Jakarta -
Rancangan Undang-Undang (RUU) Kejaksaan memicu perdebatan publik. RUU ini diusulkan untuk mereformasi institusi Kejaksaan agar lebih transparan, akuntabel, dan independen. Namun, di balik niat baik tersebut, muncul kekhawatiran bahwa RUU ini justru akan menjadi alat politisasi yang melemahkan independensi Kejaksaan. Apakah RUU ini benar-benar dirancang untuk memperkuat sistem peradilan, atau hanya menjadi alat kekuasaan?
Reformasi atau Politisasi Kejaksaan?
Kejaksaan Republik Indonesia (RI) adalah lembaga penegak hukum yang memegang peran sentral dalam sistem peradilan. Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, lembaga ini bertugas sebagai penuntut umum, pengawal kepentingan hukum, dan pelindung masyarakat. Namun, dalam praktiknya, Kejaksaan sering dihadapkan pada tuduhan intervensi politik, korupsi, dan tidak transparan.
Misalnya, dalam kasus korupsi e-KTP, mantan Jaksa Agung Prasetyo disebut-sebut terlibat dalam upaya melindungi pihak tertentu. Teori Principal-Agent Problem dalam ilmu politik menjelaskan bagaimana lembaga seperti Kejaksaan dapat menyimpang dari kepentingan masyarakat (principal) karena tekanan atau kepentingan pribadi. Jika RUU Kejaksaan tidak dirancang dengan mekanisme pengawasan yang kuat, potensi penyimpangan wewenang oleh Kejaksaan akan semakin besar.
Beberapa pasal dalam RUU Kejaksaan dinilai berpotensi melemahkan independensi lembaga ini. Misalnya, mekanisme pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung yang masih terlalu bergantung pada keputusan politik eksekutif dan legislatif. Hal ini bertentangan dengan prinsip "independensi peradilan" yang diamanatkan oleh Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945.
Problem Dualisme Kewenangan
Salah satu isu kritis dalam RUU Kejaksaan adalah dualisme kewenangan antara Jaksa Agung dan pemerintah. RUU ini dinilai belum secara tegas mengatur batasan wewenang eksekutif dalam mengintervensi Kejaksaan. Misalnya, dalam Pasal 35, Presiden memiliki kewenangan untuk memberhentikan Jaksa Agung dengan alasan yang tidak jelas. Hal ini berpotensi menciptakan konflik kepentingan dan melemahkan posisi Kejaksaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Teori Separation of Powers (Pemisahan Kekuasaan) yang dicetuskan oleh Montesquieu menekankan pentingnya pemisahan yang jelas antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Jika RUU Kejaksaan tidak mengatur mekanisme checks and balances yang kuat, dikhawatirkan Kejaksaan akan menjadi alat kepentingan politik eksekutif.
Selain itu, RUU ini juga dinilai belum mengatur secara tegas mekanisme pengawasan internal dan eksternal terhadap Kejaksaan. Berdasarkan data dari Indonesia Corruption Watch (ICW), setidaknya ada 15 kasus korupsi yang melibatkan jaksa dalam kurun waktu 2015-2022. Tanpa sistem pengawasan yang kuat, potensi korupsi dan politisasi dalam tubuh Kejaksaan akan semakin besar.
Partisipasi Publik yang Minim
Proses pembahasan RUU Kejaksaan menjadi sorotan banyak pihak karena minimnya partisipasi publik. Padahal, prinsip "partisipasi publik" dalam pembentukan kebijakan adalah elemen dasar dalam good governance yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Sebagai perbandingan, revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2019 yang minim partisipasi publik menghasilkan undang-undang yang melemahkan lembaga antirasuah tersebut. Jika pola serupa terjadi dalam pembahasan RUU Kejaksaan, dikhawatirkan hasil akhirnya juga akan sama yaitu soal lemahnya akuntabilitas dan transparansi.
Partisipasi publik yang kuat sangat diperlukan untuk memastikan bahwa RUU Kejaksaan mengakomodasi kepentingan seluruh lapisan masyarakat, bukan hanya pihak-pihak yang memiliki kekuatan politik. Oleh karena itu, setiap tahapan pembahasan harus melibatkan lebih banyak perwakilan masyarakat sipil, akademisi, dan penggiat hukum untuk memberikan perspektif yang lebih luas dan menghindari terjadinya bias politik.
Pentingnya Independensi Kejaksaan
Independensi Kejaksaan adalah prinsip yang tak boleh diganggu gugat dalam reformasi lembaga ini. Tanpa independensi, Kejaksaan akan kehilangan kredibilitasnya sebagai penegak hukum yang objektif dan adil. Teori Rule of Law yang dicetuskan oleh A.V. Dicey menekankan bahwa penegakan hukum harus dilakukan secara imparsial dan bebas dari intervensi politik.
Salah satu langkah penting yang bisa dipertimbangkan adalah pembentukan badan pengawas independen yang bertugas mengawasi kinerja Kejaksaan. Badan pengawas ini harus terdiri dari berbagai pemangku kepentingan, seperti perwakilan masyarakat sipil, akademisi, dan praktisi hukum. Pendekatan semacam ini sudah terbukti efektif di beberapa negara, seperti Judicial Appointments Commission di Inggris yang memiliki peran mengawasi proses pengangkatan hakim dan jaksa.
Jangan Biarkan Kejaksaan Jadi Alat Kekuasaan
Polemik RUU Kejaksaan mencerminkan tarik-menarik antara kebutuhan reformasi dan kepentingan politik. Di satu sisi, memang diperlukan upaya reformasi Kejaksaan untuk memperkuat sistem peradilan dan meningkatkan akuntabilitas lembaga ini. Namun, ada kekhawatiran bahwa RUU ini justru akan menjadi alat untuk melemahkan independensi Kejaksaan dan memperkuat kontrol politik atas lembaga tersebut.
Untuk itu, RUU Kejaksaan harus dirancang dengan prinsip-prinsip good governance yang kuat, yaitu transparansi, partisipasi publik yang luas, dan mekanisme checks and balances yang memadai. Tanpa komitmen yang kuat terhadap prinsip-prinsip tersebut, RUU Kejaksaan berisiko menjadi alat politisasi yang merugikan sistem peradilan dan masyarakat.
Masyarakat harus aktif mengawasi proses pembahasan RUU Kejaksaan. Gunakan platform seperti Change.org atau layanan e-participation dari DPR untuk menyampaikan aspirasi. Jangan biarkan Kejaksaan menjadi alat kekuasaan yang merugikan rakyat!
Junet Hariyo Setiawan aktivis literasi hukum
Simak juga Video: Baleg DPR Sebut RUU Perampasan Aset Belum Masuk Prioritas
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu