PR Presidential Threshold Belum Usai

6 hours ago 5

Jakarta -

Isu presidential threshold (PT) atau ambang batas pencalonan presiden di Indonesia tidak pernah berhenti menjadi sorotan publik, terlebih wacana penyusunan Rancangan Paket Undang-Undang Politik tengah digalakkan. Melalui Putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang diputus Januari lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) mendudukkan PT di Indonesia ke dalam babak baru, setelah sejarah panjang perjalanan pengujiannya (judicial review) di lembaga tersebut.

PT pertama kali diterapkan dalam Pemilu 2004, bertepatan dengan pemilihan presiden langsung pertama di Indonesia. PT dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003, yang menetapkan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh minimal 15 persen kursi DPR atau 20 persen suara sah nasional dalam Pemilu Legislatif sebelumnya. Ketentuan ini pertama kali diterapkan dalam Pemilu 2004 dan terus berlanjut dengan beberapa perubahan.

Pada Pemilu 2009, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 mengubah PT menjadi 25 persen kursi DPR atau 20 persen suara sah nasional, menghasilkan tiga pasangan calon, dengan SBY-Budiono keluar sebagai pemenang. Pada Pemilu 2014, ketentuan PT tetap mengacu pada UU yang sama, dengan hanya dua pasangan calon yang bersaing, yaitu Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta. Jokowi-JK akhirnya memenangkan Pilpres dengan perolehan suara 53,15 persen.

Pada Pemilu 2019, PT kembali mengalami perubahan melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, yang menetapkan pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan yang memperoleh 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional dalam Pemilu Legislatif sebelumnya. Perubahan ini berlaku untuk Pilpres 2019 dan juga Pilpres 2024, dengan perhitungan ambang batas yang mengacu pada hasil Pemilu Legislatif yang dilaksanakan pada periode pemilihan sebelumnya.

Secara keseluruhan, ketentuan PT yang telah mengalami perubahan dari waktu ke waktu tersebut digaung-gaungkan memiliki tujuan yakni untuk menciptakan stabilitas politik, yang pada akhirnya sering menuai kontroversi mengenai dampaknya terhadap partai dengan kursi minoritas dan partai baru peserta Pemilu, hingga kesehatan demokrasi bangsa ini.

Kerumitan Lama dan Titik Balik

Kenyataannya, sebelum Putusan MK Nomor 62/PUU-XXII/2024, PT telah eksis selama lima kali penyelenggaraan pilpres. Ketentuan PT itu dikokohkan oleh peraturan perundang-undangan yang telah diuji dan diputus MK sebanyak 33 kali dengan pemaknaan bahwa PT merupakan bagian dari kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk undang-undang. Dari seluruh dalil-dalil permohonan terdahulu, MK dituntut untuk terlepas dari istilah yang disebut judicial restrains dan menuju judicial activism sebagaimana putusan-putusan lain yang menuai pujian publik.

Kini, MK telah menghapuskan ambang batas atau angka-angka persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Mengapa PT diperjuangkan mati-matian untuk dihilangkan dari kontestasi pilpres? Dalam praktiknya, kebijakan PT ini sering mengarah pada pembentukan koalisi besar yang bersifat pragmatis daripada ideologis dan mengabaikan kebutuhan nyata dari masyarakat terkait pemilihan pemimpin nomor wahid di Indonesia.

Sejumlah masalah dan buntut dari penerapan PT, antara lain; pertama, pembatasan partisipasi. Kandidat capres dan cawapres yang berasal dari partai peserta pemilu yang terabaikan dari koalisi kesulitan untuk maju dalam kandidasi capres dan cawapres, meskipun mereka mungkin saja memiliki visi, program, kapasitas, dan kapabilitas yang baik. Kedua, dominasi partai atau koalisi gemuk. PT memperkuat dominasi partai-partai khususnya partai yang memiliki dukungan suara dan kursi di DPR yang cukup untuk mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden tanpa harus membentuk banyak koalisi dengan partai lain.

Ketiga, fragmentasi politik. Meskipun dimaksudkan untuk menghindari fragmentasi politik, PT justru menciptakan konsolidasi kekuatan dalam beberapa partai besar, yang terkadang berujung pada koalisi yang tidak stabil atau berbasis pada kepentingan pragmatis. Dengan adanya Putusan MK Nomor 62/PUU-XXII/2024, yang menghapuskan ketentuan tersebut, maka kebijakan ini secara langsung mengubah peta politik Indonesia, memberikan ruang lebih besar bagi calon presiden dan wakil presiden dari partai manapun atau putra-putri terbaik bangsa untuk diusung partai peserta pemilu tanpa bergantung pada koalisi yang besar.

Putusan itu juga membawa pemaknaan lama yakni "syarat dukungan minimal yang didasarkan pada jumlah kursi atau hasil suara pemilihan legislatif nasional" menjadi "syarat minimal keterpilihan presiden dan wakil presiden" sebagaimana amanat Pasal 6A UUD NRI 1945.

"Rekayasa" Konstitusional

Tidak hanya menganulir norma PT, Putusan MK Nomor 62/PUU-XXII/2024 juga memuat mandat konstitusional dalam pertimbangannya (fundamentum petendi). Pembentuk undang-undang 'diperintahkan' untuk merekayasa secara konstitusional penormaan PT yang sesuai dengan putusan a quo, yaitu: Hak semua partai politik; semua partai politik peserta pemilu berhak untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, tanpa bergantung pada ambang batas persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.

Lalu, pengusulan pasangan calon. Pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden dapat dilakukan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu, dengan syarat gabungan tersebut tidak menyebabkan dominasi tertentu yang mengurangi variasi pasangan calon dan pilihan pemilih.

Selanjutnya, sanksi untuk partai yang tidak mengusulkan; partai politik peserta pemilu yang tidak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden akan dikenakan sanksi berupa larangan mengikuti pemilu pada periode berikutnya. Terakhir, rekayasa konstitusional yang dimaksud MK itu termasuk perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, harus melibatkan partisipasi dari semua pihak yang berkepentingan, termasuk partai politik yang tidak memperoleh kursi di DPR, dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).

Dari rekayasa yang disusun MK, terlihat bahwa mandat konstitusional tersebut masih membuka ruang kepada pembentuk undang-undang untuk menindaklanjutinya. Syarat tidak menyebabkan dominasi apabila partai politik bergabung membentuk koalisi untuk mengusulkan calon presiden dan wakil presiden masih membuka celah penafsiran dan manuver bagi pembentuk undang-undang walaupun MK telah menegaskan hak setiap partai politik peserta pemilu untuk mengusulkan calon presiden dan wakil presiden.

Ruang penafsiran lebih lanjut terhadap makna "dominasi gabungan partai politik" ini dapat digambarkan menjadi dua kutub besar yakni dimaknai. Pertama, secara kuantitas/jumlah dengan wujud diaturnya batasan maksimal jumlah partai politik untuk berkoalisi mengusulkan calon pasangan presiden dan wakil presiden agar tidak memenuhi unsur dominasi.

Kedua, dimaknai secara kualitatif dengan merujuk kepada kualitas prosedur pengusulan calonnya yang harus memberikan ruang terbuka kepada rakyat. Apabila hanya dimaknai secara kuantitas, celah manuver politik masih mungkin dilakukan seperti munculnya 'koalisi boneka' untuk memenuhi ketentuan kuantitas/jumlah gabungan partai politik tersebut. Untuk itu pemaknaan dominasi gabungan partai politik perlu juga mengakomodir segi kualitas pengusulan calon. Sehingga, diperlukan gagasan lebih lanjut untuk menindaklanjuti mandat konstitusional ini.


Gagasan Konvensi Partai

Salah satu gagasan yang dapat dipertimbangkan untuk menjaga kualitas pengusulan calon adalah konvensi partai politik. Konsep konvensi partai politik atau pemilihan pendahuluan (primary election) pada dasarnya sudah menjadi mekanisme yang umum digunakan di negara-negara seperti Amerika Serikat, Chile, Perancis, Kolombia, Italia, dan negara-negara lain dengan berbagai varian sistemnya. Tetapi, dalam sistem ketatanegaraan formal di Indonesia, sistem ini tidaklah dikenal. Meski begitu, secara internal, partai-partai di Indonesia pernah menyelenggarakan ide tersebut.

Sebagai contoh, Partai Golkar mengadakan konvensi pada masa kepemimpinan Akbar Tanjung antara 1998 hingga 2004. Dalam konvensi tersebut, terdapat 19 calon presiden yang ikut berpartisipasi, dan akhirnya Wiranto terpilih sebagai pemenang. Namun, meskipun Wiranto didukung oleh Partai Golkar dengan memilih Salahuddin Wahid sebagai pasangan, mereka gagal meraih kemenangan dalam Pemilu Presiden 2004.

Selain itu, Partai Demokrat juga menggelar konvensi menjelang Pemilu Presiden 2014, yang menghasilkan Dahlan Iskan sebagai pemenang dalam kontestasi tersebut. Sayangnya, Dahlan Iskan tidak dapat diusung sebagai calon presiden karena Partai Demokrat tidak berhasil meraih cukup suara untuk mencalonkan pasangan sendiri.

Konvensi yang demikian, dalam beberapa waktu terakhir disebut-sebut lagi oleh Partai Golkar, hanya saja dalam konteks pilkada. Menarik jika mekanisme ini diterapkan di Indonesia untuk menjaring calon-calon presiden dan wakil presiden dan diformalkan dalam regulasi kepemiluan ke depan. Dengan adanya konvensi partai politik yang terbuka, yang tidak hanya melibatkan kalangan internal partai tetapi juga membuka kesempatan bagi pribadi/tokoh dari luar partai, hal ini dapat mengubah pandangan masyarakat terhadap partai politik yang sering dianggap oligarkis dalam proses penjaringan calon pemimpin, yang jangka panjangnya bisa meningkatkan party ID atau kesukaan pemilih terhadap partai politik yang dipilihnya dalam pemilu.

Kompetisi yang terbuka memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengevaluasi calon presiden, baik yang berasal dari partai politik maupun yang non-partai, berdasarkan berbagai kriteria seperti rekam jejak, integritas, kredibilitas, serta pemahaman mereka terhadap isu-isu nasional. Dengan demikian, konvensi ini akan membantu menciptakan proses seleksi calon presiden dan wakil presiden yang lebih jelas dan inklusif.

Selain itu, penerapan konvensi terbuka oleh partai politik atau gabungan partai politik dalam pemilihan presiden dan wakil presiden dapat memperluas partisipasi masyarakat dalam menentukan siapa yang layak menjadi pemimpin bangsa. Proses ini memberi ruang bagi pemilih untuk membuat keputusan yang lebih rasional sebelum kampanye dimulai dan hari pemungutan suara tiba, sehingga mengurangi kemungkinan pemilih terpengaruh oleh manipulasi opini yang dapat merusak kualitas demokrasi.

Dengan melibatkan publik dalam proses seleksi calon presiden dan wakil presiden, konvensi partai politik berfungsi sebagai sarana pendidikan politik yang dapat mencerdaskan masyarakat, serta meningkatkan kualitas dan kedalaman pemilu di Indonesia. Oleh karena itu, konvensi partai politik dapat menjadi solusi untuk menindaklanjuti mandat konstitusional MK, memastikan proses pencalonan presiden dan wakil presiden yang lebih berkualitas dan partisipatif, serta memperkuat demokrasi di Indonesia.


Optimisme

Putusan MK No. 62/PUU-XXII/2024 yang menghapuskan PT itu memberikan dampak yang signifikan terhadap lanskap politik Indonesia. Keputusan ini dapat dianggap sebagai langkah positif dalam meningkatkan kualitas demokrasi Indonesia dengan memberikan lebih banyak ruang kandidasi dan kompetisi yang lebih inklusif.

Namun, di sisi lain, penghapusan PT juga bisa saja membuka potensi terjadinya fragmentasi politik yang lebih besar, yang dapat mengancam stabilitas politik dan memperburuk polarisasi, serta risiko ketidakstabilan politik jangka panjang. Terlebih lagi, ketika rekayasa yang diberikan oleh MK itu justru dipedomani berbeda oleh pembentuk undang-undang.

Meski begitu, tidaklah ada sistem tata negara yang sempurna, yang ada hanyalah desain sistem yang ditujukan untuk membatasi elemen-elemen suatu negara yang harus dijalankan sesuai dengan 'aturan main'-nya yang ditujukan untuk mencapai cita-cita luhur bangsa.

Retno Widiastuti peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi dan dosen HTN Fakultas Hukum UII

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial