Membaca Sinyal Diplomasi Donald Trump

1 week ago 39

Jakarta -

Pertemuan yang berlangsung di Gedung Putih antara Presiden Donald Trump dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy (28/2) menandai pergeseran besar dalam politik luar negeri Amerika Serikat (AS). Dalam satu sesi yang berujung pada penghinaan terbuka, Zelenskyy tidak hanya kehilangan prospek kesepakatan mineral yang telah lama dinegosiasikan, tetapi juga menghadapi pelecehan diplomatik yang akan dikenang sebagai momen ketika AS dengan terang-terangan merendahkan sekutunya sendiri.

Trump tidak datang sebagai mediator yang adil, melainkan sebagai seorang negosiator yang sudah menentukan bahwa Zelenskyy berada dalam posisi lemah. Di hadapan wartawan, Trump dan Wakil Presiden JD Vance mempertontonkan bentuk realisme politik yang paling kasar bahwa dalam perspektif mereka Ukraina bukan mitra strategis, melainkan entitas yang harus tunduk dan menunjukkan rasa terima kasih tanpa syarat.

Kalimat Trump yang menyatakan bahwa Zelenskyy "tidak memiliki kartu" dalam negosiasi kecuali dengan bantuan AS adalah pernyataan yang membongkar esensi hubungan ini: sebuah transaksi yang ditentukan oleh seberapa besar manfaat yang dapat diperoleh Washington.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Adegan di Gedung Putih ini adalah sinyal jelas bahwa AS di bawah kepemimpinan Trump tidak lagi berkomitmen pada prinsip-prinsip demokrasi dan sekutu tradisionalnya. Bagi Trump, hubungan internasional bukan tentang solidaritas atau pertahanan nilai-nilai universal, melainkan tentang keuntungan langsung dan kalkulasi pragmatis jangka pendek.

Bagi Ukraina, ini adalah pukulan besar. Negara yang telah bertahan selama tiga tahun melawan agresi brutal Rusia kini mendapati dirinya berada dalam situasi yang lebih rentan. AS, yang sebelumnya merupakan penyokong utama, kini mulai menunjukkan tanda-tanda menarik diri dari komitmennya. Bagi Rusia, ini adalah kemenangan politik yang tak ternilai. Vladimir Putin tidak perlu melakukan apa pun; Trump sendiri yang melemahkan posisi Ukraina dengan mempermalukan pemimpinnya di panggung global.

Membaca Sinyal

Namun, dampak dari peristiwa ini tidak terbatas pada Ukraina. Insiden di Gedung Putih ini adalah cerminan dari bagaimana pemerintahan Trump beroperasi --dan ini adalah peringatan serius bagi negara-negara lain yang selama ini mengandalkan AS sebagai mitra strategis, termasuk Indonesia.

Di Jakarta, banyak yang melihat kemenangan Trump dalam pemilu AS sebagai sesuatu yang menguntungkan bagi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Narasi yang berkembang, hubungan personal antara Prabowo dan Trump dapat memastikan kelangsungan hubungan bilateral yang baik.

Namun, jika insiden Zelenskyy mengajarkan sesuatu, maka itu adalah bahwa hubungan personal tidak akan cukup untuk menjamin stabilitas hubungan antarnegara. Zelenskyy sendiri pernah dipuji oleh Trump di masa lalu. Ia menerima dukungan dalam bentuk pengiriman senjata dan bantuan militer. Namun, dalam satu momen di Gedung Putih, segalanya berubah. Bagi Trump, loyalitas itu tidak berarti apa-apa jika tidak ada manfaat ekonomi atau politik yang bisa diperoleh secara langsung.

Indonesia harus membaca sinyal ini dengan hati-hati. Jika Trump bisa begitu mudah meninggalkan Ukraina, sebuah negara yang telah menerima miliaran dolar bantuan militer dari AS, maka tidak ada jaminan bahwa Indonesia akan diperlakukan lebih baik. Kedekatan pribadi antara Prabowo dan Trump, yang sering digambarkan sebagai aset diplomatik, bisa saja tidak berarti dalam lanskap politik luar negeri Trump yang serba transaksional.

Lebih dari itu, Indonesia berada di kawasan yang jauh lebih kompleks secara geopolitik dibandingkan Ukraina. Jika Trump dapat dengan mudah mengubah kebijakan terhadap Ukraina dalam konflik yang begitu jelas melibatkan agresi Rusia, maka dalam konteks Indo-Pasifik yang lebih dinamis, posisi Indonesia bisa jauh lebih sulit.

Di bawah kepemimpinan Joe Biden, kebijakan AS di kawasan Indo-Pasifik relatif stabil, dengan pendekatan berbasis multilateral dan kerja sama strategis bersama negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan Australia. Namun, Trump memiliki pendekatan yang sangat berbeda. Dalam periode pertamanya sebagai presiden, ia menarik AS keluar dari perjanjian perdagangan Trans-Pacific Partnership (TPP), menunjukkan ketidaktertarikan pada komitmen multilateral, dan bahkan mengancam akan menarik diri dari aliansi pertahanan tradisional jika sekutu tidak "membayar cukup" untuk perlindungan AS.

Jika Trump kembali berkuasa, maka pendekatan yang sama kemungkinan besar akan diterapkan. Indonesia, yang selama ini berusaha mempertahankan posisi non-blok dalam berbagai isu global, bisa dipaksa untuk mengambil sikap yang lebih tegas. Trump bukan tipe pemimpin yang menghargai diplomasi halus atau keseimbangan strategis. Ia lebih tertarik pada kesepakatan konkret yang bisa segera diklaim sebagai kemenangan politiknya.

Dalam konteks Laut China Selatan, misalnya, AS di bawah Trump mungkin akan lebih agresif dalam menghadapi China, tetapi tanpa memberikan jaminan jangka panjang bagi negara-negara di kawasan. Indonesia bisa saja didorong untuk mengambil posisi yang lebih pro-AS, tetapi tanpa jaminan bahwa AS akan tetap berkomitmen jika situasi memburuk.

Jika ada satu hal yang bisa dipelajari dari kasus Ukraina, itu adalah bahwa Trump tidak ragu untuk mencabut dukungan bahkan kepada negara yang selama ini dianggap sekutu. Ini menegaskan bahwa Indonesia harus segera mengadopsi pendekatan yang lebih mandiri dalam diplomasi dan pertahanannya.

Mengandalkan AS sebagai mitra utama dalam keamanan kawasan bukan lagi strategi yang realistis. Indonesia harus memperkuat hubungan dengan Uni Eropa, India, Jepang, dan negara-negara Global South lainnya untuk memastikan bahwa kebijakan luar negeri kita tidak terlalu bergantung pada satu kekuatan besar. ASEAN juga harus diposisikan sebagai blok yang lebih solid dan memiliki daya tawar lebih kuat dalam menghadapi perubahan geopolitik yang semakin cepat.

Selain itu, Indonesia harus segera memperkuat industri pertahanannya sendiri. Jika Trump memutuskan untuk mengurangi atau bahkan menarik kerja sama militer dengan Indonesia karena alasan ekonomi atau politik domestik, kita harus memiliki kapasitas yang cukup untuk menjaga stabilitas regional tanpa ketergantungan berlebihan pada kekuatan eksternal.

Peringatan

Krisis diplomatik antara Trump dan Zelenskyy seharusnya menjadi peringatan bagi seluruh dunia bahwa dalam politik luar negeri Trump, tidak ada kesetiaan abadi. Hubungan internasional bukan lagi soal nilai-nilai bersama, tetapi soal siapa yang bisa menawarkan kesepakatan terbaik.

Bagi Indonesia, ini adalah saat yang tepat untuk menata ulang kebijakan luar negeri dengan pendekatan yang lebih realistis. Meskipun Prabowo mungkin memiliki hubungan baik dengan Trump, itu tidak cukup untuk menjamin bahwa Indonesia tidak akan mengalami nasib yang sama seperti Ukraina. Jika gagal membaca tanda-tanda zaman, kita bisa saja menjadi korban berikutnya dari diplomasi transaksional Trump.

Dalam dunia di mana kekuatan besar semakin bersikap oportunistik, hanya negara yang mandiri dan cerdas dalam diplomasi yang akan bertahan.

Virdika Rizky Utama Direktur Eksekutif PARA Syndicate dan Dosen Hubungan Internasional President University

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial