Mencermati Rancangan Kebijakan dalam Industri Hasil Tembakau

1 month ago 28

Jakarta -

Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Ranpermenkes) tentang Standardisasi Kemasan dan Peringatan Kesehatan Bergambar pada Produk Tembakau dan Rokok Elektronik menuai polemik dari berbagai pemangku kepentingan terdampak terkait substansi, prinsip maupun proses perumusannya. Ketentuan yang diatur dalam Ranpermenkes ini menciptakan ketidakpastian usaha di sektor industri hasil tembakau (IHT) dan kontradiktif terhadap upaya pemerintah dalam mendorong kepastian dan kemudahan berusaha serta berpotensi membuat daerah kehilangan nilai ekonomi.

IHT sejatinya merupakan industri dengan produk legal yang memberikan kontribusi besar bagi perekonomian Indonesia. Produksi dan penjualan produk hasil tembakau menghasilkan penerimaan negara sebesar Rp 213 triliun. Di tingkat daerah, IHT juga berperan penting dalam menyumbang pendapatan asli daerah (PAD), terutama daerah basis produksi tembakau dan pabrik rokok melalui penyerapan tenaga kerja. Daerah-daerah penghasil pun mendapatkan pemasukan tambahan dari dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT).

Namun di sisi lain, produk hasil tembakau juga memberikan dampak negatif bagi kesehatan masyarakat, sehingga harus dikendalikan. Pemerintah telah menerapkan kebijakan pengendalian konsumsi produk hasil tembakau berupa pengenaan cukai, pembatasan umur, pengaturan iklan dan pemberlakuan kawasan tanpa rokok (KTR). Secara bersamaan juga melakukan kampanye kesehatan publik untuk mendorong kesadaran masyarakat terhadap bahaya merokok.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kebijakan Bermasalah

Ranpermenkes ini terdiri dari dua substansi pokok yakni standardisasi kemasan produk tembakau dan rokok elektronik serta peringatan kesehatan dan informasi pada iklan. Standardisasi kemasan produk rokok meliputi standardisasi desain kemasan produk tembakau, pencantuman peringatan kesehatan dan pencantuman informasi pada kemasan. Namun sangat disayangkan ketentuan dalam Ranpermenkes ini masih bermasalah baik substansi dan prinsipnya, yang berpotensi mengganggu iklim investasi nasional dan daerah.

Dari aspek substansi, Ranpermenkes mengatur terkait desain kemasan produk tembakau yang tidak memperhatikan kaidah keadilan dan mengabaikan hak intelektual dari dunia usaha serta hak konsumen. Ranpermenkes mewajibkan standardisasi kemasan tanpa identitas merek dengan membatasi desain dan karakteristik khusus kemasan produk tembakau. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap hak merek dan intelektual yang dapat menghilangkan competitiveness antar produk tembakau.

Standardisasi kemasan tanpa identitas merek ini meliputi pengaturan desain kemasan yang mencakup bentuk, ukuran dan warna kemasan serta pencantuman peringatan kesehatan. Artinya Ranpermenkes ini telah melampaui mandat dalam PP 28/2024 tentang Pelaksana UU 17/2023 Kesehatan. Pengaturan kemasan, sebagaimana diamanatkan oleh PP 28/2024, semestinya hanya untuk peringatan kesehatan dan tidak mencakup penyeragaman unsur-unsur lain pada kemasan rokok.

Penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek juga mengakibatkan penghilangan karakteristik merek, dan diskriminasi terhadap industri tembakau. Kemenkes akan mewajibkan keseragaman warna kemasan, logo, dan tulisan dengan menggunakan huruf yang sama. Ketentuan ini akan merugikan industri tembakau yang identitas mereknya telah dilindungi secara hukum melalui aturan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Di sisi lain penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek berpotensi meningkatkan peredaran rokok ilegal, akibat berkurangnya perbedaan visual antara produk legal dan ilegal.

Kementerian Kesehatan ditengarai menjadikan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) sebagai kiblat rencana implementasi penyeragaman kemasan tanpa identitas merek. Hal ini perlu ditinjau ulang. Sebab Indonesia bukan bagian dan tidak meratifikasi FCTC. Indonesia pun telah memiliki regulasi pengendalian tembakau sendiri yang sesuai dengan kondisi ekonomi, sosial dan budaya nasional. Pengaturan IHT selama ini menunjukkan praktik baik dalam menjaga keseimbangan upaya pengendalian konsumsi, penyerapan tenaga kerja dan penerimaan negara.

Masalah berikutnya adalah pembatasan iklan media luar ruang yang berpotensi merugikan industri kreatif dan periklanan serta turunannya. Sebab sekitar 86% omzet industri periklanan berasal dari produk tembakau, berdasarkan data dari Asosiasi Media Luar Griya Indonesia (AMLI). Ketentuan yang dirancang Kemenkes berpotensi menimbulkan penurunan omzet industri hingga 50%, efisiensi tenaga kerja dan seretnya investasi di sektor periklanan dan jasa kreatif. Dalam jangka panjang pembatasan ini juga akan menekan PAD.

Larangan pemajangan iklan tembakau dalam radius 500 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak juga perlu dikaji ulang. Data Survei Kesehatan Indonesia tahun 2023, persentase merokok penduduk umur 10-18 tahun adalah sebesar 7,4% yang artinya penurunannya telah melampaui target dalam Rencana Panjang Jangka Menengah Nasional sebesar 8,7%. Artinya kebijakan pengendalian yang sudah diterapkan saat ini-seperti kenaikan cukai rokok, pembatasan iklan, dan peringatan kesehatan-telah efektif dalam menekan konsumsi produk tembakau pada kelompok usia muda.

Pada aspek prinsip, penting memastikan bahwa setiap regulasi sejalan dengan kewenangan dan tugas masing-masing lembaga. Standardisasi kemasan merupakan bagian dari perlindungan konsumen dan berada di bawah kewenangan Kementerian Perdagangan dalam urusan "standardisasi perlindungan konsumen". Dengan demikian, rencana kebijakan terkait kemasan produk tembakau yang digagas Kementerian Kesehatan harus diselaraskan dengan asas perlindungan konsumen.

Intervensi Kementerian Kesehatan terhadap kewenangan Kementerian Perdagangan terkait perlindungan konsumen berdampak pada ketidakpastian hukum dan efek sistemik terhadap ekonomi nasional dan lokal. Di samping itu, PP No. 28 Tahun 2024 juga tidak memberikan wewenang kepada Menteri Kesehatan dalam pengaturan standardisasi kemasan. Kewenangan Kementerian Kesehatan hanya sebatas pengaturan peringatan kesehatan dalam kemasan. Artinya ketidaksesuaian mandat ini berpotensi menciptakan tumpang tindih kewenangan dan mengganggu implementasi kebijakan ini baik di pusat maupun daerah.

Rekomendasi

Rancangan Permenkes ini idealnya hanya mengatur standardisasi pencantuman Peringatan Kesehatan pada Kemasan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik sesuai dengan mandat PP 28/2024. Adapun ketentuan terkait desain dan standardisasi kemasan tembakau dan rokok elektronik dalam Ranpermenkes ini mesti dihapus.

Larangan pemajangan iklan tembakau dalam radius 500 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak juga perlu dikaji ulang. Di lapangan, implementasi aturan ini bisa beragam karena kondisi geografis dan infrastruktur tiap daerah berbeda, yang dapat menyebabkan kesulitan dalam pengawasan dan kepatuhan atas ketentuan tersebut, yang malah dapat berujung pada kriminalisasi rakyat kecil. Pembatasan dan pelarangan iklan di media luar ruang juga perlu dikaji ulang, sebab ketentuan ini dikhawatirkan akan memukul industri kreatif dan periklanan di daerah yang sangat bergantung pada klien dari sektor tembakau.

Sarah Nita Hasibuan Analis Kebijakan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD)

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial