Jakarta -
Banyak di antara kita yang salah memahami urbanisasi. Letak kesalahpahaman yang sering muncul adalah urbanisasi dianggap sebagai masalah pembangunan, alih-alih sebagai salah satu solusi. Miskonsepsi ini tidak hanya terjadi di kalangan kalangan awam saja, tetapi juga di kalangan terpelajar dan para teknokrat.
Sebuah artikel yang terbit baru-baru ini berjudul Urbanisasi: Buah Kegagalan Pembangunan Desa, ditulis oleh Paulus Mujiran di Tempo.co (8/4). Artikel tersebut menyoroti arus balik mudik yang diikuti perpindahan warga dari desa ke kota besar. Penulisnya menyatakan bahwa urbanisasi adalah masalah yang terjadi akibat konsep pembangunan yang tidak pro-desa.
Penulis tersebut tidak sendirian dalam kesalahpahaman. Sebuah seminar di BAPPENAS pada Oktober 2022 lalu bertajuk Menjawab Tantangan Urbanisasi melalui Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Perkotaan yang Terpadu. Secara implisit, judul seminar tersebut mengandung miskonsepsi. Urbanisasi dianggap masalah, sebuah tantangan yang perlu ditanggulangi dengan perencanaan pembangunan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bahkan, jika dihubungkan dengan pembangunan perdesaaan, Mahatma Gandhi pun menganggap pertumbuhan kota sebagai hal yang buruk. "Saya percaya dan telah berulang kali mengatakan bahwa India tidak hanya terletak pada kota-kotanya, tetapi juga pada 700.000 desanya. Desa-desalah yang harus kita andalkan. Pertumbuhan bangsa tidak bergantung pada kotanya, tapi pada desanya." (mkgandhi.org/momgandhi/chap76.php).
Realitanya, Bapak Bangsa India itu salah dalam perkara ini. Edward Glaeser penulis buku The Triumph of the City (2011) menyebutkan bahwa pertumbuhan India hampir seluruhnya bergantung pada kota-kotanya. Secara umum, Glaeser menyatakan bahwa pada saat tingkat urbanisasi suatu negara meningkat sebesar 10 persen, output per kapitanya naik 30 persen. Pendapatan per kapita negara yang mayoritas penduduknya tinggal di perkotaan adalah empat kali lebih tinggi dibandingkan dengan negara yang mayoritas warganya tinggal di wilayah perdesaan.
Data menunjukkan bahwa negara-negara maju selalu memiliki tingkat urbanisasi yang tinggi. Sebaliknya, negara terbelakang identik dengan tingkat urbanisasi yang rendah. Pada 2023, negara dengan pendapatan tinggi memiliki 81 persen penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan. Sedangkan negara dengan pendapatan rendah rata-rata hanya memiliki 35 persen penduduk perkotaan (ourworldindata.org/urbanization).
Tinggal di kota bagaimanapun akan lebih menguntungkan. Kota dengan segala akumulasi fasilitas dan populasinya menawarkan efisiensi, produktivitas dan daya saing. Kota sebagai pusat pengetahuan dan pemerintahan memberi lebih banyak peluang warganya untuk tumbuh melakukan mobilitas vertikal.
Menurut UN-Habitat (2011), kota adalah agen perubahan dan kemajuan sosial, budaya, ekonomi, teknologi dan politik. Dengan pengertian ini, masuk akal jika penduduk didorong untuk tinggal di perkotaan agar bisa berubah dan maju. Urbanisasi dengan demikian perlu dipandang sebagai peluang.
Sayangnya, akibat miskonsepsi tentang urbanisasi yang dimiliki oleh para cendekiawan dan teknokrat ini, urbanisasi di Indonesia terjadi dengan tidak terencana, tidak terkelola, bahkan dicegah dan dihalang-halangi. Meskipun upaya menghalangi ini akhirnya gagal karena menentang "kodrat" manusia untuk mengembangkan diri dan mencari penghidupan lebih baik.
Kegagalan tersebut tercermin oleh semakin tingginya persentase masyarakat perkotaan di Indonesia. Data dari BPS menunjukkan bahwa warga perkotaan Indonesia telah mencapai lebih dari separuh (52,7 persen) pada 2015. Persentasenya semakin meningkat menjadi 56,7 persen pada tahun 2020. Proyeksinya, akan menjadi 60 persen pada 2025, dan 67 persen pada 2035.
Semakin banyaknya penduduk yang tinggal di perkotaan tersebut menunjukkan bahwa urbanisasi tidak dapat dicegah di Indonesia. Jika dibandingkan dengan 1990 yang penduduk perkotaannya hanya sekitar 31 persen, peningkatan penduduk urban ini sesungguhnya sangat fantastis.
Namun, akibat miskonsepsi yang berujung mismanajemen, urbanisasi hanya memberikan sedikit kontribusi ekonomi di Indonesia. Bank Dunia pada 2016 melaporkan bahwa Indonesia hanya mendapatkan 4 persen peningkatan pendapatan per kapita dari 1 persen peningkatan urbanisasinya. Padahal, India mendapatkan hingga 13 persen, Thailand mendapatkan 10 persen, dan Tiongkok 7 persen.
Indikasi dari mismanajemen urbanisasi di Indonesia adalah dari mekanisme terbentuknya warga perkotaan. Tenyata, urbanisasi di Indonesia lebih banyak terbentuk dari reklasifikasi wilayah yang sebelumnya merupakan kawasan perdesaan menjadi kawasan perkotaan. Kondisi tersebut berbeda dengan India yang lebih banyak disebabkan pertumbuhan alami penduduk perkotaannya dan China yang lebih banyak didorong oleh migrasi penduduk dari desa ke kota.
Bank Dunia pada 2018 menyatakan bahwa reklasifikasi wilayah perdesaan-perkotaan tersebut menyumbang lebih dari 80 persen pertumbuhan penduduk perkotaan di Indonesia antara tahun 2000 dan 2010. Sedangkan migrasi bersih desa-kota hanya menyumbang kurang dari 20 persen dari keseluruhan pertumbuhan penduduk perkotaan di Indonesia dalam kurun waktu yang sama.
Dengan mekanisme tersebut, urbanisasi di Indonesia terjadi dengan pemborosan lahan. Tingkat perubahan atau perluasan fisik perkotaannya melebihi tingkat pertumbuhan penduduknya, sebuah ciri dari fenomena yang disebut sebagai urban sprawl. Banyak kawasan permukiman yang tumbuh jauh dari pusat kota, menghabiskan lahan pertanian dengan transportasi publik yang buruk, dan gagal memperoleh manfaat dari efisiensi yang semestinya tercipta di kawasan perkotaan.
Berdasarkan rangkaian fakta tersebut, sudah selayaknya kita memperbarui pemahaman kita tentang urbanisasi yang salah kaprah. Pandangan yang melihat bahwa urbanisasi sebagai masalah harus dihentikan. Kita harus menjadikan urbanisasi sebagai upaya pembangunan yang disengaja, terencana, terkelola, sehingga bisa berdampak lebih baik.
Dalam seminar BAPPENAS seperti telah disampaikan di muka, pembicara dari Institut Teknologi Bandung, Profesor Delik Hudalah, memberi judul paparannya Urbanisasi untuk menjawab tantangan pembangunan. Ia seperti hendak mengatakan bahwa urbanisasi adalah solusi, bukan masalah seperti jamak dipahami oleh banyak kalangan selama ini.
Dalam kerangka konsep "urbanisasi adalah solusi", keputusan pemerintah Jakarta untuk tidak melakukan operasi yustisi bagi pendatang pasca lebaran patut diapresiasi. Kebijakan tersebut dibuat oleh Gubernur Anies Baswedan pada 2019, tidak diubah Penjabat Gubernur Heru Budi Hartono dan tetap dilanjutkan oleh Gubernur Pramono Anung pada 2025. Semoga kebijakan tersebut berdampak positif terhadap urbanisasi, baik dalam level pemahaman maupun dalam kenyataan di lapangan.
Arsan Nurrokhman mahasiswa Doktor Perencanaan Wilayah dan Kota Institut Teknologi Bandung
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini