Jakarta -
Ruang publik yang riuh dengan percakapan tentang berbagai hal, terkadang menyisakan lalu lintas informasi dan persepsi yang saling berbenturan. Mereka yang saling "berbincang", mungkin tidak pernah bertemu dan bertatap muka satu sama lain. Mereka yang saling berseberangan hingga bermusuhan, bahkan tidak pernah mengenal isi kepala dan pikiran masing-masing.
Dalam dunia yang terlipat oleh segenggam dan seperangkat gawai, manusia hidup dengan identitas yang acak dan terfragmentasi. Yang terdengar hanyalah suara, yang terlihat hanyalah figur. Dalam konteks politik, sulit menemukan kesejatian lakon dan peran, lebih dari sekadar retorika dan pemoles citra. Mereka yang ditunjuk langsung sebagai pengabdi ataupun lahir dari kontestasi, adalah manusia-manusia yang hadir dari lalu lintas informasi dan persepsi. Tanpa tagihan komitmen dan konsistensi, kepentingan rakyat akan rentan tergadai.
Menyamakan Visi
Boleh jadi, asumsi dan fenomena itulah yang dirasakan oleh Presiden Prabowo Subianto tatkala mulai mentradisikan retret dalam mengawali kinerja pemerintahannya. Momentum kontestasi yang dilalui dengan perjumpaan, keramaian dan kompetisi, tidak hanya melahirkan pilihan, tapi juga kalah dan menang. Sebagiannya bahkan menyisakan permusuhan dan dendam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski dalam satu kabinet yang bertakjuk Merah Putih, para pejabat yang ditunjuk bisa memiliki latar belakang visi dan motivasi yang berbeda-beda. Meski dalam satu bangunan NKRI, para kepala daerah yang terpilih bisa saja memiliki misi dan paradigma yang beraneka warna. Oleh karena itu, siapapun yang ditunjuk dan terpilih, akan mengemban amanah kebangsaan, keindonesiaan, dan kerakyatan. Loyalitas kepada kelompok, golongan, dan kepentingan tidak lagi berlaku, saat janji dan kesetiaan kepada rakyat sedang dinanti dan ditagih.
Namun, argumen moral itu tidak mudah dicerna oleh mereka yang terbiasa larut dalam kontestasi. Kompetisi terkadang meluruhkan kebersamaan yang sesungguhnya, untuk kepentingan yang pragmatis dan sempit. Sesama anak bangsa tampak hanya sekumpulan objek pemilih yang dimobilisasi. Setelahnya, mereka ditempatkan di ruang tribun terjauh sebagai penonton yang cukup menyaksikan aksi kekuasaan dengan segala lakon dan manuvernya.
Pada gilirannya, rakyat yang sejak awal menjadi menjadi penonton, kembali menjadi penonton. Mereka yang sebelumnya ramai berkumpul di arena-arena publik, sambil meneriakkan yel-yel dukungan, kembali ke kehidupan dengan menyisakan kegelisahan. "Mungkinkah harapan mereka terwujud?" Apakah momen perjumpaan massal selama ini hanyalah perjumpaan antarmanusia yang kering dan hampa makna?
Lakon politik tidak pernah lepas dari keramaian. Bukan hanya tentang hilir-mudik orang yang berkecimpung di dalamnya, tapi juga ide dan gagasan yang seringkali mewujud dalam huru-hara wacana. Dalam keramaian, identitas dan jati diri seringkali luput dari perbincangan. Keduanya larut dan lirih dalam tekanan suara yang nyaring dan lantang.
Akibatnya, keramaian tidak lagi mampu memisahkan kesejatian dan kesemuan. Suara rakyat sulit dibedakan dengan suara kelompok dan kepentingan. Ide dan gagasan pun sulit dibedakan dengan sekadar "jualan". Semuanya menjadi sumir dan samar dalam satu gelanggang bising yang mengatasnamakan "rakyat".
Retret memang tidak mampu mengubah dan mengembalikan keramaian menjadi keheningan dalam sekejap mata. Tapi retret memberi insipirasi tentang pentingnya kembali memikirkan identitas dan jati diri. Sebagai pemangku jabatan publik, baik ditunjuk oleh presiden maupun dipilih rakyat, kesemuanya mengemban amanah rakyat.
Meski argumen itu terasa lebih nikmat didengar ketimbang dijalankan, namun melalui momen-momen retret akan tercipta ruang-ruang "kesendirian" dan "keheningan", di mana para pejabat publik memikirkan dirinya, ataupun saling berbincang dengan sesamanya, tentang visi dan langkah sebagai pengemban amanah.
Para pejabat publik memerlukan momentum reflektif untuk sejenak memisahkan diri dari perjumpaan massa dan keramaian para pendukung. Dalam suasana itu, yang terdengar hanyalah suara nurani yang bebas dan lepas dari berbagai kepentingan diri, kelompok dan golongan yang mengitarinya. Nurani itulah yang akan menuntunnya pada kesejatian peran sebagai penyambung lidah rakyat yang tidak keluh saat berhadapan dengan kepentingan apapun selain kepentingan rakyat.
Penyadaran Diri
Tradisi retret sesungguhnya mengingatkan tentang ritualitas puasa yang dijalani sebulan penuh. Puasa, yang berarti "menahan" diri dari perbuatan-perbuatan yang lazim dilakukan, adalah bagian dari lakon keheningan. Betapa tidak, keramaian selalu diisi dengan aktivitas konsumtif, sementara makanan dan minuman adalah produk konsumtif yang paling "mendasar". Tanpa keduanya, biasanya keramaian sulit terlaksana.
Puasa menyajikan realitas simbolik bahwa dengan kemampuan untuk menahan diri dari mengonsumsi ihwal yang paling "mendasar" akan membuat orang yang berpuasa terbiasa dengan mengendalikan banyak hal yang justru tidak lagi "mendasar" untuk dipenuhi. Sebulan penuh, mereka yang berpuasa berada dalam retret, mengendalikan keramaian sebagai dampak dari kebiasaan konsumtif, sambil mengintrospeksi diri tentang seperti apa masa depan setelah puasa akan dilalui.
Berkaca dari perspektif puasa, keharusan mendasar para pejabat publik adalah memenuhi kepentingan rakyat. Mereka harus mampu meletakkan kepentingan itu di atas kebutuhan apapun yang tidak mendasar untuk dipenuhi. Mereka dituntut untuk menahan dan mengendalikan diri dari berbagai godaan konsumtif yang mencederai kepentingan rakyat.
Puasa dan retret adalah madrasah (sekolah) kemanusiaan yang bertujuan memantik kesadaran. Karena itu, keduanya meniscayakan ruang-ruang untuk "menyendiri" dan merefleksi diri tentang hakikat dan keberadaan sebagaimana manusia dan sebagai pengemban amanah. Dengan memahami sepenuhnya tentang peran dan tanggung jawab, maka siapapun yang keluar dari kedua momen itu, akan terlahir sebagai manusia yang menyadari jati dirinya sebagai manusia yang mengemban amanah sebagai manusia sekaligus pemimpin atas sesamanya.
Adlan Nawawi pengajar Program Pascasarjana Universitas PTIQ Jakarta
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu