Jakarta -
Berdasarkan Laporan World Food Programme (WFP) 2024, setidaknya 23 juta orang di Indonesia tidak mampu memenuhi asupan gizi seimbang setiap harinya. Pertanyaannya, mampukah program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang telah dijanjikan dalam Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC)/Quick Wins Pemerintahan Prabowo-Gibran menjadi solusi yang efektif dan berkelanjutan untuk mengatasi krisis gizi tersebut?
Menurut Prof. Yodi Mahendradhata, Guru Besar Kebijakan dan Manajemen Kesehatan di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, program MBG hanyalah jawaban populis atas masalah stunting yang lebih kompleks. Manfaat dan urgensi program ini pun layak dipertanyakan. Di lain sisi, Prof. Tjandra Yoga Aditama dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia memandang program MBG sebagai a multisectoral game changer yang tidak hanya untuk meningkatkan gizi anak dan mendukung kesehatan anak, tetapi juga menciptakan rantai pasokan pangan yang lebih stabil dan berkelanjutan, menciptakan lapangan kerja, hingga mengurangi beban ekonomi rumah tangga.
Terlepas dari segala perdebatan yang ada, pemerintah tetap terlihat optimis menjalankan program MBG. Pada 6 Januari 2025, program ini secara resmi diluncurkan di 31 provinsi. Melalui 238 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di bawah naungan Badan Gizi Nasional (BGN) secara langsung, program MBG diklaim telah menjangkau 650 ribu penerima manfaat, mencakup siswa, santri, ibu hamil, ibu menyusui, dan balita.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelum resmi dilaksanakan, pada 16 Desember 2024, penulis berkesempatan untuk berdiskusi dengan beberapa kepala sekolah di wilayah Jabodetabek yang menjadi sasaran uji coba program MBG. Mayoritas melaporkan adanya manfaat nyata dari MBG, meskipun di awal pelaksanaannya terdapat tantangan dalam distribusi dan operasional. Paranggi Rismoko, Kepala Sekolah Dasar Negeri Pulogebang 06 di Jakarta Timur, merupakan salah satu yang menilai MBG berhasil membantu menyediakan makanan sehat bagi siswa dari keluarga kurang mampu. Namun, ketidaksesuaian jadwal distribusi makanan dengan waktu belajar mengakibatkan kondisi makanan tidak prima saat diterima siswa.
Permasalahan ini berakar pada ketiadaan regulasi yang secara khusus mengatur pelaksanaan MBG. Saat ini, Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2024 tentang BGN hanya mengatur kerangka kelembagaan tanpa menetapkan peraturan terkait pelaksanaan MBG itu sendiri. Kejelasan regulasi sangat penting untuk menjamin kepastian, keadilan, dan kemanfaatan program pemerintah. Ketiadaan regulasi ini memperparah 3 (tiga) persoalan utama: (i) koordinasi dan kewenangan kementerian atau lembaga (K/L) terkait, (ii) standardisasi tata kelola distribusi dan pengadaan, serta (iii) pengelolaan sumber daya manusia (SDM) yang terkualifikasi.
Kurangnya Koordinasi dan Kewenangan Institusional
Kekosongan hukum pada program MBG yang bersifat lintas K/L dapat menimbulkan ketidaktegasan dalam distribution of power and authority. Hal ini mengingat implementasi program MBG mencakup berbagai aspek, meliputi pendanaan, logistik, kebutuhan gizi/kesehatan, lingkungan pendidikan, pengawasan, hingga evaluasi program. Pada akhirnya, kebijakan yang dikeluarkan K/L dapat saling bertabrakan atau tidak tepat sasaran dan lambat dalam pengambilan keputusan.
Sebagai contoh, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah bertanggung jawab atas pemilihan sekolah dan kesiapan institusional dalam MBG. Namun, tanpa koordinasi yang jelas dengan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang mengelola integrasi anggaran, terdapat potensi ketidaksesuaian antara kebutuhan sekolah dengan alokasi dana yang tersedia. Akibatnya, sekolah yang seharusnya diprioritaskan tidak mendapatkan dukungan optimal, sementara sekolah lain yang kurang membutuhkan justru menerima alokasi yang lebih dari apa yang seharusnya.
Standardisasi Tata Kelola dan Pengadaan
Keberadaan regulasi dalam aspek tata kelola distribusi serta pengadaan barang dan jasa pada program MBG juga sangat krusial. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menegaskan prinsip good governance yang mengharuskan setiap penyelenggaraan pemerintahan harus berbasis pada standar yang jelas dan terukur.
Tanpa regulasi yang tegas, distribusi serta pengadaan barang dan jasa dalam program MBG berisiko mengalami berbagai masalah inefisiensi hingga potensi penyimpangan. Meskipun terdapat Pedoman Umum Sistem dan Tata Kelola Program MBG yang disusun oleh BGN, tidak ada konsekuensi hukum yang tegas bagi mitra jika dalam praktiknya ditemukan makanan yang tidak memenuhi standar gizi atau berisiko menimbulkan masalah kesehatan akibat kontaminasi atau bahan yang tidak layak konsumsi.
Tidak hanya itu, tidak diaturnya mekanisme tender mitra yang transparan dan objektif juga dapat meningkatkan potensi praktik monopoli atau oligopoli jika pengadaan makanan terpusat pada beberapa penyedia besar sebagaimana hal ini telah dilarang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Kondisi tersebut akan mengarah pada harga yang tidak kompetitif dan kualitas yang tidak optimal hingga membuka ruang bagi praktik korupsi dan kolusi. Pada akhirnya, anggaran yang telah dialokasikan menjadi tidak efisien akibat rawan penyalahgunaan wewenang seperti praktik penggelembungan harga hingga penurunan kualitas.
Kapasitas SDM Terkualifikasi
Badan Gizi Nasional juga menghadapi tantangan dalam kapasitas SDM akibat ketidaksiapan birokrasi. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah mewajibkan setiap pengguna anggaran negara untuk menerapkan sistem pengendalian internal, termasuk audit, review, evaluasi, serta pemantauan oleh Aparat Pengawas Intern Pemerintah. Namun, sebagai lembaga yang baru dibentuk pada 15 Agustus 2024, BGN tentu belum memiliki SDM yang memadai untuk menjalankan tugas-tugas ini.
Di tengah keterbatasan, BGN justru dipercaya mengelola anggaran MBG sebesar Rp71 triliun, yang berpotensi meningkat hingga ratusan triliun rupiah pada tahun anggaran selanjutnya. Dengan jumlah SDM yang secara ideal belum memadai, pengelolaan anggaran sebesar itu tampaknya akan sulit untuk terhindar dari risiko inefisiensi dan kegagalan pencapaian target program MBG. Oleh karena itu, kebutuhan akan percepatan rekrutmen SDM harus dikawal dengan regulasi yang menjamin proses seleksi berbasis meritokrasi guna mencegah potensi malpraktik.
Urgensi Reformasi Regulasi
Untuk mengatasi tiga persoalan di atas, setidaknya dibutuhkan regulasi setingkat peraturan presiden untuk mengisi kekosongan hukum yang ada. Tanpanya, SPPG selaku unit pelaksana MBG dapat menghadapi hambatan besar dalam implementasi, dan risiko korupsi dalam eksekusi program sudah barang tentu menjadi kian tinggi. Jika dibiarkan, kondisi demikian akan memperbesar ketidakpercayaan publik terhadap komitmen pemerintah dalam penyediaan layanan dasar, terutama untuk program unggulan yang telah mendapat atensi publik yang cukup tinggi.
Program MBG sejatinya bukanlah hal baru. Jepang dan India telah lebih dulu membuktikan efektivitas program serupa dengan dukungan kerangka hukum yang kuat. Jepang memiliki School Lunch Act 1954 yang mengatur standar gizi secara ketat, sementara India menerapkan National Food Security Act 2013 yang mencakup mekanisme pengaduan bagi penerima manfaat. Tak heran, program mereka telah menciptakan legacy konkret yang dirasakan lintas generasi.
Indonesia, yang kini mulai menerapkan program MBG, perlu mempertimbangkan aspek regulasi ini dengan bijak. Jika ingin mencapai keberhasilan serupa, regulasi yang kuat dan berkelanjutan harus menjadi prioritas, agar program ini benar-benar menjadi solusi jangka panjang bagi masalah krisis gizi di Indonesia.
Nino Nafan Hudzaifi Tenaga Profesional Bidang Hukum, Kantor Staf Presiden Republik Indonesia
(azh/azh)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu