Rak Piring, Gengsi, dan Kesetaraan dalam Rumah Tangga

1 month ago 33

Jakarta -

Beberapa hari yang lalu istri saya memesan rak piring yang sekaligus berfungsi sebagai tempat atau tatakan kompor gas. Barang yang dipesan ternyata tidak seperti yang ada di gambar; bukan lebih jelek, tetapi justru lebih bagus karena ternyata ada wastafelnya juga. Istri saya mencoba untuk mengkonfirmasi bahwa pesanan sudah sampai tetapi ada sedikit perbedaan antara yang dipesan dengan yang dikirim. Satu-dua hari tidak ada respons sehingga saya menyarankan untuk memanfaatkan saja dan jika memang perlu menambah biaya juga tidak masalah. Saya pikir akan lebih mudah dengan mengambil keputusan seperti itu.

Ternyata saran saya salah --untuk tidak mengatakan keliru besar. Rak piring pun dengan susah payah sudah kami berdua gotong ke lantai atas. Istri pun akhirnya sudah memanfaatkan rak piring yang salah kirim tetapi ternyata lebih bagus itu. Saya pun berujar ke istri dengan bangganya. "Benarkan apa yang saya katakan? Ambil saja barang yang salah kirim itu. Toh kita tidak rugi, malah beruntung karena mendapat barang yang lebih mahal."

Namun, apa yang saya kira berkah ternyata "musibah" bagi saya pribadi. Saya katakan musibah karena tidak lama berselang, tepatnya sehari setelah rak yang salah kirim itu digunakan, ternyata ada kabar rak akan diambil oleh kurir dari si pemilik toko rak piring itu. Saya pun mulai tegang karena beberapa bagian rak itu sudah sedikit saya modifikasi karena memang perlu untuk menaruh selang kompor gas.

Namun untungnya si kurir tidak mempermasalahkan cacat itu karena kondisi barang masih seperti semula. Saya merasa sedikit lega tetapi kelegaan saya masih sementara karena ada soal lain yang lebih rumit. Saya memotong selang kompor gas karena sudah berupaya melepas selang kompor secara normal tidak bisa. Dan, saya berada di posisi tertekan karena sang kurir yang turut membantu mengangkat kiriman rak piring yang sebenarnya juga tidak bisa melepas selang kompor gas.

Saya pun tidak ingin dianggap lemah di hadapan kurir dan juga sang istri. Saya pikir, masak melepas selang kompor saja tidak bisa? Saya pun mengambil langkah pintas dengan memotong selang kompor supaya urusan melepas selang kompor segera usai dan bisa melanjutkan urusan yang lain.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Marah Besar

Keteledoran saya itu pun membuat istri saya marah besar. Ia menggugat kenapa saya tidak bilang saja kalau tidak bisa membuka selang kompor gas. Pada titik ini saya merasa gengsi saya ternyata berbuah petaka. Saya merasa gengsi karena sebagai seorang suami apalagi tengah menempuh program doktor tidak bisa melepas selang kompor. Ya, selang kompor bisa lepas karena saya potong tetapi permasalahan berikutnya muncul: bagaimana saya memasangnya kembali?

Istri menuntut saya bertanggung jawab untuk memasang kembali selang kompor gas seperti semula. Sampai pada titik ini ternyata memasang selang kompor juga tidak semudah yang saya kira. Ada hal yang harus saya penuhi untuk bisa memasang selang kompor. Pertama, saya harus punya alat untuk membuka sekrup yang sialnya tidak bisa dengan drei plus, tetapi harus drei minus yang kebetulan saya tidak miliki. Saya pun harus pergi ke rumah saudara untuk meminjam drei minus.

Sudah dapat drei minus pun ternyata tidak segera menyelesaikan masalah karena sekrup yang saya pasang ternyata kebalik sehingga semakin saya putar drei untuk mengencangkan sekrup malah sebaliknya menjadi kendor. Saya pun frustrasi, marah, dan kesal. Gengsi saya semakin memperparah perasaan itu.

Betapa mempertahankan gengsi itu ternyata membawa derita psikologis. Akhirnya saya pun mengalah saja dan sedikit menurunkan gengsi bahwa sebagai seorang suami yang kebetulan seorang "intelektual" ternyata di hadapan istri saya tidak berdaya, dan soal-soal yang saya anggap remeh temeh itu ternyata lebih sulit. Saya mungkin bisa mengatakan lebih rumit dari menulis chapter untuk disertasi.

Harus Mengakui

Kepada soal-soal yang kelihatan remeh-temeh saya harus lebih waspada. Karena semakin kita remehkan justru bisa menjadi hal yang paling sulit. Kepada istri, saya pun harus mengakui bahwa pekerjaan istri mengurus rumah tangga itu tidak semudah yang saya bayangkan. Oleh sebab itu dengan penuh kesadaran saya meminta maaf apabila sering menganggap pekerjaan istri itu tidak lebih sulit dari pekerjaan suami.

Berbicara mengenai nilai atau semangat kesetaraan, egaliter, dan penghargaan terhadap identitas serta peran setiap orang, saya jadi teringat dengan cerita seorang teman baik yang saat ini tengah menempuh studi S3 di Belanda. Saya yang saat ini berada di Australia (juga untuk studi) sering berkorespondensi melalui pesan singkat. Ia berkabar bahwa di Belanda ada pepatah yang mengatakan bahwa "kita tidak sama tapi setara dalam nilai". Pada intinya ungkapan tersebut memberikan bobot nilai kesetaraan dengan tidak memandang suku, ras, keturunan, latar belakang agama, dan lain sebagainya.

Saya pun jadi teringat obrolan dengan seorang kawan dari Bangladesh yang membicarakan tentang ekosistem kerja di Barat. Mereka tidak lagi memandang jabatan atau identitas yang melekat. Dalam ekosistem kerja semua memiliki peranan yang sama pentingnya. Tugas atasan tidak akan berjalan tanpa adanya bawahan yang turut membantu dan sebaliknya. Mereka saling bersinergi, bersatu padu mencapai visi bersama. Dengan begitu tidak ada lagi perasaan inferior dengan peran pekerjaan yang kita lakukan. Seorang office boy bekerja dengan penuh penghargaan karena tidak lagi dipandang sebelah mata oleh bosnya.

Iklim kerja semacam itu seakan sulit ditemui di negara yang memegang teguh budaya patronase. Ada jurang pemisah antara majikan dan kawulanya. Pepatah Belanda "kita tidak sama tapi setara dalam nilai" masih jauh panggang dari api. Apakah ini dampak dari penjajahan yang rakyat Indonesia alami sehingga berbuah ketidaksetaraan dalam nilai yang begitu mengakar? Oleh sebab itu seperti dalam cerita yang saya sampaikan bahwa saya pun masih merasa lebih tinggi secara nilai daripada istri saya. Padahal, seharusnya saya melihat peran seorang istri sama pentingnya dengan peran saya sebagai pencari nafkah.

Waliyadin dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial