Jakarta -
Presiden Prabowo Subianto berniat menghapus hukuman yang diterima para koruptor, dengan syarat mereka mengembalikan kerugian negara. Kepala Negara tidak menjelaskan secara detail wacananya memaafkan orang-orang yang sudah dijatuhi pidana dalam kasus korupsi. Presiden hanya berkata, dalam bulan-bulan ini akan memberi kesempatan para koruptor untuk "bertobat". Demikian—seperti dikutip banyak media—sebagian pernyataan Presiden dalam pertemuan dengan pelajar Indonesia di Kairo, Mesir, 18 Desember 2024.
Sementara itu, Menteri Koordinator Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Izha Mahendra dalam keterangan tertulis dan dikutip media pada 19 Desember 2024, wacana memaafkan koruptor itu adalah bagian dari kebijakan pemberian amnesti dan abolisi kepada setidaknya 44 ribu narapidana. Diuraikan lebih lanjut bahwa narapidana yang akan menerima pengampunan dari Prabowo adalah yang terjerat kasus penggunaan narkotik, penghinaan kepala negara, persoalan makar Papua, dan juga korupsi.
Sudah barang tentu wacana dan rencana kebijakan pemerintahan itu menghasilkan dukungan dan juga penolakan yang mengandung kritik. Dalam ranah hukum formal, pemberian maaf tidak diatur dalam Undang-Undang Kitab Hukum Pidana dan UU 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Penjelasan Pasal 4 UU Tipikor menyatakan, "Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara, tidak menghapuskan pidana terhadap pelaku tindak pidana tersebut."
Menggunakan argumen konstitusional--Presiden dapat memberi amnesti dan abolisi untuk narapidana—menurut Bivitri Susanti, pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, merupakan kepentingan diskresional dan tidak bisa diukur secara konstitusional.
Tulisan ini menyetujui bahwa korupsi harus diberantas dan hukum diharapkan berperan optimal dalam ranah ini. Korupsi bisa dilakukan siapapun, tetapi kemarahan publik terutama tertuju di mana korupsi dilakukan oleh penyelenggara negara dalam ranah cabang kekuasaan negara. Persoalan yang harus dilihat selanjutnya adalah penegakan hukum memerlukan kemauan politik negara secara keseluruhan dan dalam ranah ini, situasinya menjadi problematik.
Filosofis
Dalam ranah pemikiran filosofis, aspek penting dari tindakan pengampunan adalah membantu untuk membatalkan apa yang telah dilakukan (Arendt, 1998). Tentu saja, perbuatan tidak dapat dibatalkan dalam arti harfiah dan kesalahan tidak dapat dihapus dari masa lalu secara harfiah. Memang, memaafkan selalu mengandaikan adanya kesalahan; jika tidak, tidak ada yang perlu dimaafkan.
Melalui pengampunan, penghakiman awal tidak terhalang, tetapi penghakiman bahwa orang lain adalah musuh seseorang, menjadi ditangguhkan. Pengampunan tidak sesuai dengan logika balas dendam dan bukan tindakan reaktif, tetapi merupakan awal dari tindakan baru dan bebas, tindakan yang mengejutkan dan tidak terduga. Pengampunan bukan sekadar reaksi terhadap kesalahan.
Arendt (1998) sendiri berkata: "Memaafkan adalah satu-satunya reaksi membebaskan orang yang memaafkan dan orang yang dimaafkan dari konsekuensinya." Pengampunan dapat diberikan dengan janji masa depan bersama yang lebih baik. Arendt melihat pengampunan dan janji sebagai tindakan politik yang tepat dan sama sekali tidak sentimental.
Namun, konsekuensi dalam ranah publik kemudian menjadi lebih jauh dari konsep pengampunan dalam relasi antarpersonal. Kerugian pada aspek tindak pidana korupsi merupakan luka publik yang sulit dipulihkan, setidak-tidaknya dalam hitungan potensial dan psikologis. Terhadap politisi yang diduga korup misalnya, tak hanya aspek pidana tetapi ada harapan yang bersangkutan tidak terpilih kembali. Singkatnya: publik menghukum dengan tidak memberikan pilihan lewat pemilu.
Akuntabilitas Elektoral
Kasus Hilario Ramírez , seorang politikus Meksiko yang, di tengah kampanye pemilihan ulang mengakui telah mencuri dari kas negara, "Hanya sedikit," katanya, lebih dari sekadar cerita rakyat politik Amerika Latin yang sederhana. Layín—sebutan lain untuk Ramírez—adalah Wali Kota San Blas, sebuah kota pesisir Meksiko, dari 2008 hingga 2011 dan anggota partai konservatif. Pada 2014, ia berhasil mencalonkan diri untuk pemilihan ulang, kali ini sebagai kandidat independen.
Selama kampanye itu ia membuat pernyataan yang membuatnya terkenal, menjelaskan bahwa "apa yang ia curi dengan satu tangan, ia berikan kepada orang miskin dengan tangan lainnya" dan bahwa jika ia mengambil 150 juta peso, sekitar 7 juta dolar, seperti yang dituduhkan para pesaingnya, "ia akan menginvestasikan uang itu di infrastruktur publik." Keberhasilan elektoral Layín bertentangan dengan salah satu gagasan yang paling umum tentang korupsi: bahwa ketika warga negara menyadari korupsi pemerintah, mereka menghukum para pelaku kesalahan dan partai mereka melalui pemungutan suara. Namun, dia sama sekali bukan kasus yang terisolasi.
Fakta paradoks bahwa korupsi tidak populer sementara beberapa politisi diduga korup cukup populer telah lama menarik minat para analis, seperti dicatat oleh Oskar Kurer. Salah satu kemungkinan penjelasannya adalah kurangnya informasi. Tetapi bagaimana jika para pemilih memiliki informasi dan tetap memilih politisi tersebut—dengan sukarela "memaafkan" petahana yang korup ini di kotak suara? Memilih kembali politisi seperti itu, sementara mengetahui tentang kesalahannya, menjungkirbalikkan banyak hal yang kita pahami tentang akuntabilitas elektoral.
Pengalaman Negara Lain
Pada Selasa malam, 31 Januari 2017, pemerintah Rumania mengadopsi dekrit darurat yang secara resmi mendekriminalisasi korupsi. Keputusan tersebut memicu protes besar di seluruh negeri, dengan banyak yang mengkhawatirkan kemunduran perjuangan melawan korupsi selama setahun di negara Eropa Timur tersebut, dengan menyebut tindakan tersebut sebagai serangan terhadap supremasi hukum.
Keputusan darurat tersebut mendekriminalisasi hukuman pidana atas tuduhan penyalahgunaan kekuasaan, konflik kepentingan, dan kelalaian kerja. Menteri Kehakiman Florin Iordache mengatakan tindakan tersebut akan mendekriminalisasi kasus penyalahgunaan kekuasaan yang kerugian finansialnya dinilai kurang dari 200.000 lei ($47.800). Dalam sebuah langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya, enam sekutu strategis Rumania yaitu AS, Kanada, Jerman, Prancis, Belanda, dan Belgia, mengeluarkan pernyataan bersama pada waktu itu yang menyerukan pencabutan keputusan tersebut dan menggarisbawahi pentingnya perang melawan korupsi.
Awal 2024 lalu, pemerintahan Italia menghapuskan kejahatan penyalahgunaan jabatan, yang membuat Roma bertabrakan dengan arahan Uni Eropa terkait undang-undang yang menurut para pendukungnya sangat penting untuk memerangi korupsi. Koalisi Perdana Menteri Giorgia Meloni saat itu mengklaim pelanggaran tersebut menghalangi wali kota mengambil keputusan sulit dan membebani sistem peradilan, karena sebagian besar penyelidikan terhadap penyalahgunaan jabatan tidak membuahkan hasil. Namun, di negara yang terkenal dengan infiltrasi mafia di bidang sosial, ekonomi, dan politik ini, terutama di tingkat lokal, sejumlah pakar menyatakan bahwa menyingkirkan hal itu akan mempersulit penyelidikan dan penjatuhan hukuman kepada para penjahat.
Menimbang Utuh
Tentu saja publik meyakini bahwa negara Indonesia tidak akan melakukan dekriminalisasi tindak pidana korupsi. Dengan belajar dari negara lain, tampaknya setiap kebijakan negara untuk "membuat arah baru" pemberantasan korupsi akan selalu memperoleh kritik dari masyarakat.
Namun dalam teori hukum kontemporer diyakini bahwa kebijakan pemidanaan memang berkaitan dengan pilihan untuk berbagai alasan seperti pencapaian ekonomi. Marc Ancel sebagaimana dikutip oleh Barda Nawawi Arief mendefinisikan "kebijakan pidana" sebagai suatu ilmu dan seni yang mempunyai tujuan praktis untuk merumuskan hukum positif yang lebih baik dan memberikan pedoman tidak saja bagi pembuat undang-undang tetapi juga bagi pengadilan yang melaksanakan undang-undang dan para pelaksana putusannya.
Berdasarkan pengertian "kebijakan penal", Barda Nawawi Arief menyimpulkan bahwa apabila kebijakan penal dianggap sebagai bagian dari kebijakan hukum, maka kebijakan penal adalah bagaimana membuat dan merumuskan peraturan perundang-undangan yang berlaku terhadap kejahatan (Arief, 2008: 21).
Sudah selayaknya, rencana pemberian pemaafan/pengampunan dalam tindak pidana korupsi di atas harus diletakkan dalam kerangka kebijakan penal. Ada kebutuhan melakukan perbaikan peraturan perundang-undangan yang relevan dan ini membutuhkan keterbukaan yang dapat diakses oleh publik. Dengan demikian, rencana kebijakan tadi akan dapat dilihat utuh dan partisipatif.
Isharyanto pengajar Fakultas Hukum UNS
(mmu/mmu)