Mitigasi Risiko Perubahan UU BUMN

1 day ago 6

Jakarta -

Undang-Undang (UU) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang baru, yang merupakan perubahan ketiga atas UU Nomor 19 Tahun 2003, telah disahkan. UU ini membawa perubahan signifikan terhadap pengelolaan dan pengawasan BUMN, yang berpotensi menimbulkan implikasi luas bagi perekonomian nasional. Salah satu aspek yang menjadi sorotan adalah perubahan dalam praktik pengawasan BUMN, khususnya terkait peran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai auditor negara.

UU BUMN yang baru membatasi kewenangan BPK dalam melakukan pemeriksaan terhadap BUMN. Pemeriksaan oleh BPK hanya dapat dilakukan atas permintaan DPR untuk pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT). Hal ini berbeda dengan UU sebelumnya, yang memberikan kewenangan lebih luas kepada BPK untuk melakukan pemeriksaan terhadap BUMN. Dalam UU BUMN tersebut dinyatakan bahwa BPK dapat melakukan PDTT terhadap BUMN, tetapi harus berdasarkan permintaan DPR. Pemeriksaan keuangan tahunan perseroan dilakukan oleh akuntan publik yang ditetapkan melalui rapat umum pemegang saham (RUPS).

Pembatasan kewenangan BPK ini dapat menimbulkan risiko berupa melemahnya pengawasan terhadap pengelolaan BUMN. Padahal, pengawasan yang efektif merupakan salah satu pilar penting dalam tata kelola perusahaan yang baik. Melemahnya pengawasan dapat meningkatkan risiko terjadinya penyalahgunaan wewenang, korupsi, dan praktik-praktik lain yang merugikan negara.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain itu, perubahan definisi kekayaan BUMN dalam UU yang baru juga menimbulkan potensi konflik dengan UU Keuangan Negara dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). UU yang baru menghapus frasa "yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan" sehingga berimplikasi pada keluarnya kekayaan BUMN dari ruang lingkup keuangan negara menurut beberapa UU. Hal ini dapat menciptakan ketidakpastian hukum dan menghambat upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi di BUMN.

Penguatan Pengawasan Internal

Untuk memitigasi risiko-risiko yang mungkin timbul akibat perubahan UU BUMN, langkah pertama yang krusial adalah penguatan pengawasan internal di dalam tubuh BUMN itu sendiri. Mengingat peran BPK yang dibatasi, BUMN harus mampu membangun sistem pengawasan yang kuat, independen, dan kompeten. Ini berarti pembentukan unit pengawasan internal yang tidak hanya memiliki keahlian teknis, tetapi juga integritas yang tinggi. Selain itu, penanaman prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) harus menjadi budaya yang melekat, bukan sekadar formalitas.

Selanjutnya, transparansi dan akuntabilitas harus menjadi landasan dalam pengelolaan BUMN. Publik berhak tahu bagaimana dana negara dikelola, sehingga publikasi laporan keuangan secara berkala dan mudah diakses menjadi keharusan. Lebih dari itu, mekanisme whistleblowing yang efektif harus tersedia, memberikan saluran bagi karyawan atau pihak eksternal untuk melaporkan dugaan penyimpangan tanpa rasa takut.

Masyarakat juga memegang peran penting dalam pengawasan. Dengan terlibat aktif, memberikan masukan, dan mengawal informasi, masyarakat dapat menjadi kekuatan penyeimbang. Media dan organisasi masyarakat sipil, dengan independensi dan keberanian mereka, dapat menjadi garda terdepan dalam memastikan BUMN tetap berada di jalur yang benar.

Tidak kalah penting, pemerintah perlu melakukan evaluasi berkala terhadap pelaksanaan UU BUMN ini. Jika ditemukan celah atau potensi bahaya, revisi harus segera dilakukan. UU bukanlah kitab suci yang tidak bisa diubah, ia adalah alat untuk mencapai tujuan, dan jika alat itu tidak efektif, ia harus diperbaiki.

Terakhir, dengan terbatasnya peran BPK, maka peran akuntan publik menjadi sangat penting, sehingga perlu adanya pengawasan yang ketat terhadap kinerja akuntan publik yang melakukan audit terhadap BUMN. Selain, pengawasan (peer review) oleh asosiasi akuntan publik terhadap kinerja akuntan publik yang mengaudit BUMN, juga peran BPK untuk melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan audit oleh akuntan publik yang mengaudit BUMN juga harus dikuatkan. Dengan demikian, pengawasan terhadap BUMN tidak hanya bergantung pada satu lembaga, tetapi menjadi tanggung jawab bersama dari berbagai pihak.

Harapan

UU BUMN yang baru membawa perubahan signifikan terhadap praktik pengawasan BUMN. Perubahan ini berpotensi menimbulkan risiko-risiko yang perlu diantisipasi dan dimitigasi. Penguatan pengawasan internal, peningkatan transparansi dan akuntabilitas, peran aktif masyarakat, dan evaluasi berkala merupakan langkah-langkah penting yang perlu diambil untuk memastikan bahwa BUMN tetap dikelola secara profesional dan akuntabel. Tentu, kita berharap UU BUMN yang baru memberikan kesegaran baru dalam pengelolaan BUMN, jangan justru sebaliknya menyulitkan atau malah merugikan.

Gunarwanto chartered accountant dan analis kebijakan publik

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial