Jakarta -
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memerintahkan Pemungutan Suara Ulang (PSU) di 24 daerah bukan sekadar koreksi prosedural, tetapi sebuah epitaf bagi kredibilitas penyelenggara pemilu yang seharusnya bertanggung jawab sejak awal.
Setiap lima tahun sekali, pemilihan kepala daerah diselenggarakan dengan harapan besar bahwa rakyat bisa menentukan pemimpin mereka dengan cara yang jujur, adil, dan transparan. Namun, Pilkada 2024 justru berakhir sebagai sebuah requiem—sebuah elegi bagi penyelenggaraan pemilu yang gagal. Alih-alih memastikan pemilu yang berintegritas, penyelenggara justru membiarkan begitu banyak pelanggaran terjadi hingga akhirnya ratusan sengketa membanjiri Mahkamah Konstitusi (MK).
Ketika MK memutuskan PSU di 24 daerah, dengan 14 di antaranya harus mengulang pemilihan di seluruh Tempat Pemungutan Suara (TPS), kita dihadapkan pada kenyataan pahit bahwa sistem penyelenggaraan pemilu kita masih jauh dari kata kredibel. PSU bukanlah mekanisme yang seharusnya terjadi dalam skala sebesar ini. Jika setiap Pilkada selalu berakhir dengan PSU dalam jumlah besar, maka itu bukan sekadar koreksi, melainkan bukti bahwa penyelenggara telah gagal sejak awal.
Yang lebih ironis, meskipun PSU sudah diperintahkan, nyatanya tidak ada evaluasi serius terhadap penyelenggara yang bertanggung jawab. Seolah-olah semua ini hanya bagian dari "dinamika pemilu" yang wajar, padahal jelas-jelas ada ketidakmampuan dalam mengelola tahapan pemilu dengan baik.
Sarat Pelanggaran dan Kelalaian
Seharusnya, pemilu menjadi jalan yang sah bagi rakyat untuk menentukan pemimpinnya. Tetapi apa artinya pemilu jika hasilnya penuh dengan manipulasi? Dari politik uang, penyalahgunaan wewenang, hingga keterlibatan aparat, Pilkada 2024 memperlihatkan bahwa pelanggaran masih menjadi bagian tak terpisahkan dari proses pemilihan di Indonesia.
Kasus Mahakam Ulu dan Serang menjadi gambaran nyata. Di Mahakam Ulu, bupati petahana terbukti menggunakan fasilitas negara untuk memenangkan calon pilihannya. Di Serang, seorang menteri terang-terangan mendukung istrinya dalam kontestasi pemilu. Dua kasus ini bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan cermin dari sistem pemilu yang dibiarkan rapuh oleh penyelenggaranya.
Robert Dahl dalam Polyarchy (1971) menegaskan bahwa pemilu yang sehat harus memastikan kesetaraan peluang bagi semua kandidat. Tetapi bagaimana mungkin ada kesetaraan jika negara dan aparat pemerintah justru menjadi alat bagi mereka yang sudah berkuasa?
Putusan PHPKada seharusnya menjadi refleksi besar bahwa proses pemilihan kita masih pincang. Jika PSU dianggap sebagai solusi, maka pertanyaannya mengapa penyelenggara membiarkan begitu banyak pelanggaran sejak awal? Mengapa mereka tidak bertindak sebelum pemilu berantakan?
Kegagalan Penyelenggara
Setiap PSU yang diperintahkan MK adalah bukti kegagalan penyelenggara pemilu. Bagaimana mungkin begitu banyak daerah gagal menjalankan Pilkada dengan jujur dan adil, tetapi tidak ada satu pun pejabat KPU atau Bawaslu yang benar-benar dimintai pertanggungjawaban?
Masalah utama dalam Pilkada 2024 adalah lemahnya proses seleksi calon. Banyak kandidat yang seharusnya tidak lolos seleksi tetap diizinkan maju, hanya untuk kemudian didiskualifikasi setelah pemungutan suara selesai. Jika seorang calon memang tidak memenuhi syarat sejak awal, mengapa pencalonannya tidak dibatalkan sebelum pemungutan suara berlangsung?
Titi Anggraini, seorang pakar kepemiluan, pernah mengatakan bahwa penyelenggara pemilu bukan hanya bertugas menjalankan prosedur teknis, tetapi juga harus menjadi benteng utama demokrasi. Jika mereka tidak bisa menjaga integritasnya, maka seluruh sistem pemilu akan kehilangan maknanya.
Sementara itu, pengawasan dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga patut dipertanyakan. Seharusnya, Bawaslu menjadi lembaga yang aktif dalam mencegah kecurangan sejak dini, bukan hanya sekadar mencatat pelanggaran setelah semuanya terjadi. Tetapi yang kita lihat adalah pengawasan yang reaktif, bukan preventif.
Jika penyelenggara pemilu hanya bekerja setelah kecurangan menjadi kasat mata, maka untuk apa ada lembaga untuk pengawasan sejak awal?
Dampak Anggaran
Ketika PSU diperintahkan dalam jumlah besar, kita harus bertanya: siapa yang sebenarnya menanggung dampaknya?
Negara diperkirakan harus mengeluarkan lebih dari Rp 1 triliun untuk mengulang pemilu di 24 daerah. Angka yang luar biasa besar ini seharusnya bisa dialokasikan untuk infrastruktur, pendidikan, atau layanan kesehatan. Namun, karena kelalaian penyelenggara, rakyat justru harus membayar harga dari pemilu yang gagal.
Pippa Norris dalam Why Electoral Integrity Matters (2014) menegaskan bahwa pemilu yang terus-menerus diulang tidak hanya membebani negara secara finansial, tetapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap demokrasi. Jika rakyat melihat bahwa setiap pemilu bisa berakhir dengan PSU, bagaimana mereka bisa yakin bahwa suara mereka benar-benar dihitung dengan jujur?
Lebih ironis lagi, di tengah wacana efisiensi anggaran yang digaungkan pemerintah, kita justru menyaksikan pemborosan besar-besaran hanya untuk memperbaiki kesalahan yang seharusnya tidak terjadi.
Arahan Perbaikan
Pilkada 2024 adalah cermin dari sistem pemilu yang gagal dikelola dengan baik. Jika kita tidak segera melakukan reformasi, maka lima tahun lagi kita akan menghadapi skenario yang sama—sengketa, PSU, pemborosan anggaran, dan semakin pudarnya kepercayaan rakyat terhadap proses demokrasi. Demokrasi tidak bisa terus berjalan dengan pola yang sama. Jika kita ingin Pilkada benar-benar menjadi ajang yang menghormati kehendak rakyat, maka sistem pemilu harus dirombak dari akarnya.
Pilkada 2024 bukan hanya mencerminkan kegagalan teknis dalam pemilu, tetapi juga kegagalan penyelenggara dalam menjalankan tanggung jawabnya. Putusan PHPKada bukan hanya tentang mengulang pemungutan suara, tetapi juga sebuah pengingat bahwa sistem pemilu kita masih jauh dari kata ideal.
Jika kita terus membiarkan pemilu dikelola dengan cara seperti ini, maka lima tahun lagi kita akan menghadapi situasi yang sama—dan saat itu, mungkin kepercayaan rakyat terhadap pemilu sudah benar-benar habis. Karenanya, perbaikan penyelenggaraan Pilkada dan reformasi pemilu harus dilakukan sekarang, bukan nanti. Jika tidak, maka Pilkada 2029 mungkin akan menjadi requiem terakhir bagi harapan akan pemilu yang bersih dan berintegritas.
Muhammad Iqbal Kholidin anggota Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu