Foto : Woodbury & Page_Wereldmuseum Amsterdam
Minggu, 2 Februari 2025
Sejak abad ke-17 hingga awal abad ke-20, banyak orang bumiputera di Hindia Belanda (kini Indonesia) terjerumus perkara kriminal, menjadi garong atau rampok, karena kecanduan opium. Pemerintah kolonial melegalkan penjualan madat atau opium itu. Kumpeni mengeruk untung sekaligus menghancurkan moral rakyat di Hindia Belanda.
“Akibat candu orang jadi malas, lalu didorong untuk mengisap lagi, butuh uang, maka orang-orang kecanduan tempo dulu tidak punya jalan lain untuk beli candu, kecuali menggarong,” tulis Abdul Hakim dalam buku ‘Jakarta Tempo Doeloe’ (1989), yang disusun dari tulisan aslinya ‘Jaarboek van Batavia en Omstreken’ karya J.J de Vries (1972).
Warung-warung candu ini, tulis Abdul Hakim, merupakan sumber pendapatan bagi pemerintah kolonial. Karena warung-warung itu hanya diperbolehkan menjual opium yang dihasilkan pemerintah. “Mereka terjerumus jahat, karena bikinan pemerintah kolonial juga,” ungkap Hakim.
Majalah Militaire Gids pada 1913 melaporkan hampir 60 persen para bintara orang Jawa merupakan pengisap opium. Pada awalnya, pemerintah Hindia Belanda memanfaatkan opium untuk memikat orang-orang luar mau masuk menjadi serdadu Hindia Belanda.
Di era itu kebanyakan asrama prajurit menyediakan bilik-bilik untuk mengisap opium. Para istri prajurit pun terbiasa mengisap opium di kamarnya masing-masing yang ukurannya sangat kecil. Karena gaji prajurit sangat kecil, banyak prajurit menyewakan istri atai nyai (peliharaannya) kepada sesama para prajurit.
Apalagi kalau bukan untuk mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan membeli opium. Muncul penyakit sosial, seperti praktik pelacuran dan merebaknya penyakit kelamin di antara para serdadu tersebut. Terkandang muncul pula kasus-kasus pembunuhan.
Perdagangan opium di Nusantara sudah muncul sejak kongsi dagang Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) sejak 1667. Khususnya ketika mereka melakukan Kerjasama dengan Kerajaan Mataram yang dipimpin oleh Amangkurat II. Opium dijadikan alat untuk melemah perjuangan rakyat.
“Dengan VOC telah memonopoli candu di Mataram, maka perdagangan candu di daerah Kerajaan Mataram melonjak cepat,” ungkap Capt.R.P Suyono dalam bukunya ‘Seks dan Kekerasan pada Zaman Kolonial’ (2004).
Awalnya opium dijual dalam jumlah kecil oleh para pemegang lisensi penjualan opium, khususnya di Batavia (Jakarta). Dalam sebuah pembukuan disebutkan opium dikirim secara diam-diam alias ilegal dari Benggala dan India ke Batavia oleh kapal perusahaan swasta dan para pegawai VOC sejak sejak 1659.
Pabrik candu di Salemba, Batavia tahun 1900-an.
Foto : KITLV
Pekerja pabrik opium di Salemba, Batavia.
Foto : Troopenmuseum digital collectie
Papan penjualan candu dalam bahasa Melayu, Jawa, Belanda dan Cina.
Foto : Repro Buku Seks dan Kekerasan pada Zaman Kolonial
Tahun itu ada pengiriman opium dari Benggala ke Batavia sebanyak 1.312 pon (595,11 kilogram atau 0,656 ton). Jumlahnya meningkat menjadi 12.025 pon (5.454,44 kilogram atau 6,01 ton) pada 1677. 30 Tahun kemudian jumlah pengiriman opium meningkat 100 kali lipat menjadi 67.444 pon (33,71 ton) pada 1707. Lalu meningkat cukup tinggi menjadi 243.000 pon (121,55 ton) pada 1744.
“Misalnya dalam suatu penjualan resmi pada suatu pagi hari, dalam satu lelang telah dijual 2.000 peti, masing-masing peti berisi 61 kilo candu,” terang Suyono.
Sementara menurut J.C. Baud dan Hoffman dalam bukunya Proeve van Eene Geschiedenis van den Handel en Het Verbruik van Opium in Nederlandsch Indie tahun 1853, pada akhir abad ke-16, komoditi opium telah menyebar di seluruh kepulauan Indonesia baik di wilayah pesisir dan pedalaman. Di pesisir para pedagang opium memperjualbelikannya di wilayah pelabuhan penting, seperti Banten, Aceh dan pelabuhan lainnya. Sementara di pedalaman opium dijualbelikan oleh orang Tiongjoa dan orang kaya.
Sementara itu, pada wilayah pedalaman, opium menjadi komoditi yang diperdagangkan oleh orang-orang Tionghoa dan orang-orang kaya. Baud juga melaporkan banyak para terpidana kasus hukum yang dipaksa secara sengaja mengkonsumsi opium. Mereka seperti dibunuh secara perlahan-lahan.
“Membuat mereka menjadi gila dan mengoceh. Ini adalah perampok ketiga, yang ‘pada masa saya di Batavia, karena pembunuhan yang begitu sombong, telah dihukum gantung di atas ‘perancah’,” tulis Baud
Sebenarnya VOC sempat mengeluarkan maklumat yang isinya menentang perdagangan opium ilegal oleh pihak swasta. Hal ini dituangkan di dalam resolusi 29 Desember 1677 dan 18 Februari 1678. Maklumat itu melarang penjualan opium di dalam kotta Batavia.
Bahkan, pada 22 Januari 1680 dan 29 Mei 1683, keluar resolusi untuk dihukum berat bagi mereka yang tetap melakukan perdagangan ilegal opium dengan ancaman hukuman mati. Tetap saja aturan itu banyak dilanggar, karena prilaku kriminal para oknum pegawai VOC baik yang ada di Benggala dan mereka yang ada di Batavia.
Lalu VOC mendirikan Societet van den Amphioem Handel pada 1745. Perusahaan ini mengatur perdagangan opium di Hindia Belanda, khususnya memberantas penyeludupan opium. Anak perusahaan VOC ini bertanggung jawab pembelian dan pengangkutan candu dari Benggala ke Batavia.
Pecandu opium di Batavia pada 1870
Foto : Woodbury & Page_KITLV
Pengguna candu atau opium di Batavia pada 1860.
Foto : KITLV
Pecandu opium di Batavia pada 1900-an.
Foto : G. Kolff & Co_KITLV
Selanjutnya, Societet Amphioem akan membeli candu dalam jumlah minimal 1.200 peti atau 73.000 kilogram dalam satu tahun kepada VOC. Harga yang ditetapkan sebesar 450 ringgit untuk 1 peti yang berisi 61 kilogram. Bila yayasan itu membeli lebih akan mendaparkan diskon 50 ringgit per peti.
Besarnya modal yang dibutuhkan adalah 1,5 juta gulden yang dibagi dalam 300 saham. Harga setiap saham yaitu 2.000 ringgit, dan saham-saham ini dibagikan kepada para pejabat yang berkepentingan.
Sistem ini membuat harga opium melambung tinggi, yang akhirnya harga eceran opium melambung tinggi. Penyelundupan pun muncul semakin banyak. Perdagangan opium mati suri ketika pecah perang Belanda dan Inggris pada 1795, karena pasokan barang haram itu terputus dari Benggala ke Batavia. Karena sudah dianggap tak efektif, Societeit Amphioem dibubarkan 31 Desember 1788.
Sejak VOC bubar digantikan pemerintah Hindia Belanda, dibentuk perusahaan swasta Nederlandsch Handel Maatschappij (NHM) pada 1824. NHM membuat kesepakatan dengan pemerintah Hindia Belanda untuk memasok opium ke Nusantara pada 1 Januari 1827. Sejak itu perusahaan ini menjadi perantara pemerintah, sekaligus pengendali penuh peredaran opium.
Mereka dibebaskan untuk mengimpor opium secara langsung tanpa adanya sebuah batasan yang ditetapkan dan hanya diwajibkan untuk membayar pajak kepada pemerintah. Setelah kontrak mereka berakhir, pemerintah kembali melakukan pelaksanaan opiumpacht dengan menunjuk pemenang dalam sistem lelang sebagai perantara penjualan opium eceran yang meliputi seluruh Jawa dan Madura.
Melejitnya kembali perdangan candu bukanlah tanpa tentangan dari penduduk. Sejumlah protes disuarakan oleh orang-orang yang menentang perdagangan opium. Dalam tulisannya di koran De Locomotief tahun 1884, M.T.H. Perelaer menyampaikan kritikannya terhadap tindakan pemerintah kolonial yang menghambat usaha pemilik perkebunan yang ingin menggusur pondo-pondok candu di lahannya.
Selain itu, Perelaer yang juga menulis novel Baboe Delima pada 1886, mengkisahkan usaha para mata-mata dan bandar opium untuk menggiring penduduk desa ke pondok candu. Praktik ini menyebabkan desa yang sebelumnya makmur menjadi ambruk ekonominya, karena banyak warga menjadi malas bekerja dan lebih memilih menikmati opium.
Sementara aksi protes secara terang-terangan dilakukan oleh Pieter Brooshooft, pimpinan redaksi sura kabar De Locomotief. Sebagai bentuk protesnya terhadap perdagangan opium, ia mengirimkan petisi yang berisi 155 tanda tangan penduduk Hindia Belanda kepada parlemen Belanda. Petisi itu berisikan kritikannya atas kebijakan opium di Jawa yang justru semakin menyuburkan perdagangan opium.
Bekas pabrik opium kini berada di areal kampusi UI Salemba, Jakarta.
Foto : Weka Kanaka_detikcom
Robert Cribb dalam tulisannya berjudul ‘Opium and the Indonesian Revolution’ menyatakan, desakan dari Belanda diserukan oleh Anti-Opium Bond yang muncul bersamaan dengan golongan etis yang menuntut perbaikan kesejahteraan penduduk tanah koloni. Walau kebijakan perdagangan opium dikritisi, namun pemerintah kolonial tetap melanjutkan perdagangan komoditas ini.
Dengan dalih untuk membatasi perdagangan opium, pemerintah kolonial meratifikasi Opium Regie berada di bawah naungan Departemen Keuangan pada 1893. Opium Regie menjadi episode terakhir perdagangan opium pemerintah kolonial. Melalui kebijakan ini, perdagangan opium dipusatkan di pabrik-pabrik modern pemerintah kolonial, yang berarti menggeser eksistensi pabrik-pabrik opium Tionghoa.
Percobaan regulasi baru tersebut dilakukan di Madura pada 1 September 1894. Hasilnya pun terbilang memuaskan dan sukses. Berkat kesuksesan itu, pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk menerapkan kebijakan baru ini di seluruh daerah Jawa. Pabrik opium modern pertama didirikan di Batavia pada 1894.
Awalnya pemerintah Hindia Beladan mendirikan dua pabrik opium di Batavia, yaitu di Struiswijk (Gang Tengah, Jakarta) dan di Meester Cornelis (Jatinegara). Karena masih dianggap tak memadai, dibuat lagi pabrik lebih besar yaitu di kawasan Kramat (kini bekas pabrik itu berada di belakang komplek Universitas Indonesia di Salemba) pada 1901.
Pabrik ini juga dilengkapi dengan jalur rel kereta api untuk mengangkut berton-ton opium mentah dari pelabuhan ke pabrik. Sejak saat itu kualitas hasil produksi opium diseragamkan. Jumlah pekerja pabrik opium mengalami peningkatan dari 630 pekerja pada tahun 1905, menjadi 1.000 pekerja pada tahun 1913.
Pemberlakuan opium regie sebenarnya mengulang kisah lama perdagangan opium abad ke-19, hanya saja sekarang pemerintah kolonial menjadi bandar paling dominan dalam perdagangan tersebut. Keuntungan dari perdagangan opium masih begitu menggiurkan bagi pemerintah kolonial.
Bahkan keuntungan pada tahun 1905 mencapai 20 juta gulden atau sekitar 15 persen dari total pendapatan pemerintah kolonial. Memasuki dekade 1920-an, keuntungan dari perdagangan opium terus melejit mencapai 30 juta gulden, melebihi keuntungan dari perkebunan kina.
Saat krisis Malaise menghajar ekonomi Hindia Belanda (ekspor perkebunan turun sekitar 50 persen), perdagangan opium masih dapat membantu keuangan pemerintah kolonial karena perdagangannya hanya turun 14 persen. Jadi sepanjang sejarahnya di Indonesia, sejak masa kolonial opium atau zat narkotika telah dikenal sebagai salah satu komoditas yang menggiurkan.
Kendati demikian, opium memiliki dampak yang mengerikan seperti yang dialami penduduk bumiputra masa kolonial. Mereka terjebak dalam belenggu candu, sedangkan ekonomi mereka hancur.
Penulis: M. Rizal Maslan
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Fuad Hasim