Pemulihan Aset Korupsi Masih Minim, Bamsoet Dorong RUU Perampasan Aset

4 hours ago 3

Jakarta -

Anggota Komisi III DPR RI sekaligus dosen tetap Program Studi Doktor Ilmu Hukum Universitas Borobudur, Bambang Soesatyo menuturkan perampasan aset hasil tindak pidana korupsi dan pencucian uang (TPPU) merupakan elemen krusial dalam strategi pemberantasan kejahatan ekonomi di Indonesia. Namun, menurutnya, pengaturan dan sistem hukum yang ada saat ini masih mengalami kekurangan dalam hal pemulihan aset secara cepat, efektif, dan lintas yurisdiksi.

Ketergantungan terhadap putusan pidana, keterbatasan teknologi pelacakan, dan tumpang tindih kewenangan lembaga penegak hukum menjadi hambatan utama yang perlu ditangani.

Ia memaparkan berdasarkan data KPK tahun 2024, total kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp 45,7 triliun, namun pemulihan aset melalui mekanisme yang ada baru menyentuh angka sekitar Rp 2,5 triliun dalam kurun waktu 2020-2024. Menurut Bamsoet, hal ini menunjukkan betapa timpangnya upaya pengembalian aset dibandingkan dengan nilai kerugian yang ditimbulkan. Padahal, Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui United Nations Convention against Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi Indonesia, menekankan pentingnya mekanisme pemulihan aset (asset recovery) sebagai prinsip dasar perang melawan korupsi global.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Meski Indonesia telah memiliki payung hukum seperti UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan UU Pencegahan dan Pemberantasan TPPU, efektivitasnya dalam menjamin pemulihan aset secara optimal masih dipertanyakan. Proses hukum yang panjang, rumit, dan keharusan membuktikan tindak pidana terlebih dahulu sebelum aset dirampas menjadi kendala tersendiri," ujar Bambang dalam keterangannya, Sabtu (17/5/2025).

"Akibatnya, aset yang sudah dibekukan tidak jarang mengalami penyusutan nilai sebelum sempat dirampas negara," sambungnya.

Hal itu ia sampaikan saat mengajar mata kuliah 'Pembaharuan Hukum Nasional', Program Doktor Ilmu Hukum di Kampus Universitas Borobudur, Jakarta hari ini.

Ia juga memaparkan salah satu hambatan utama dalam upaya pemulihan aset adalah ketergantungan terhadap mekanisme conviction-based forfeiture, yaitu perampasan aset yang hanya bisa dilakukan setelah ada putusan pidana berkekuatan hukum tetap. Proses ini seringkali berlangsung lama dan berliku, terutama jika pelaku melarikan diri atau menyembunyikan aset di luar negeri.

Selain itu, keterbatasan teknologi dalam pelacakan aset juga menjadi tantangan signifikan. Banyak aset hasil kejahatan yang dipindahkan melalui berbagai saluran dan metode yang sulit dilacak.

Ia memaparkan data dari Financial Action Task Force (FATF) menunjukkan bahwa kurang dari 1% dari total nilai aset yang disita di seluruh dunia merupakan hasil dari pencucian uang dan tindak pidana korupsi. Di Indonesia, kurangnya infrastruktur teknologi untuk memonitor dan melacak pergerakan aset menjadi kendala yang membuat pemulihan aset semakin sulit.

"Tumpang tindih kewenangan di antara lembaga penegak hukum, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung, dan Polri juga masih terjadi. Tanpa adanya sinergi yang jelas, proses pemulihan aset sering kali terhambat oleh birokrasi dan persaingan antar lembaga," kata Bamsoet.

"Hal ini memperlambat prosedur dan mengakibatkan hilangnya kesempatan untuk segera memulihkan aset yang dicuri. Karena itu, diperlukan pembaruan hukum yang menyeluruh untuk menciptakan sistem yang lebih efisien," imbuhnya.

Bamsoet mengatakan pembaruan hukum melalui RUU Perampasan Aset menawarkan solusi substantif dengan memperkenalkan konsep non-conviction based asset forfeiture (NCB), pengadilan khusus, dan mekanisme pembuktian terbalik yang terukur.

Konsep NCB, kata Bamsoet, memungkinkan pemulihan aset tanpa harus menunggu adanya putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap. Hal ini akan mempercepat proses pengembalian aset kepada negara dan mengurangi potensi hilangnya aset melalui pengalihan atau penghilangan.

"Berbagai negara telah lebih dahulu mengadopsi mekanisme NCB dengan hasil yang signifikan. Semisal, Amerika Serikat menggunakan Civil Asset Forfeiture Reform Act (CAFRA) 2000 yang memungkinkan perampasan aset dalam kasus perdata jika terbukti berhubungan dengan tindak pidana," paparnya.

"Swiss dan Singapura juga menerapkan sistem hukum yang memungkinkan otoritas menyita aset atas dasar penyelidikan, meskipun belum ada putusan pengadilan yang menguatkan. Sementara, Australia melalui Proceeds of Crime Act 2002 memberikan kewenangan kepada pengadilan untuk memerintahkan perampasan aset berdasarkan bukti keseimbangan probabilitas," jelas Bamsoet.

Meski menjanjikan, implementasi RUU Perampasan Aset di Indonesia diperkirakan Bamsoet akan menghadapi berbagai tantangan, mulai dari resistensi politik, keterbatasan kapasitas kelembagaan, hingga isu konstitusionalitas terkait asas praduga tak bersalah dan perlindungan hak milik. Namun, dengan keseriusan dan komitmen bersama, pembaruan hukum ini diharapkan dapat memperkuat sistem pemulihan aset di Indonesia.

"Beberapa langkah strategis yang bisa dilakukan antara lain percepatan pengesahan RUU dengan tetap memperhatikan prinsip keadilan dan HAM, pembentukan unit pemulihan aset terpadu lintas lembaga, peningkatan kapasitas teknis penegak hukum, pengembangan sistem informasi aset nasional berbasis digital, serta pelibatan aktif masyarakat dalam pengawasan," pungkas Bamsoet.

(prf/ega)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial