Jakarta -
Presiden Prabowo Subianto melontarkan gagasan kontroversial tentang kemungkinan pengampunan bagi koruptor yang bersedia mengembalikan hasil kejahatannya kepada negara. Ide ini bak petir di siang bolong, membelah opini publik menjadi dua kubu: mereka yang melihatnya sebagai langkah pragmatis demi pemulihan ekonomi dan mereka yang mencium aroma ketidakadilan struktural yang lebih dalam. Namun, pertanyaan mendasar yang harus kita ajukan: apakah ini langkah maju atau justru kemunduran besar dalam perang melawan korupsi?
Ketidakadilan struktural adalah hantu yang membayangi sistem hukum di banyak negara, termasuk Indonesia. Teori ini menyoroti bagaimana hukum sering kali lebih tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Para koruptor kelas kakap, yang menikmati kekayaan berlimpah, kerap kali mendapat perlakuan yang lebih lunak dibandingkan mereka yang mencuri demi bertahan hidup. Jika gagasan pengampunan ini diterapkan, apakah kita tidak sedang meresmikan ketidakadilan tersebut?
Sejarah berbicara dengan lantang. Pada 2003, kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) menjadi momok dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Triliunan rupiah raib, dan hingga kini banyak pelaku yang berhasil lolos dari jerat hukum atau hanya menerima hukuman ringan. Alih-alih mengembalikan kepercayaan publik, kasus ini justru menanamkan keyakinan bahwa hukum bisa diperjualbelikan. Gagasan pengampunan yang diusulkan Presiden Prabowo bisa memperpanjang narasi ini, seolah-olah keadilan hanya tersedia bagi mereka yang mampu membayar kembali kerugian negara.
Di tingkat global, kebijakan serupa pernah diterapkan di Italia melalui program "Scudo Fiscale" pada 2001, yang memungkinkan pengampunan pajak bagi mereka yang menyembunyikan aset di luar negeri. Hasilnya? Hanya sebagian kecil aset yang terungkap, sementara ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah meningkat tajam. Spanyol juga mencoba kebijakan serupa pada tahun 2012 dengan hasil yang mengecewakan—menghadirkan insentif bagi pengemplang pajak, sementara warga biasa tetap dibebani aturan ketat.
Masalahnya tidak berhenti di situ. Pengampunan koruptor juga dapat menghambat efek jera yang seharusnya melekat pada hukum pidana. Bayangkan seorang pejabat yang menilap dana pembangunan sekolah dan kemudian hanya perlu mengembalikan uang tersebut untuk mendapatkan pengampunan. Di mana letak moralitas hukum yang ingin kita tegakkan? Ini bukan sekadar soal angka-angka di neraca keuangan negara, melainkan soal menghancurkan rasa keadilan yang menjadi fondasi kepercayaan masyarakat.
Lebih jauh lagi, gagasan ini menimbulkan dilema serius tentang penegakan hukum. Jika pengampunan diberikan, apa insentif bagi aparat penegak hukum untuk bekerja lebih keras dalam mengungkap jaringan korupsi? Bagaimana kita memastikan bahwa pengampunan ini tidak dimanfaatkan oleh para pelaku untuk mencuci uang hasil kejahatan mereka?
Sebaliknya, negara-negara seperti Korea Selatan menunjukkan bahwa hukuman keras terhadap koruptor dapat menjadi pilar reformasi yang efektif. Mantan Presiden Park Geun-hye, misalnya, dijatuhi hukuman 22 tahun termasuk denda sebesar 18 miliar won (US$15 juta) karena skandal korupsi. Hukuman ini bukan hanya menjadi pelajaran bagi para pejabat, tetapi juga mengembalikan kepercayaan rakyat pada sistem hukum.
Saat ini, Indonesia berada di persimpangan jalan. Gagasan pengampunan koruptor mungkin terdengar menarik bagi sebagian kalangan yang mendambakan pemulihan keuangan negara yang cepat. Namun, kita tidak boleh lupa bahwa harga yang harus dibayar adalah legitimasi hukum dan rasa keadilan masyarakat. Jika kita membiarkan ini terjadi, jangan terkejut jika hukum akhirnya hanya menjadi alat bagi mereka yang berkuasa, sementara rakyat kecil terus terpinggirkan.
Sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat, kita perlu bertanya: apakah kita ingin dikenal sebagai negara yang melindungi koruptor atau negara yang menegakkan keadilan tanpa pandang bulu? Keputusan ini bukan hanya soal strategi ekonomi, melainkan soal arah moral bangsa yang akan kita wariskan kepada generasi mendatang.
Arfan Taufik, S.Sos kriminolog, analis permasalahan hukum
(mmu/mmu)