Pariwisata dan Tantangan Pseudotourism

8 hours ago 4

Jakarta -

Jumlah kunjungan wisatawan selama masa libur Lebaran 2025 tampaknya mencerminkan peningkatan aktivitas di berbagai daerah. Mobilitas wisatawan yang cukup tinggi di sejumlah destinasi memberi kesan bahwa dinamika pariwisata nasional mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Namun, sejumlah laporan media nasional dalam beberapa pekan terakhir justru memperlihatkan gejala yang kontradiktif. Tingkat hunian hotel dan penginapan, terutama di kawasan wisata utama, masih tergolong rendah dan belum menunjukkan tren peningkatan yang konsisten.

Potret tersebut membawa pada indikasi lanjutan bahwa peningkatan kunjungan wisatawan tidak serta-merta berdampak pada penguatan ekonomi lokal secara langsung. Pergerakan wisatawan yang tinggi belum tentu disertai peningkatan konsumsi atas layanan formal sektor pariwisata seperti akomodasi, transportasi wisata, maupun jasa pemandu.

Kondisi ini memvalidasi gejala dalam literatur pariwisata kontemporer yang kerap disebut pseudotourism. Aktivitas pariwisata berlangsung secara fisik, namun minim kontribusi terhadap ekonomi lokal, bahkan semu. Gejala ini patut menjadi perhatian, terutama ketika pengembangan pariwisata dijadikan sebagai salah satu strategi utama dalam mendorong pertumbuhan wilayah dan mengurangi ketimpangan antardaerah.

Pseudotourism

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Istilah pseudotourism merupakan adaptasi gagasan Tourist Gaze dari John Urry (1990) dan Staged Authenticity dari Dean MacCannell (1976) tentang komodifikasi ruang. Destinasi wisata ditempatkan sebagai panggung visual yang dikonstruksi untuk memenuhi ekspektasi wisatawan, tanpa menciptakan hubungan yang bermakna ataupun minim distribusi manfaat.

Geliat pariwisata tampak semarak di permukaan, angka kunjungan tinggi dan destinasi ramai, namun tidak sejalan dengan peningkatan pendapatan lokal. Dalam banyak kasus, kehadiran wisatawan dalam jumlah besar tidak diiringi dengan durasi tinggal yang memadai, tingkat okupansi akomodasi yang stabil, maupun pertumbuhan pendapatan pelaku usaha setempat. Kontribusi ekonomi yang semestinya mengalir ke pemerintah atau komunitas lokal justru menyisakan angka statistik tanpa jejak nyata.

Selama libur Lebaran 2025, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) mencatat bahwa jumlah wisatawan nusantara mencapai lebih dari 123 juta pergerakan, sebuah angka yang melonjak tajam dibandingkan tahun sebelumnya. Meskipun terdapat lonjakan signifikan dalam jumlah wisatawan, kenyataan yang dihadapi di lapangan menunjukkan stagnasi dalam okupansi hotel berbintang di sejumlah destinasi unggulan, seperti Yogyakarta, Bali, dan Labuan Bajo.

Berdasarkan data dari Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), rata-rata tingkat okupansi hanya berkisar antara 40 persen hingga 55 persen, jauh di bawah harapan yang diinginkan oleh industri perhotelan. Bahkan, penginapan lokal dan homestay mengalami penurunan pendapatan, lantaran wisatawan lebih memilih melakukan perjalanan pulang-pergi (one-day trip) atau menginap di akomodasi informal, seperti rumah kerabat.

Fenomena serupa tercatat pada dua tahun sebelumnya. Pada libur Lebaran 2023 dan 2024, jumlah pergerakan wisatawan domestik masing-masing tercatat mencapai sekitar 85 juta dan 98 juta perjalanan. Meski jumlah wisatawan yang berkunjung meningkat, kontribusi sektor akomodasi terhadap PDB tetap stagnan di kisaran 2,5 persen hingga 2,7 persen. Sebuah survei yang dilakukan oleh Bank Indonesia mengungkapkan bahwa pelaku UMKM dalam sektor pariwisata mengeluhkan meskipun kunjungan wisatawan meningkat, pendapatan harian mereka hanya mengalami peningkatan sementara dan tidak berkelanjutan.

Fenomena ini menunjukkan bahwa wisatawan cenderung memilih destinasi populer untuk kegiatan singkat, tanpa adanya integrasi yang mendalam dengan ekonomi lokal, sehingga menciptakan kesenjangan dalam distribusi manfaat ekonomi.

Manfaat Ekonomi Pariwisata

Jika dilihat lebih mendalam melalui lensa ekonomi, fenomena pseudotourism menunjukkan ketimpangan dalam distribusi manfaat ekonomi. Wisatawan yang datang tidak banyak berlama-lama, sehingga mengurangi potensi pendapatan yang dapat diterima oleh pelaku usaha lokal, baik dalam sektor akomodasi maupun usaha pendukung lainnya seperti kuliner, transportasi, dan kerajinan.

Ketergantungan pada model pariwisata massal yang berfokus pada jumlah kunjungan juga berisiko memperlebar kesenjangan tersebut, karena manfaat ekonomi cenderung terkonsentrasi di wilayah atau unit usaha yang lebih mapan, sementara sebagian pelaku ekonomi lainnya belum sepenuhnya terlibat atau terhubung dalam rantai nilai pariwisata. Fenomena ini, sebagaimana dicatat oleh Gossling (2020), menciptakan suatu bentuk ekonomi pariwisata semu, di mana peningkatan jumlah kunjungan belum tentu menghasilkan dampak ekonomi yang signifikan dan merata.

Dalam banyak kasus, keramaian destinasi wisata tidak selalu diikuti oleh peningkatan pendapatan bagi masyarakat sekitar, khususnya bagi pelaku ekonomi yang berskala kecil dan menengah. Ketidakseimbangan ini mengindikasikan belum optimalnya integrasi antara aktivitas wisata dan struktur ekonomi lokal. Penelitian oleh Fang et al. (2021) juga menegaskan pentingnya integrasi antara sektor pariwisata dan ekonomi lokal sebagai syarat utama untuk menciptakan distribusi manfaat yang inklusif dan berkelanjutan.

Di sisi lain, kecenderungan wisatawan untuk melakukan kunjungan singkat atau one-day trip juga berdampak terhadap rendahnya lama tinggal dan tingkat konsumsi selama berwisata. Studi Murillo et al. (2013) menunjukkan bahwa wisatawan harian memberikan kontribusi ekonomi yang jauh lebih rendah dibandingkan mereka yang menginap, karena pola konsumsi mereka cenderung terbatas pada jasa transportasi dan konsumsi ringan. Hal ini bukan hanya mengurangi potensi manfaat ekonomi yang lebih luas, tetapi juga berpengaruh terhadap kualitas pengalaman wisatawan itu sendiri.

Ketika interaksi antara wisatawan dan masyarakat lokal bersifat terbatas, maka nilai-nilai budaya, sosial, dan edukatif dari aktivitas wisata pun tidak berkembang secara maksimal. Dalam konteks ini, pendekatan pariwisata yang berbasis komunitas dan pengalaman yang autentik menjadi semakin relevan untuk dikedepankan dalam strategi pembangunan pariwisata berkelanjutan.

Di sisi lain, fenomena pseudotourism ini juga menunjukkan kegagalan dalam menciptakan pengalaman wisatawan yang mendalam. Banyak destinasi yang terfokus pada pembangunan infrastruktur fisik, seperti penginapan atau aksesibilitas transportasi, namun kurang memperhatikan pengembangan produk lokal yang berbasis pada budaya dan alam. Padahal, salah satu elemen penting dari pariwisata yang berkelanjutan adalah kemampuan untuk menawarkan pengalaman yang lebih bermakna bagi wisatawan, yang tidak hanya sekadar mengunjungi tempat wisata, tetapi juga berinteraksi langsung dengan budaya lokal, keanekaragaman alam, dan kehidupan masyarakat setempat.

Pengalaman wisata yang mendalam dan berbasis keberlanjutan berpotensi untuk menciptakan daya tarik yang lebih kuat bagi wisatawan, sekaligus memberikan dampak ekonomi yang lebih merata bagi masyarakat lokal.

Pengembangan Pariwisata Indonesia

Arah pengembangan pariwisata nasional Indonesia selama ini menunjukkan kecenderungan kuat pada strategi branding destinasi unggulan dan pencapaian target kunjungan wisatawan. Program-program seperti 10 Bali Baru maupun Desa Wisata Mandiri merupakan wujud dari upaya diversifikasi destinasi yang layak diapresiasi sebagai bagian dari strategi makro. Namun demikian, pendekatan yang terlalu menekankan promosi dan pembangunan infrastruktur fisik, tanpa diiringi penguatan kapasitas ekonomi dan sosial masyarakat lokal, kerap menghasilkan dampak yang belum sepenuhnya optimal.

Dalam praktiknya, sejumlah destinasi wisata justru berkembang sebagai "tempat singgah" alih-alih sebagai ruang interaksi ekonomi yang hidup dan berkelanjutan. Ketidakterhubungan antara kunjungan wisatawan dengan rantai nilai lokal menyebabkan rendahnya kontribusi langsung terhadap perekonomian masyarakat sekitar. Seperti dikemukakan oleh Novelli (2015), keberhasilan pembangunan destinasi wisata tidak hanya bergantung pada angka kunjungan atau pembangunan fisik semata, tetapi juga pada sejauh mana manfaat ekonomi dapat didistribusikan secara merata dan memperkuat struktur ekonomi lokal.

Fenomena ini mempertegas ketimpangan sosial-ekonomi dalam pengembangan pariwisata. Banyak wisatawan hanya berinteraksi secara minimal dengan ekonomi lokal—sekadar berkunjung ke objek wisata tanpa bermalam di akomodasi lokal atau mengonsumsi produk dan layanan masyarakat setempat. Akibatnya, manfaat ekonomi cenderung tersentralisasi di lokasi-lokasi yang telah mapan, sementara wilayah pinggiran tidak terintegrasi ke dalam jaringan pariwisata secara fungsional. Hal ini menyebabkan mereka menjadi penonton di tengah geliat pariwisata yang seharusnya juga menjadi sumber penghidupan.

Studi oleh Dredge & Jenkins (2011) menegaskan bahwa pembangunan pariwisata yang terlalu terpusat dapat menciptakan pola eksklusif wilayah. Dalam pola ini, pusat-pusat pariwisata tumbuh pesat, sementara kawasan sekitar mengalami stagnasi atau hanya menjadi pelengkap tanpa memperoleh nilai tambah signifikan. Dalam konteks ini, penting untuk menghadirkan pendekatan yang mempertimbangkan keterkaitan spasial antara pusat dan pinggiran, guna menghindari pelembagaan ketimpangan wilayah yang semakin dalam.

Kesenjangan ini mengindikasikan adanya keterbatasan dalam sistem distribusi nilai tambah dari aktivitas pariwisata yang belum inklusif dan berkeadilan. Apabila tidak diantisipasi, kondisi ini dapat memperkuat struktur ekonomi yang timpang, di mana keuntungan hanya mengalir pada pelaku besar yang memiliki akses terhadap sumber daya dan pasar. Sementara itu, masyarakat lokal tetap berada di posisi pinggiran dalam rantai nilai. Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan yang lebih terarah untuk memastikan bahwa pertumbuhan pariwisata benar-benar menjadi instrumen penguatan ekonomi lokal dan pemerataan antarwilayah.

Kritik terhadap arah kebijakan ini juga diperkuat oleh refleksi terhadap implementasi kebijakan yang ada. Meskipun pemerintah telah meluncurkan program-program seperti pengembangan ekowisata dan sertifikasi desa wisata, banyak kebijakan tersebut masih bersifat permukaan dan belum menyentuh aspek struktural yang mendasar. Tanpa pendampingan jangka panjang, penguatan kelembagaan lokal, serta keterhubungan dengan pasar, kebijakan tersebut berisiko hanya menjadi simbol tanpa makna transformatif. Fenomena pseudotourism pun muncul—di mana pariwisata tampak berkembang secara statistik, tetapi tidak menciptakan transformasi sosial ekonomi yang sejati.

Berbasis Masyarakat dan Berketahanan

Untuk mengatasi fenomena pseudotourism yang kian mengemuka dalam lanskap pariwisata Indonesia, dibutuhkan pergeseran paradigma yang lebih substansial dari sekadar strategi promosi dan pembangunan fisik. Pendekatan pariwisata berbasis komunitas (community-based tourism) perlu diperkuat dan semestinya menjadi titik fokus utama dalam kebijakan pembangunan ke depan. Hal ini meniscayakan keterlibatan masyarakat lokal secara aktif dalam proses perencanaan, pengelolaan, dan distribusi manfaat ekonomi pariwisata.

Ketika masyarakat hanya menjadi penonton atau pelengkap dalam industri pariwisata di wilayahnya sendiri, maka yang terjadi bukanlah pembangunan yang adil, melainkan reproduksi struktur ekonomi yang timpang. Perencanaan pariwisata yang kontekstual, menyentuh realitas sosial dan ekonomi lokal merupakan fondasi penting dari pembangunan yang berkelanjutan. Pemerintah perlu mendorong sinergi lintas sektor dan lintas wilayah agar pariwisata tidak berdiri sendiri sebagai agenda sektoral, tetapi terintegrasi dalam strategi pembangunan wilayah yang holistik dan adil.

Hal ini sejalan dengan arah kebijakan pembangunan jangka menengah Indonesia (RPJMN 2025–2029) yang menekankan pentingnya pemberdayaan ekonomi lokal berbasis potensi wilayah. Integrasi pariwisata dengan sektor-sektor lain seperti ekonomi kreatif, pertanian lokal, serta pelestarian lingkungan bukan hanya akan memperluas basis manfaat, tetapi juga memperkuat fondasi ekonomi masyarakat sekitar destinasi.

Di samping penguatan basis komunitas, pengembangan pariwisata juga perlu mempertimbangkan aspek ketahanan (resilience) terhadap dinamika eksternal. Tourism resilience merujuk pada kemampuan suatu destinasi untuk bertahan, merespons, dan beradaptasi terhadap guncangan. Baik dalam bentuk lonjakan jumlah wisatawan, perubahan tren pasar, maupun krisis global seperti pandemi, tanpa mengorbankan keberlanjutan sosial, budaya, dan lingkungan. Dalam konteks Indonesia, banyak destinasi yang masih sangat bergantung pada wisatawan musiman, sehingga rentan terhadap fluktuasi pasar dan perubahan kebijakan luar.

Membangun ketahanan pariwisata berarti menciptakan sistem yang tidak semata-mata mengejar angka kunjungan, melainkan menyeimbangkan antara kualitas pengalaman wisatawan dan keberlanjutan manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal. Diversifikasi ekonomi menjadi elemen kunci dalam strategi ini. Ketergantungan pada pariwisata massal harus dikurangi melalui penguatan sektor lain seperti pertanian lokal, kerajinan, dan industri kreatif yang terhubung dengan ekosistem pariwisata. Dengan demikian, apabila terjadi penurunan kunjungan wisatawan, masyarakat tetap memiliki sumber pendapatan alternatif yang berkelanjutan.

Ketahanan pariwisata juga harus meliputi dimensi budaya dan lingkungan. Destinasi yang menjaga warisan budaya lokal, menjaga keberagaman ekologis, serta mengintegrasikan unsur-unsur tersebut dalam tata kelola pariwisata, akan lebih tahan terhadap tekanan eksternal dan memiliki daya tarik jangka panjang. Tidak kalah penting adalah penciptaan sistem kelembagaan yang responsif dan adaptif, sehingga masyarakat lokal memiliki kapasitas untuk mengelola perubahan secara mandiri dan tidak selalu bergantung pada intervensi eksternal.

Pada akhirnya, pariwisata harus juga dipandang sebagai sarana pembangunan sosial yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus menjaga keberlanjutan lingkungan. Jika fenomena pseudotourism terus dibiarkan, Indonesia akan menghadapi destinasi yang tampak ramai secara statistik namun rapuh dalam aspek struktural. Keberlanjutan pariwisata hanya dapat tercapai jika manfaat yang diperoleh dari setiap kunjungan wisatawan dirasakan secara nyata oleh masyarakat lokal.

Pendekatan pembangunan pariwisata yang menekankan pada keadilan spasial serta pemberdayaan aktor lokal menjadi hal yang sangat penting. Dengan menciptakan ketahanan ekonomi pariwisata yang berfokus pada keseimbangan antara kebutuhan wisatawan dan aspirasi masyarakat lokal, Indonesia berpotensi besar untuk menjadikan sektor pariwisata sebagai pilar utama dalam pembangunan wilayah yang inklusif dan resilien.

Marselinus Nirwan Luru staf pengajar Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Trisakti

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial