Satu Sumpah dan Setumpuk Persoalan Daerah

5 hours ago 2

Jakarta -

Sumpah itu diucapkan serempak. Di bawah langit Istana, di hadapan Presiden, mereka menyatakan janji. Kata-katanya sama, nadanya seragam. "Demi Allah," sebagian mengucap, yang lain menyebut nama Tuhan dalam kepercayaannya masing-masing. Namun, di balik ritual yang khidmat itu, apakah ada sesuatu yang lebih dari sekadar formalitas? Apakah janji itu akan membawa perubahan, atau justru hanya gema yang menghilang di lorong-lorong kekuasaan?

Sebanyak 961 kepala daerah resmi dilantik. Sebuah angka yang bukan sekadar statistik. Di sana ada gubernur dan wakilnya, bupati, wali kota, serta para wakil mereka. Mereka, dalam skema demokrasi, adalah pemimpin di tingkat daerah, tetapi dalam bayang-bayang sistem yang semakin terpusat, seberapa jauh kekuasaan mereka benar-benar dapat dijalankan?

Sumpah yang Sama, Tantangan yang Berbeda

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Setiap kepala daerah mengucapkan sumpah dengan teks yang seragam. Tetapi daerah yang mereka pimpin jauh dari keseragaman. Lampung dan Papua, Bandung dan Ternate, Jakarta dan Natuna—setiap daerah punya masalahnya sendiri. Sebagian harus menghadapi kelangkaan pangan, yang lain terjebak dalam pusaran birokrasi yang berkarat. Ada yang harus berjuang melawan korupsi di internal pemerintahannya sendiri, sementara yang lain bergelut dengan bencana yang terus berulang.

Apakah satu sumpah dapat menjawab semua itu?

Sumpah jabatan adalah simbol. Ia bukan jaminan. Ia hanya sebuah janji yang harus diwujudkan dalam tindakan. Tetapi dalam politik, simbol sering lebih nyata daripada kenyataan. Pelantikan di Istana menegaskan satu hal: mereka adalah bagian dari sistem yang dikendalikan dari pusat. Otonomi daerah, yang dulu digadang-gadang sebagai solusi bagi pemerintahan yang lebih dekat dengan rakyat, kini tampak seperti istilah yang kehilangan maknanya.

Kepala Daerah dalam Bayang-bayang Kekuasaan

Para kepala daerah dilantik serentak, di bawah satu komando, dalam satu ruangan. Sebuah pertunjukan administratif yang efisien. Tetapi apakah ini pertanda bahwa pemerintahan daerah semakin kuat, atau justru semakin tergantung pada pusat?

Dalam politik, pelantikan adalah momen yang selalu sarat makna. Ini bukan hanya soal siapa yang berdiri di depan untuk bersumpah, tetapi siapa yang berada di balik layar, mengendalikan skenario. Apakah ini menegaskan otonomi, atau justru menandai penguatan kontrol pusat atas daerah?

Pada era Orde Baru, kepala daerah adalah kepanjangan tangan kekuasaan pusat. Mereka tak lebih dari administrator yang harus loyal pada kebijakan pemerintah pusat. Reformasi membawa perubahan: pilkada langsung, desentralisasi, dan janji bahwa daerah akan lebih mandiri. Tetapi kini, dengan kepala daerah yang kembali diangkat tanpa pemilihan, apakah kita sedang berjalan mundur ke era yang lebih terkendali?

Birokrasi, Korupsi, dan Realitas Politik Daerah

Setiap kepala daerah datang ke kursinya dengan berbagai latar belakang. Ada yang mantan birokrat, ada yang lahir dari dinasti politik, ada pula yang diorbitkan oleh partai yang kuat. Tetapi satu hal yang pasti: mereka semua akan menghadapi kenyataan yang sama—birokrasi yang lamban, kepentingan yang bersilangan, dan godaan kekuasaan yang selalu mengintai.

Korupsi di daerah bukan cerita baru. Setiap tahun, ada kepala daerah yang ditangkap KPK. Ada yang terjerat suap proyek infrastruktur, ada yang bermain dalam pengadaan barang dan jasa, ada pula yang sekadar menumpuk kekayaan untuk kepentingan keluarga dan kroninya. Di tengah sistem yang korup, bagaimana sumpah itu akan dipertahankan?

Tidak semua kepala daerah korup. Tidak semua kehilangan integritasnya. Tetapi sistem sering kali lebih besar daripada individu. Kepala daerah yang bersih harus berhadapan dengan politik uang yang mengakar, dengan birokrasi yang dipenuhi aparatur yang lebih setia pada patron daripada pada aturan. Mereka harus melawan sistem yang sering kali lebih kuat dari niat baik mereka.

Antara Kekuasaan dan Kepentingan Rakyat

Dalam politik, loyalitas adalah mata uang. Kepala daerah tidak hanya harus setia pada rakyat, tetapi juga pada pihak yang memberinya jalan ke tampuk kekuasaan. Partai politik, elite nasional, bahkan oligarki lokal—semua punya kepentingan.

Dalam sistem demokrasi yang sehat, kepala daerah adalah perwakilan rakyat di tingkat lokal. Tetapi dalam sistem yang semakin tersentralisasi, mereka lebih sering menjadi perpanjangan tangan dari kekuasaan yang lebih besar. Mereka bisa jadi pemimpin, tetapi sering mereka hanya administrator.

Lalu, di mana posisi rakyat dalam semua ini? Apakah kepala daerah masih bisa menjadi pemimpin yang benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyatnya? Atau mereka hanya menjadi bagian dari sistem yang sudah sejak lama kehilangan orientasi pada rakyat?

Politik Sentralisasi dalam Wajah Baru

Pelantikan 961 kepala daerah di Istana menunjukkan satu hal yang jelas bahwa negara ingin menegaskan kendali atas daerah. Ini bukan hanya soal seremoni, tetapi juga pesan bahwa kekuasaan pusat masih lebih dominan daripada kekuasaan daerah.

Desentralisasi adalah janji Reformasi. Tetapi kini, kita menyaksikan bagaimana kekuasaan daerah semakin dikendalikan. Pilkada yang ditunda, kepala daerah yang ditunjuk, dan sistem pemerintahan yang semakin terpusat. Apakah ini sekadar efisiensi, atau tanda bahwa kita sedang melangkah ke arah yang lebih otoriter?

Dari Sumpah ke Tindakan

Sumpah itu telah diucapkan. Tetapi janji politik selalu lebih mudah diucapkan daripada diwujudkan. Tantangan yang dihadapi kepala daerah tidak sederhana. Mereka harus menghadapi birokrasi yang berbelit, kepentingan politik yang kompleks, serta ekspektasi rakyat yang terus meningkat.

Tetapi lebih dari itu, mereka harus menemukan kembali makna kepemimpinan daerah. Apakah mereka akan menjadi pemimpin yang benar-benar bekerja untuk rakyat, atau hanya bagian dari mesin kekuasaan yang bekerja demi dirinya sendiri?

Di dalam sumpah yang seragam itu, semoga masih ada ruang bagi keberanian untuk berbeda. Karena dalam politik, yang membedakan seorang pemimpin sejati dari sekadar pejabat adalah keberanian untuk bertindak di luar naskah yang sudah ditulis untuknya.

Sebab, pada akhirnya, rakyat tak butuh sumpah. Mereka butuh kepemimpinan yang nyata.

Firdaus Arifin, S.H, Mh dosen Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Pasundan, Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial