Foto : Spanduk penolakan penambangan panas bumi di gunung gede yang terpasang di pintu gerbang jalur pendakian menuju puncak Gunung Gede (jalur Gunung Putri). Ahmad Thovan Sugandi/detikX
Senin, 3 Februari 2025
Warga di lereng Gunung Gede Pangrango, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, tak henti-hentinya khawatir. Kehidupan mereka terganggu sejak hadirnya proyek eksplorasi penambangan panas bumi atau geotermal. Pihak perusahaan penambang (PT Daya Mas Geopatra Pangrango, salah satu anak perusahaan grup Sinar Mas) dan pemerintah daerah kompak terus menekan warga untuk menerima proyek tersebut.
Di sisi lain, warga tak benar-benar dilibatkan dan tak menerima informasi secara utuh terkait risiko atau dampak buruk penambangan panas bumi. Bahkan warga yang menolak proyek tersebut justru menerima ancaman, intimidasi, dan kekerasan. Salah satunya adalah Dedet Fatmawati, warga kampung Pasir Cina, Desa Cipendawa. Rumah Dedet terletak persis di tepi jalan yang rencananya digunakan oleh perusahaan untuk akses utama menuju lokasi penambangan.
Perempuan berusia 43 tahun itu mengatakan trauma gempa Cianjur pada 2023, yang meluluhlantakkan rumah warga, semakin memperkuat penolakannya terhadap proyek tersebut. Setiap malam getaran truk pengangkut sayuran sudah cukup membuat rumahnya bergetar.
“Kaca rumah sudah goyang, apalagi kalau nanti truk proyek yang jauh lebih besar lewat, rumah saya bisa hancur,” kata Dedet kepada detikX pada Selasa, 24 Desember 2024.
Dedet pertama kali mengetahui adanya rencana proyek geotermal dua tahun lalu melalui pertemuan warga yang diinisiasi oleh pihak perusahaan dan aparat desa. Sayangnya, pihak perusahaan hanya menyampaikan sisi positif proyek tanpa menjelaskan dampak buruknya. Para warga akhirnya berbondong-bondong mencari informasi sendiri melalui internet dan pemutaran film dokumenter Barang Panas.
"Baru paham setelah baca-baca dan nonton, ternyata dampaknya berbahaya," katanya.
Para warga juga khawatir penambangan panas bumi dapat memicu peningkatan aktivitas kegempaan. Terutama gempa-gempa kecil, yang oleh warga sekitar disebut lini.
Selain dibalut waswas, Dedet dan warga lain juga menghadapi ancaman langsung akibat sikap penolakannya. Ia pernah mendengar ancaman, warga yang terus menolak akan ditangkap oleh aparat.
"Saya pasrah saja, saya tidak merasa bersalah. Saya menolak ini bukan untuk diri saya sendiri, tapi untuk anak-cucu kami nanti," ungkapnya tegas.
Bahkan Dedet pernah mengalami kekerasan fisik dan intimidasi saat sedang menyuarakan penolakannya. Ketika Dedet dan warga lain memasang spanduk penolakan, mereka diserang oleh seorang laki-laki. “Dia menonjok teman saya yang memasang spanduk. Padahal kami hanya menolak dengan damai,” ceritanya.
Menurut warga, pemerintah dan perusahaan lebih memilih jalur pintas alih-alih berdialog, mendengarkan aspirasi, dan melibatkan warga secara bermakna dalam rencana proyek tersebut. Hal itu diperburuk oleh pemerintah desa yang cenderung berpihak kepada perusahaan dan enggan menyuarakan aspirasi warganya.
Warga Cipendawa lainnya turut bersaksi, di beberapa pertemuan dengan warga, pihak perusahaan dan pemerintah diduga memilih untuk membagi-bagikan uang daripada melakukan dialog yang sungguh-sungguh.
Selain itu, diduga kuat perusahaan dan pemerintah desa sedang berusaha memecah belah warga. Mereka juga memberikan uang kepada warga yang mendukung proyek untuk membujuk warga lainnya.
“Mereka membagi-bagikan uang agar orang mendukung. Bahkan ada tokoh agama yang sekarang menjadi pendukung karena diberi keuntungan oleh perusahaan,” ucap Dewi, yang juga merupakan warga Desa Cipendawa.
Selain itu, urusan administrasi, seperti BPJS yang warga ajukan, sempat dipersulit oleh aparat desa, yang diduga karena warga tersebut terang-terangan menolak proyek. Termasuk adanya ancaman yang menyatakan bantuan sosial dari pemerintah akan dihentikan terhadap warga yang menolak keberadaan geotermal.
Kepala Simpul dan Jaringan, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Imam Shofwan mengatakan proyek geotermal, yang digadang-gadang sebagai energi terbarukan ramah lingkungan, justru membawa dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan yang serius di lapangan.
Salah satu masalah utama yang mencuat adalah terbelahnya masyarakat di sekitar lokasi eksplorasi. Imam menjelaskan kedatangan proyek geotermal sering kali memunculkan polarisasi di tengah warga, antara pihak yang mendukung dan menolak. Di wilayah seperti Dieng, Sarula, dan Mandailing Natal, masyarakat yang sebelumnya hidup rukun kini terpecah akibat konflik kepentingan.
"Penyebab utamanya adalah kurangnya informasi yang memadai kepada warga. Sosialisasi hanya menyampaikan sisi positif proyek, seperti janji listrik gratis dan lapangan pekerjaan, tanpa menjelaskan dampak negatif yang mungkin terjadi," ucap Imam kepada detikX.
Ia mencontohkan, di Dieng, Jawa Tengah, dampak buruk geotermal sudah nyata terlihat. Udara tercemar H₂S, air berubah menjadi asin, dan peningkatan kasus kanker di Desa Karang Tengah menjadi bukti nyata dari risiko proyek tersebut. Petani yang bergantung pada air untuk kebutuhan sehari-hari dan pertanian menjadi korban utama.
Sementara itu, di berbagai lokasi eksplorasi, pendekatan represif sering digunakan untuk meredam suara penolakan. Hal ini memperlihatkan pemerintah dan perusahaan mengabaikan hak-hak masyarakat demi kepentingan proyek nasional.
Proyek Nasional, Beban Lokal
Proyek geotermal sering kali didukung pemerintah pusat sebagai bagian dari program energi transisi, seperti Just Energy Transition Partnership (JETP). Namun, menurut Imam Shofwan, proyek ini justru membebani masyarakat lokal. Pemerintah daerah, yang seharusnya melindungi warganya, kerap kali dianggap lebih berpihak kepada perusahaan. Ia juga menyoroti kurangnya akses masyarakat terhadap dokumen amdal.
“Kami melihat ada pola yang sama. Pemerintah daerah dan aparat penegak hukum sering kali menjadi alat perusahaan untuk menekan warga yang menolak,” jelas Imam.
Potret warga dari desa Sukatani dan Cipendawa melakukan konsolidasi terkait penolakan tambang panas bumi di Gunung Gede Selasa, (24/12/2024).
Foto : Ahmad Thovan Sugandi/detikX
Imam menekankan pentingnya pemerintah dan perusahaan belajar dari kasus di Dieng dan tempat lain. Wilayah-wilayah seperti Gunung Gede Pangrango, yang masih dalam tahap awal eksplorasi, memiliki kesempatan untuk mencegah dampak buruk tersebut. Keberlanjutan eksplorasi panas bumi membutuhkan transparansi, kajian mendalam, dan pelibatan warga secara menyeluruh. Tanpa itu, harapan menjadikan energi geotermal sebagai solusi ramah lingkungan hanya akan menjadi ancaman baru bagi masyarakat dan lingkungan.
"Bahasa kami, sebelum telanjur," kata Imam.
Sementara itu, Asisten Dua Pemkab Cianjur Budi Rahayu Toyib mengatakan pihaknya tak banyak dilibatkan dalam proyek penambangan panas bumi di wilayahnya. Pemkab mengaku hanya menjalankan perintah untuk menyukseskan proyek pemerintah pusat. Maklum, sejak 2021, pemerintah pusat melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mulai memperkenalkan rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi di kawasan Gunung Gede Pangrango, Kabupaten Cianjur. Nantinya Pemkab dijanjikan memperoleh dana bagi hasil dari penjualan listrik yang dihasilkan PLTP tersebut.
"Pada 2022, perusahaan pelaksana, PT Daya Mas, ditugaskan untuk survei pendahuluan dan eksplorasi," terang Budi kepada detikX.
Namun keterlibatan pemerintah daerah dalam proyek ini cenderung terbatas. Menurut Budi, pihak perusahaan lebih banyak melakukan sosialisasi langsung kepada masyarakat, sementara pemerintah daerah hanya hadir untuk memantau dan menyaksikan.
Saat ditanya terkait dampak dari proyek tersebut dan upaya mitigasi, Pemkab Cianjur mengaku tak tahu banyak. Selama ini mereka hanya memperoleh penjelasan singkat satu arah dari perusahaan di beberapa forum pertemuan.
Pihaknya juga mengaku tak memiliki salinan dokumen riset atau kajian ilmiah yang menyatakan proyek tersebut aman dan tak memiliki dampak buruk terhadap lingkungan. Budi juga mengaku tak tahu-menahu terkait detail dokumen upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan (UKL-UPL), yang seharusnya tersedia sebagai syarat eksplorasi.
Walaupun demikian, pemerintah daerah dan perusahaan sama-sama mengklaim proyek panas bumi aman dari dampak lingkungan. Mereka menepis kekhawatiran warga atas penambangan panas bumi dapat memicu aktivitas kegempaan.
“Mereka (perusahaan) menyatakan tidak ada keterkaitan gempa dengan rencana pengeboran panas bumi ini,” jelas Budi.
Saat dimintai dokumen yang dipaparkan perusahaan dalam forum-forum tersebut, Budi mengirimkan tiga dokumen. Dua dokumen adalah paparan rencana proyek penambangan dari perusahaan dan kumpulan foto yang diklaim sebagai dokumentasi sosialisasi proyek kepada masyarakat. Tak ada satu pun dari dokumen itu yang menjelaskan terkait risiko dan dampak lingkungan serta mitigasinya.
Menariknya, di dua dokumen perencanaan tersebut, perusahaan secara spesifik menyebut masyarakat sebagai bagian dari hambatan keberlangsungan proyek.
Di dokumen paparan perusahaan ke Pemkab Cianjur terkait perkembangan proyek (tertanggal 17 Juni 2024) disebutkan salah satu warga Kampung Pasir Cina, Desa Cipendawa, menjadi hambatan karena menolak lingkungannya digunakan sebagai akses kendaraan berat ke lokasi penambangan. Adapun di dokumen paparan tertanggal 24 November 2024, perusahaan melabeli secara spesifik masyarakat yang menolak geotermal sebagai: kelompok reaktif dan kelompok yang selalu membuat kegaduhan karena berkeinginan membedah dokumen UKL-UPL. Alih-alih melakukan dialog yang bermakna, perusahaan justru memberikan label-label tersebut.
Ironisnya, Pemkab Cianjur sebetulnya juga memahami gejolak penolakan tersebut dipicu belum adanya penjelasan memadai atas dampak lingkungan dan mitigasinya.
Walaupun tidak mengatakan telah terjadi pemaksaan kepada warga untuk menerima proyek tersebut, Pemkab Cianjur mengambil posisi menerima proyek tersebut dan mendorong pelibatan aparat desa untuk membantu perusahaan dalam melakukan sosialisasi dan meredam gejolak protes warga.
“Gejolak terjadi karena masyarakat takut terhadap dampak lingkungan yang belum jelas mitigasinya. Mereka khawatir proyek ini akan mengorbankan sumber penghidupan mereka,” ungkap Budi.
Pada Desember tahun lalu, detikX telah mengirimkan surat permintaan wawancara kepada Direktur Utama PT DMGP di Jakarta. Namun, menurut perwakilan perusahaan, permintaan wawancara tersebut ditolak. Selain itu, detikX juga menghubungi dan mengirimkan surat permintaan wawancara sekaligus konfirmasi kepada Kepala Teknik Panas Bumi (KTPB) PT Daya Mas Geopatra Pangrango atas nama Yunis. Sayangnya, yang bersangkutan menolak diwawancarai dengan alasan sedang sibuk mengejar target kerja perusahaan.
Alasan Kekhawatiran Warga
Penelitian oleh Peter Bayer dkk pada 2013 dalam jurnal Renewable and Sustainable Energy Reviews mencatat penambangan panas bumi terbukti mengakibatkan peningkatan aktivitas kegempaan. Fenomena tersebut telah banyak ditemukan di berbagai lokasi panas bumi di dunia, terutama di daerah yang secara geologis aktif. Sebagai contoh, proyek panas bumi di Basel, Swiss, menunjukkan injeksi cairan pada proyek panas bumi dapat memicu gempa yang dapat dirasakan oleh masyarakat sekitar.
Di Indonesia, fenomena itu juga terjadi di beberapa situs penambangan panas bumi. Menurut unggahan laporan aktivitas kegempaan BMKG Wilayah 2, sepanjang 2024 saja sudah terjadi beberapa kali gempa yang episentrumnya terletak di wilayah penambangan panas bumi di Gunung Salak. Selain itu, di PLTP Sorik Marapi, Sibanggor Julu, Mandailing Natal, hal serupa juga terjadi. Menurut laporan penelitian yang dilakukan mahasiswa Universitas Gadjah Mada pada 2021, rumah-rumah warga mengalami kerusakan dan retak-retak karena aktivitas penambangan panas bumi. Getaran-getaran gempa kecil juga dirasakan oleh warga sekitar.
Fenomena yang sama juga ditemukan di penambangan panas bumi tertua di Indonesia, Kamojang. Hal itu tertuang dalam penelitian yang terbit di Jurnal Geosaintek 2016 bertajuk Pengaruh Patahan dan Induksi Seismik pada Sistem Geothermal Studi Kasus Lapangan Geothermal Kamojang. Selama satu tahun, terdapat 177 gempa kecil yang diakibatkan adanya aktivitas penambangan panas bumi.
Perlu diketahui, penambangan panas bumi di Gunung Gede Pangrango termasuk dalam jenis panas bumi hidrotermal. Ia memanfaatkan ekstraksi uap air panas dari kedalaman bumi untuk menggerakkan turbin. Setelahnya, sebagian air yang terekstraksi disuntikkan kembali ke kedalaman bumi. Proses injeksi air ke dalam bumi dan pengambilan uap panas bumi menghasilkan letupan energi yang terbukti dapat mengakibatkan gempa atau aktivitas seismik, terutama di daerah yang memiliki sesar atau patahan aktif. Di Cianjur dan di dekat Gunung Gede Pangrango, seperti yang umum diketahui, terdapat Sesar Cugenang, yang sebelumnya mengakibatkan gempa besar pada 2023.
Menurut dokumen laporan Badan Geologi Kementerian ESDM, sepanjang Oktober-November 2024 tercatat 216 gempa di Gunung Gede. Mayoritas didominasi oleh gempa tektonik. Catatan itu membuktikan aktivitas geologi di Gunung Gede masih sangat aktif.
Ancaman itu tak dapat diremehkan. Terlebih Gunung Gede merupakan gunung aktif yang sewaktu-waktu dapat meletus. Bahkan, menurut peta kebencanaan PVMBG, tiga desa yang terdampak langsung dan lokasi pengeboran geotermal (Sindangjaya, Sukatani, dan Cipendawa) masuk sebagai zona bahaya bencana. Adapun titik penambangan akan dilakukan di wilayah taman nasional yang secara administratif berada di Desa Sindangjaya dengan ketinggian sekitar 1.700 mdpl, tak begitu jauh dari puncak dan kawah gunung Gede.
Reporter: Ahmad Thovan Sugandi
Penulis: Ahmad Thovan Sugandi
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Fuad Hasim