Jakarta -
Sudah menjadi tradisi umat Islam di berbagai daerah di Indonesia apabila akan memasuki bulan Ramadhan mereka melakukan ziarah ke kuburan leluhur. Meskipun dalam pelaksanaannya bercampur dengan budaya lokal dan menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat, namun tradisi ini tetap bertahan hingga sekarang.
Jika dilihat dari konteks hukum Islam, ziarah kubur pernah dilarang oleh Nabi Muhammad, kemudian diperbolehkan kembali. Sebagaimana Rasulullah berkata, yang artinya: Dahulu saya melarang kalian melakukan ziarah kubur, tapi sekarang berziarahlah kalian, sesungguhnya ziarah kubur dapat melunakkan hati, menitikkan (air) mata, mengingatkan pada akhirat, dan janganlah kalian berkata buruk (pada saat melakukan ziarah). (HR. Hakim; dikutip dari laman NU Online dan detikjatim, 4 Maret 2024).
Jika dilihat dari hadis Nabi SAW tersebut, ada tiga manfaat penting dari ziarah kubur. Pertama, ziarah kubur dapat melunakkan atau melembutkan hati seseorang. Kedua, ziarah kubur dapat menimbulkan kesedihan sampai orang itu meneteskan air mata. Ketiga, ziarah kubur dapat membuat orang ingat kepada kematian. Dengan mengingat kematian, mungkin orang akan selalu berbuat kebaikan selama hidup mereka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ziarah kubur dapat dilakukan secara individu, kelompok dalam satu anggota keluarga, dan rombongan berbeda keluarga. Di Jawa, khususnya di Jawa Tengah, ziarah kubur tidak hanya dilakukan secara individu, kelompok keluarga, tapi juga dilakukan dengan rombongan (jumlah orang yang lebih banyak). Di Jawa tradisi ziarah kubur pada akhir bulan Syaban (tahun Hijriyah) atau bulan Ruwah (Kalender Jawa) ini dikenal dengan sebutan sadranan atau nyadran.
Nyadran berasal dari bahasa Sanskerta sraddha yang dapat diartikan "keyakinan". Dikatakan "keyakinan" karena tidak mungkin orang melakukan ziarah kubur atau nyadran kalau dia tidak memiliki keyakinan yang kuat tentang kehidupan setelah kematian atau kehidupan arwah atau roh di alam akhirat. Karena adanya keyakinan inilah mendorong orang melakukan serangkaian ritual pada saat ziarah kubur leluhurnya.
Dalam bahasa Jawa nyadran berasal dari kata sadran yang atinya ruwah syaban. Menurut Clifford Geertz (1960) dalam bukunya yang berjudul The Religion of Java, ruwah adalah permulaan puasa, yang disebut megengan (dari pegeng, "menyapih" atau "menahan"). Ruwah juga diartikan nama bulan, berasal dari kata Arab arwah, yang dapat diartikan "jiwa orang yang sudah meninggal dunia."
Pada akhir Syaban atau awal Ramadhan orang Jawa di samping bergotong royong membersihkan area pemakaman agar para peziarah merasa nyaman pada saat ziarah, dan juga melakukan slametan yang diperuntukkan bagi orangtua mereka yang telah meninggal dunia. Tradisi ini masih cukup kental dilaksanakan orang-orang di desa-desa yang ada di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur.
Sebagaimana slametan kematian, slametan ini ditandai dengan disediakannya penganan (makanan) yang terbuat dari tepung beras, salah satunya kue apem yang merupakan lambang orang Jawa untuk kematian. Sebelum slametan orang pergi ke makam untuk menyebarkan bunga di atas kuburan orangtuanya dan keluarganya yang lain, dan roh orang-roh orangtua ini diyakini oleh sebagian orang Jawa hadir dalam slametan yang diadakan oleh keluarga untuk makan bau penganan.
Menurut Geertz, "Dalam slametan setiap orang diperlakukan sama. Tidak seorang pun merasa berbeda dari yang lain, tidak seorang pun merasa lebih rendah dari yang lain, dan tidak seorang pun punya keinginan untuk memencilkan diri dari orang lain. Setelah slametan dilakukan, mereka yakini bahwa arwah atau roh-roh setempat tidak akan mengganggu kita, tidak akan membuat kita merasa sakit, sedih atau bingung."
Lebih lanjut Geertz menjelaskan, sebagaimana dia kutip dari wawancaranya dengan salah seorang orang Jawa: "Dalam suatu slametan, segala jenis makhluk halus duduk bersama kita dan mereka ini juga ikut menikmati makanan. Karena itu makanan menjadi inti dari slametan, dan bukan rohnya. Roh-roh itu diyakini memakan bau panganan (makanan). Seperti pisang ini. Saya mencium baunya tapi tapi ia tidak hilang karenanya. Itulah sebabnya makanan itu ditinggalkan untuk kita makan setelah roh-roh memakannya."
Demikianlah kepercayaan salah seorang orang Jawa yang dikatakan oleh Geertz tentang slametan yang erat kaitannya dengan keyakinan terhadap roh-roh halus. Meskipun keyakinan ini tidak mewakili semua orang Jawa, namun keyakinan itu ada dalam sebagian masyarakat Jawa dan terus berkembang sejalan dengan waktu.
Makna yang terkandung dalam ziarah kubur adalah kebersamaan dan mendoakan orang yang telah meninggal dunia baik secara individu maupun bersama. Makna lain adalah mengeratkan hubungan antara yang hidup dengan mereka yang sudah meninggal dunia dan yang terpenting mengingatkan orang pada akhirat. Meskipun leluhur mereka sudah meninggal dunia, namun ikatan kekeluargaan antara yang hidup dan yang mati tidak bisa putus. Rangkaian acara ziarah kubur dipandang sebagai sarana penghubung antara sesama manusia dan antara anggota keluarga yang masih hidup dengan anggota keluarga yang sudah meninggal dunia.
Setiap orang pasti memiliki pandangan dan penafsiran yang berbeda tentang ziarah kubur; ada sebagian orang memandang bahwa ziarah kubur harus sejalan dengan ajaran Islam dan ada juga yang melaksanakan ziarah kubur dengan memadukan antara ajaran Islam dengan kebudayaan lokal. Dengan demikian setiap orang dan setiap daerah memiliki cara yang berbeda dari segi pelaksanaannya.
Meskipun setiap orang dan setiap daerah memiliki cara yang berbeda dalam memaknai dan melakukan ziarah kubur, namun perbedaan itu jangan sampai membuat orang berpecah belah. Jadikanlah perbedaan itu sebagai khazanah budaya bangsa yang dimiliki umat Islam di Indonesia, dan yang terpenting bagaimana kita saling menghargai dan menghormati keberbedaan tersebut.
M. Ikhsan Tanggok Guru Besar Antropologi Agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu