Pasangan Australia Terdampar di Pulau Gili Ilyang Masih Menanti Waktu Pulang

1 month ago 26

Baca laporannya dalam bahasa Inggris

Pasangan Australia yang terdampar di Pulau Gili Iyang, Kabupaten Sumenep, Madura akan pindah ke hotel di Surabaya setelah hampir seminggu menetap di rumah nelayan setempat.

Catherine Delves dan Peter Watt tadinya bermaksud berlayar ke Kalimantan untuk melihat orangutan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun "semuanya menjadi kacau" saat kapal pesiar mereka yang berbobot 26 ton tersebut kandas di lepas pantai Gili Iyang di Laut Bali pekan lalu.

"Sepertinya kami akan tinggal di sini lebih lama," kata Catherine yang diwawancara di rumah nelayan setempat.

"Kami melewatkan arus pasang waktu mencoba mengangkat kapal kami dari bebatuan, dari terumbu karang … jadi mungkin kami harus tetap di sini sebulan lagi."

Mereka meninggalkan perahu tersebut pada Rabu (29/01) sore, setelah sinyal yang mereka kirim dalam bentuk panggilan darurat di radio dan suar tidak dijawab.

Kasi Humas Polres Sumenep, AKP Widiarti mengatakan pihaknya langsung berkoordinasi dengan petugas setempat ketika mendengar sinyal tersebut.

"Akhirnya kedua orang tersebut dievakuasi oleh para nelayan di wilayah Pulau Gili Ilyang tersebut," kata Widiarti kepada Natasya Salim dari ABC Indonesia.

"Kemudian kita juga sudah berkoordinasi dengan pihak imigrasi, orang ini visanya masih lama kemudian beliau ini mau dievakuasi ke daratan."

Widiarti memperkirakan pasangan tersebut harus menunggu hingga bulan April untuk bisa berlayar kembali.

"Kami juga menunggu air itu pasang, perkiraan air pasang nanti di bulan depan, informasi dari warga sana," ujarnya.

"Karena itu sudah di bibir pantai, enggak bisa ke tengah, untuk dorong itu perlu alat yang canggih untuk dorong kapal, sedangkan ini masih karam, enggak bisa."

Widiarti mengatakan pasangan tersebut kini dalam kondisi sehat.

Ia juga menambahkan warga di Pulau Gili Ilyang saat ini sedang membantu memperbaiki perahu mereka yang rusak.

Sempat kesulitan menolong

Awalnya, Kepala Desa Banraas H Fathor mengatakan warga tidak menyadari adanya sinyal minta tolong dari pasangan tersebut.

"Ada tembakan itu sampai lima kali, cuma orang pulau itu enggak ngerti itu apa," kata Fathor.

"Kadang-kadang kan [warga berpikir] 'Wah, itu kembang api'."

Ia mengatakan warga juga sempat tidak berani untuk menolong karena khawatir melihat gelombangnya yang besar.

Tetapi saat surut, Fathor mengatakan lima hingga enam warga langsung bergerak untuk menolong pasangan itu.

Fathor mengatakan warga setempat langsung merawat dan memberikan pasangan tersebut makanan serta pakaian bersih.

"[Kita kasih] makan, kasih minuman, kasih kopi," ujarnya.

"Kami ... ke rumah [warga] yang ngerti bahasa Inggris ... orang pulau itu banyak yang merantau ke Pulau Bali dan sebagian ngerti-lah sedikit-sedikit bahasa Inggrisnya."

Peter yang ketika itu terpaksa melompat dari kapal mengatakan peristiwa tersebut merupakan "hal paling menakutkan" yang pernah dilakukannya.

"Beberapa penduduk setempat berenang untuk membantu kami juga. Mereka melakukan lebih dari yang diharapkan, mereka sangat membantu," katanya.

Catherine mengatakan retakan kecil di dasar perahunya perlu dilas hingga tertutup jika memungkinkan.

"Banyak yang membantu tetapi perkembangannya tidak cepat," katanya.

Ia mengunggah rekaman kapal mereka yang kandas di tengah ombak besar dengan judul: "Perahu kami karam!"

Terdampar di 'pulau oksigen'

Pasangan itu mulai berlayar pada tahun 2021, menyusuri pantai timur Australia menuju Darwin.

Mesin kapal layar mereka sebelumnya pernah bermasalah sehingga mereka harus bermukim di Darwin selama sekitar tiga tahun sebelum mereka bisa berangkat lagi ke utara.

"Kami hanya berlayar di sekitar Indonesia, kami mendapat visa yang mengizinkan kami memasuki Indonesia berulang kali, untuk pergi dan menjelajah sendiri," ujar Catherine.

Departemen Luar Negeri dan Perdagangan mengonfirmasi mereka memberikan dukungan konsuler kepada pasangan Peter dan Catherine.

Gili Iyang terkadang disebut di Indonesia sebagai "pulau oksigen" karena dikenal memiliki kadar oksigen tertinggi di dunia.

Catherine mengatakan warga di sana "sangat luar biasa… sangat ramah, sangat bersahabat."

"Mereka berusaha sekuat tenaga, tetapi kami butuh 30 orang untuk benar-benar … mendorong [kapal pesiar] itu."

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial