrasi yang bersih dan berintegritas.

Politik uang bukan sekadar pelanggaran administratif atau ethical misconduct dalam kontestasi politik, tetapi sebuah kejahatan terhadap demokrasi. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 telah dengan jelas mengatur bahwa praktik politik uang yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dapat menjadi dasar pembatalan calon.

Faktanya, MK dalam beberapa kasus sebelumnya telah mendiskualifikasi calon kepala daerah yang terbukti melakukan politik uang, seperti dalam kasus Pilkada Mahakam Ulu. Maka dari itu, ketidakkonsistenan dalam penerapan sanksi terhadap pelaku politik uang, seperti yang terjadi di Bangka Barat, menimbulkan pertanyaan besar apakah hukum berlaku adil untuk semua atau hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas?

Membuka Ruang Pelanggaran Serupa

Keputusan MK yang hanya membatalkan hasil pemilihan tanpa mendiskualifikasi pasangan calon membuka ruang bagi pelanggaran serupa di masa depan. Logikanya sederhana: jika hukuman maksimalnya hanya PSU, maka calon yang memiliki modal besar tetap dapat menggunakan politik uang sebagai strategi. Dalam skenario terburuk, mereka hanya perlu mengulang pemilihan tanpa kehilangan peluang untuk tetap bertarung. Hal ini menciptakan insentif bagi politik transaksional dan merusak moralitas demokrasi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam beberapa putusan sebelumnya, MK telah membuktikan bahwa politik uang dapat dijadikan alasan kuat untuk mendiskualifikasi pasangan calon. Kriteria TSM yang digunakan MK untuk menentukan seberapa serius sebuah pelanggaran politik uang mencakup tiga aspek utama, yaitu adanya perencanaan yang matang, keterlibatan aparat struktural secara kolektif, dan dampak yang luas terhadap hasil pemilihan. Jika di Bangka Barat terbukti ada politik uang dalam skala TSM, maka seharusnya putusan MK lebih tegas dengan menjatuhkan sanksi diskualifikasi.

Peran Bawaslu

Di sisi lain, peran Bawaslu sebagai pengawas pemilu juga menjadi sorotan. Jika Bawaslu benar-benar menjalankan fungsinya dengan maksimal, politik uang seharusnya bisa dicegah sejak awal. Sayangnya, dalam banyak kasus, pengawasan cenderung lemah atau bahkan terkesan melakukan pembiaran.

Oleh karena itu, selain menuntut ketegasan MK dalam menjatuhkan sanksi diskualifikasi, diperlukan penguatan peran Bawaslu dalam mendeteksi dan menindak politik uang sejak dini. Sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat juga harus lebih masif agar pemilih tidak mudah tergiur oleh iming-iming uang dalam menentukan pilihan politiknya.

Selain diskualifikasi, penegakan hukum terhadap pelaku politik uang juga harus diperkuat dengan sanksi pidana yang lebih berat. Saat ini, regulasi yang ada masih terkesan longgar dan tidak memberikan efek jera yang cukup. Jika praktik politik uang terus dibiarkan dengan sanksi yang lemah, maka demokrasi akan semakin jauh dari prinsip kejujuran dan keadilan.

Kesimpulannya, MK seharusnya lebih tegas dalam menghadapi kasus politik uang dalam pilkada, terutama yang terbukti dilakukan secara TSM. Diskualifikasi pasangan calon yang terbukti melakukan politik uang bukan hanya soal menegakkan aturan, tetapi juga menjaga integritas demokrasi dan kepercayaan publik terhadap sistem pemilu.

Jika hukum terus menerapkan standar ganda dalam menindak pelanggaran pemilu, maka jangan heran jika politik uang semakin dianggap sebagai sesuatu yang "wajar" dalam setiap kontestasi politik. MK memiliki kewajiban moral dan konstitusional untuk memastikan bahwa kepala daerah yang terpilih adalah hasil dari demokrasi yang bersih, bukan hasil dari transaksi jual beli suara.

Rohim Sekretaris Desa 2018 - 2023, mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Terbuka

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial